“SEDIKIT TENTANG PAKAIAN SEMBAHYANG”
Oleh : I Putu Pudja
Pergi Sembahyang (google.com) |
Kemudian kami dusuk bersama di
Bale bengong, sambil menikmati bajigur, pas abang bajigur lewat dengan segala
rebusannya yang dia bawa : kacang tanah, ubi batatas, singkong, pisang, yang
semuanya direbus.
Dalam percakapan itu, seorang diantara
taruna atau mahasiswa kami menawarkan topic berpakaian dalam sembahyang Hindu.
“Guru, bagaimana pendapat guru
terhadap ramai gunjingan masyarakat, terhadap cara kita berpakaian saat
sembahyang, yang kelihatannya jor-joran,seperti kapstok berjalan. Bahkan ada
sebuah buku yang membahas konsumerisme masyarakat kita (baca Hindu) yang ke
Pura, dihitung satu persatu harga apa yang dipakai saat sembahyang” Itu
pertanyaan mereka.
Wah itu masalah yang menarik, dan
popular yang bisa kita bahas sebagai bahan perbincangan ringan siang ini
kataku. Sebelum Guru memberikan pendapat coba diantara kalian memberikan dulu
pendapat kalian tentang hal yang dikemukakan tadi.
“Wayan, pertama kali coba,
bagaimana pendapat kamu yang” kataku, dan Wayan memberikan pendapatnya sebagai
berikut: “Menurt saya guru, kita kan sudah mempunyai pakaian sembahyang yaitu
pakai kain, dengan baju putih-putih, kenapa dipermasalhkan lagi, kan itu
merupakan anjuran dari Parisada”. Katanya.
Kemudian Made coba bagaimana
pendapat kamu de, coba kemukakan. “Menurut saya kenapa kita mesti membatasi
pakaian dalam sembahyang. Biarkan saja apa yang masing-masing mau, yang
masing-masing mampu untuk memakainya. Kan merupakan kesempatan yang langka
untuk memakainya. Menurut saya biarkan saja mereka bebas memakainya, yang
penting sesuai dengan kemampuannya”.
“Ya tidak bisa begitu de, kita
kan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak asal mampu terus kita
pakai, jangan nyeleneh sendiri mentang-mentang mampu. Jangan jangan yang lain
terganggu sembahyangnya karena konsentrasinya hanya pada yang berpakaian
terlalu ramai itu” Sahut Nyoman.
Oke oke, cukup ramai diskusi kita
siang ini. Coba Guru menjadi penengah dan mencoba memberikan pendapat guru.
Seperti kita ketahui dalam Hindu di Indonesia (baca di Bali) terus dibawa ke
luar Bali, karena mereka merantau, dan melaksanakan kewajiban agama di
rantauan. Biasanya memakai kain, saput, baju putih dan destar untuk pria. Dan
memakai kain, kebaya , ikat pinggang –bebed- terkadang ditambah seuntai kembang
di rambutnya yang di pusang tagel, atau yang dipotong sesuai mode saat ini.
Dari keseragaman itu terlihat,
semua diseragamkan, padahal menurut Guru, masalah sembahyang, masalah
mendekatkan diri dengan Tuhan Ida Sang Hyang Widi merupakan urusan pribadi,
sehingga tidak perlu harus seragam dan diatur detail.
Perkembangan yang guru
perhatikan, dulu saat guru kecil sampai remaja di kampong, sembahyang hanya
mempersyaratkan pakaian harus sopan, bersih. Paling-paling memakai kain,
kemeja, udeng dan pakai saput. Tidak ada ketentuan harus putih, akan tetapi
umumnya berwarna kalem, baik motip kembang atau polos. Demikian pula untuk
wanitanya, memakai kain, kebaya selendang ikat di pinggang, dan seuntai kembang
di rambut, baik kembang emas, atau kembang segar. Misalnya sekuntum kamboja,
cempaka, atau melati. Tidak memakai seragam.
Sejalan dengan kemajuan, dan
banyak kegiatan masyarakat yang diatur oleh adat, sesuai dengan seragam yang
digunakan dalam kerja, maka sembahyang kelihatannya juga diseragamkan
pakaiannya, baik mengatasnamakan PKK, perkumpulan arisan, perkumpulan santi,
atau sekehe (kelompok) taruna truni, sekehe gong dll kemudaian dibuatlah
seragam. Yang menunjukkan identitas mereka masing masing, yang membedakannya
dengan kelompok sejenis dari desa lain.
Namun secara umum pernah ada ‘ketentuan’
kalau sembahyang harus berpakaian putih-putih terutama untuk atasan, kebaya
atau kemeja. Sehingga berkembang anggapan bahwa ke pura sembahyang harus
mengenakan pakaian putih. Apalagid di negara kita putih sebagai lambing kesucian.
Itu syah sayah saja. Demikian juga untuk kegiatan lainnya sepeti kedukaan
menggunakan pakaian serba hitam, berduka.
Padahal kalau kita merujuk
keaslinya, justru untuk sembahyang banyak dipakai pakaian warna hitam,
perhatikan ketu dan pakaian Ida Pedanda, dan pakaian serba putih digunakan saat
berduka. Perhatikan pada saat pelaksanaan pitra yadnya, keluarga berduka
memakai pakaian putih, dengan ikat kepala kain putih.
