PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Sunday, July 10, 2016

Perbincangan-51 : Pakaian Sembahyang



“SEDIKIT TENTANG PAKAIAN SEMBAHYANG”
Oleh : I Putu Pudja

Pergi Sembahyang (google.com)
Perbincangan kami kali ini,  mengingat kembali perbincangan ringan di minggu pagi saat-saat habis nyuci kedaraan di samping rumah disambangi anak-anak taruna yang sengaja datang ke rumah merencanakan akan mengadakan masak-masak. Mereka mau minjem tempat memasak bersama, kepingin makan masakan kampong, lawar. Aku persilahkan saja kapan mereka rencanakan, serta lihat di dapur perlengkapan apa saja yang ada, sehingga yang lain juga perlu dipersiapkan sehingga tidak repot pada waktunya nanti.
Kemudian kami dusuk bersama di Bale bengong, sambil menikmati bajigur, pas abang bajigur lewat dengan segala rebusannya yang dia bawa : kacang tanah, ubi batatas, singkong, pisang, yang semuanya direbus.
Dalam percakapan itu, seorang diantara taruna atau mahasiswa kami menawarkan topic berpakaian dalam sembahyang Hindu.
“Guru, bagaimana pendapat guru terhadap ramai gunjingan masyarakat, terhadap cara kita berpakaian saat sembahyang, yang kelihatannya jor-joran,seperti kapstok berjalan. Bahkan ada sebuah buku yang membahas konsumerisme masyarakat kita (baca Hindu) yang ke Pura, dihitung satu persatu harga apa yang dipakai saat sembahyang” Itu pertanyaan mereka.