Nah warna hendaknya kita tidak
usah perdebatkan, yang penting hatinya suci, niatnya baik, bersih datang ke
tempats sembahyang hanya untuk sembahyang. Bukan untuk tujuan yang lain.
“Akh saya tidak setuju Guru, kata
Ari seorang taruni, yang memang agak
modis. Biarkan saja sembahyang memakai pakaian yang kita suka, yang penting
yang memakai nyaman dan tidak menyusahkan rang lain Guru, kita kan beli dengan
uang sendiri” Katanya.
Oke, pendapat kamu Ari juga benar,
kataku. Namun ingat kita umumnya bersembahyang secara komunitas, secara
berjamaah, bersama di Pura. Jadi disamping diri kita aka nada banyak orang lain
yang bareng sembahyang dengan kita. Sehingga [erlu diperhatikan beberapa hal,
ini menurut pandangan guru yang memang tidak ada dasarnya dalam weda, mungkin
Guru belum pernah membacanya. Hanya guru kaitkan dengan norma, etika kesopanan,
kepantasan, ketertiban umum yang guru tahu.
Sebaiknya kalian sembahyang
pergunakan pakaian yang sopan, bersih sesuai adat masing-masing. Kalian yang
dari Bali, ya seperti yang berlaku di Bali, kalian yang dari jawa seperti kau
Bambang, ya sesuaikan dengan adat kamu sendiri. Bahkan dengan pakaian seragam
kampus pun taka da salahnya, yang penting: bersih, sopan, nyaman saat melakukan
sembahyang, tidak mencuri perhatian umat yang juga sembahyang, serta tidak
memberatkan ekonomi kalian terlebih masih sekolah.
Janganlah kalian berpakaian yang
sangat mencolok, misalnya memakai kain yang sangat tinggi sehingga betis kalian
kelihatan, memakai kebaya lengan pendek tapi longgar sehingga daleman dapat
dilirk tetangga, apalagi kebaya yang tembus pandang yang dapat menunjukkan
lambaian maaf bulu ketek kalian. Itu akan merusak konsentrasi umat lainnya baik
yang pria maupun wanita. Yang pria akan tergoda dan yang wanita akan
bergunjing.
Kita tidak juga menghindar dari
roda mode, boleh-boleh saja tetapi tetap disesuaikan dengan tujuan sembahyang
kekusyukan, ketertiban yang membantu konsentrasi umat. Boleh saja memakai
kebaya tembus pandang tapi memakailah pakaian dalam yang sopan, yang punya bulu
ketek di cukr bersih misalnya. Kalau pakai kain sebaiknya minimal sampai mata
kaki. Semuanya itu perlu pembiasaan, menyesuaikan diri dengan zamannya.
Kalau dulu ada pengartian bahwa
destar harus bolong, karena ubun-ubun tempat munculnya sinar suci yang akan
menyatu konsentrasi ke Ida Sang Hyang Widi, belakangan berkembang udeng yang
mirip blangkon, ya syah syah saja itupun tidak apa-apa, karena alasan agar
rambut terlindung, dan tetap bersih dari debu. Demikian pula dengan kebaya
boleh saja menyesuaikan dengan zaman, dengan mode tapi tetap sopan, nyaman, dan
tidak mengganggu konsentrasi teman sebelahnya.
Dari perbicangan kita dapat Guru
simpulkan bahwa: pakaian dalam sembahyang sebenarnya tidak perlu seragam,
pakailah yang kalian punya, yang penting kalian nyaman,bersih dan tidak
menganggu konsentrasi tetangga saat sembahyang bersama. Untuk menyesuaikan
dengan mode boleh-boleh saja asal tetap tidak menyimpang dari tujuan
sembahyang. Tidak menganggu konsntrasi teman. Karena juga diyakini bahwa saat
sembahyang merupakan saat yang tepat untuk ‘promosi’ bagi yang masih single
baik yang pria maupun wanita sehingga modis boleh-bolehsaja.
Hanya saja tetap harus
disesuaikan dengan desa, kala, patra. Karena berpakian maah, berpakaian modis
juga merupakan ungkapan rasa syukur atas anugrah atau rezeki yang telah
didapat, kapan lagi, apa lagi masih muda.
Jadi gunakanlah pakaian
sembahyang yang tidak memberatkan kantong, yang penting niat sembahyangnya
dapay berkonsentrasi dengan baik, dengan pakaian yang dipakai. Masalah seragam
atau tidak seragam tidak perlu dipermasalahkan, kalau seragam ya silahkan, tak
seragampun nggak apa apa.
Nah menurut guru demikian, bagi
yang setuju boleh ikut, yang nggak setuju juga nggak apa-apa kalau ikutan.
Sembahyanglah dengan nyaman, dengan kusyuk, jangan pakaian dijadikan perkara,
karena perkara lebuh besar masih banyak yang perlu kita selesaikan. Setuju ……
Om Canti, Canti Canti Om
Puri Gading, Bukit Jimbaran awal
Juli 2016
No comments:
Post a Comment