Wah itu masalah yang menarik, dan popular yang bisa kita bahas sebagai bahan perbincangan ringan siang ini kataku. Sebelum Guru memberikan pendapat coba diantara kalian memberikan dulu pendapat kalian tentang hal yang dikemukakan tadi.
“Wayan, pertama kali coba, bagaimana pendapat kamu yang” kataku, dan Wayan memberikan pendapatnya sebagai berikut: “Menurt saya guru, kita kan sudah mempunyai pakaian sembahyang yaitu pakai kain, dengan baju putih-putih, kenapa dipermasalhkan lagi, kan itu merupakan anjuran dari Parisada”. Katanya.
Kemudian Made coba bagaimana pendapat kamu de, coba kemukakan. “Menurut saya kenapa kita mesti membatasi pakaian dalam sembahyang. Biarkan saja apa yang masing-masing mau, yang masing-masing mampu untuk memakainya. Kan merupakan kesempatan yang langka untuk memakainya. Menurut saya biarkan saja mereka bebas memakainya, yang penting sesuai dengan kemampuannya”.
“Ya tidak bisa begitu de, kita kan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak asal mampu terus kita pakai, jangan nyeleneh sendiri mentang-mentang mampu. Jangan jangan yang lain terganggu sembahyangnya karena konsentrasinya hanya pada yang berpakaian terlalu ramai itu” Sahut Nyoman.
Oke oke, cukup ramai diskusi kita siang ini. Coba Guru menjadi penengah dan mencoba memberikan pendapat guru. Seperti kita ketahui dalam Hindu di Indonesia (baca di Bali) terus dibawa ke luar Bali, karena mereka merantau, dan melaksanakan kewajiban agama di rantauan. Biasanya memakai kain, saput, baju putih dan destar untuk pria. Dan memakai kain, kebaya , ikat pinggang –bebed- terkadang ditambah seuntai kembang di rambutnya yang di pusang tagel, atau yang dipotong sesuai mode saat ini.
Dari keseragaman itu terlihat, semua diseragamkan, padahal menurut Guru, masalah sembahyang, masalah mendekatkan diri dengan Tuhan Ida Sang Hyang Widi merupakan urusan pribadi, sehingga tidak perlu harus seragam dan diatur detail.
Perkembangan yang guru perhatikan, dulu saat guru kecil sampai remaja di kampong, sembahyang hanya mempersyaratkan pakaian harus sopan, bersih. Paling-paling memakai kain, kemeja, udeng dan pakai saput. Tidak ada ketentuan harus putih, akan tetapi umumnya berwarna kalem, baik motip kembang atau polos. Demikian pula untuk wanitanya, memakai kain, kebaya selendang ikat di pinggang, dan seuntai kembang di rambut, baik kembang emas, atau kembang segar. Misalnya sekuntum kamboja, cempaka, atau melati. Tidak memakai seragam.
Sejalan dengan kemajuan, dan banyak kegiatan masyarakat yang diatur oleh adat, sesuai dengan seragam yang digunakan dalam kerja, maka sembahyang kelihatannya juga diseragamkan pakaiannya, baik mengatasnamakan PKK, perkumpulan arisan, perkumpulan santi, atau sekehe (kelompok) taruna truni, sekehe gong dll kemudaian dibuatlah seragam. Yang menunjukkan identitas mereka masing masing, yang membedakannya dengan kelompok sejenis dari desa lain.
Namun secara umum pernah ada ‘ketentuan’ kalau sembahyang harus berpakaian putih-putih terutama untuk atasan, kebaya atau kemeja. Sehingga berkembang anggapan bahwa ke pura sembahyang harus mengenakan pakaian putih. Apalagid di negara kita putih sebagai lambing kesucian. Itu syah sayah saja. Demikian juga untuk kegiatan lainnya sepeti kedukaan menggunakan pakaian serba hitam, berduka.
Padahal kalau kita merujuk keaslinya, justru untuk sembahyang banyak dipakai pakaian warna hitam, perhatikan ketu dan pakaian Ida Pedanda, dan pakaian serba putih digunakan saat berduka. Perhatikan pada saat pelaksanaan pitra yadnya, keluarga berduka memakai pakaian putih, dengan ikat kepala kain putih.
Nah warna hendaknya kita tidak usah perdebatkan, yang penting hatinya suci, niatnya baik, bersih datang ke tempats sembahyang hanya untuk sembahyang. Bukan untuk tujuan yang lain.
“Akh saya tidak setuju Guru, kata Ari seorang taruni, yang  memang agak modis. Biarkan saja sembahyang memakai pakaian yang kita suka, yang penting yang memakai nyaman dan tidak menyusahkan rang lain Guru, kita kan beli dengan uang sendiri” Katanya.
Oke, pendapat kamu Ari juga benar, kataku. Namun ingat kita umumnya bersembahyang secara komunitas, secara berjamaah, bersama di Pura. Jadi disamping diri kita aka nada banyak orang lain yang bareng sembahyang dengan kita. Sehingga [erlu diperhatikan beberapa hal, ini menurut pandangan guru yang memang tidak ada dasarnya dalam weda, mungkin Guru belum pernah membacanya. Hanya guru kaitkan dengan norma, etika kesopanan, kepantasan, ketertiban umum yang guru tahu.
Sebaiknya kalian sembahyang pergunakan pakaian yang sopan, bersih sesuai adat masing-masing. Kalian yang dari Bali, ya seperti yang berlaku di Bali, kalian yang dari jawa seperti kau Bambang, ya sesuaikan dengan adat kamu sendiri. Bahkan dengan pakaian seragam kampus pun taka da salahnya, yang penting: bersih, sopan, nyaman saat melakukan sembahyang, tidak mencuri perhatian umat yang juga sembahyang, serta tidak memberatkan ekonomi kalian terlebih masih sekolah.
Janganlah kalian berpakaian yang sangat mencolok, misalnya memakai kain yang sangat tinggi sehingga betis kalian kelihatan, memakai kebaya lengan pendek tapi longgar sehingga daleman dapat dilirk tetangga, apalagi kebaya yang tembus pandang yang dapat menunjukkan lambaian maaf bulu ketek kalian. Itu akan merusak konsentrasi umat lainnya baik yang pria maupun wanita. Yang pria akan tergoda dan yang wanita akan bergunjing.
Kita tidak juga menghindar dari roda mode, boleh-boleh saja tetapi tetap disesuaikan dengan tujuan sembahyang kekusyukan, ketertiban yang membantu konsentrasi umat. Boleh saja memakai kebaya tembus pandang tapi memakailah pakaian dalam yang sopan, yang punya bulu ketek di cukr bersih misalnya. Kalau pakai kain sebaiknya minimal sampai mata kaki. Semuanya itu perlu pembiasaan, menyesuaikan diri dengan zamannya.
Kalau dulu ada pengartian bahwa destar harus bolong, karena ubun-ubun tempat munculnya sinar suci yang akan menyatu konsentrasi ke Ida Sang Hyang Widi, belakangan berkembang udeng yang mirip blangkon, ya syah syah saja itupun tidak apa-apa, karena alasan agar rambut terlindung, dan tetap bersih dari debu. Demikian pula dengan kebaya boleh saja menyesuaikan dengan zaman, dengan mode tapi tetap sopan, nyaman, dan tidak mengganggu konsentrasi teman sebelahnya.
Dari perbicangan kita dapat Guru simpulkan bahwa: pakaian dalam sembahyang sebenarnya tidak perlu seragam, pakailah yang kalian punya, yang penting kalian nyaman,bersih dan tidak menganggu konsentrasi tetangga saat sembahyang bersama. Untuk menyesuaikan dengan mode boleh-boleh saja asal tetap tidak menyimpang dari tujuan sembahyang. Tidak menganggu konsntrasi teman. Karena juga diyakini bahwa saat sembahyang merupakan saat yang tepat untuk ‘promosi’ bagi yang masih single baik yang pria maupun wanita sehingga modis boleh-bolehsaja.
Hanya saja tetap harus disesuaikan dengan desa, kala, patra. Karena berpakian maah, berpakaian modis juga merupakan ungkapan rasa syukur atas anugrah atau rezeki yang telah didapat, kapan lagi, apa lagi masih muda.
Jadi gunakanlah pakaian sembahyang yang tidak memberatkan kantong, yang penting niat sembahyangnya dapay berkonsentrasi dengan baik, dengan pakaian yang dipakai. Masalah seragam atau tidak seragam tidak perlu dipermasalahkan, kalau seragam ya silahkan, tak seragampun nggak apa apa.
Nah menurut guru demikian, bagi yang setuju boleh ikut, yang nggak setuju juga nggak apa-apa kalau ikutan. Sembahyanglah dengan nyaman, dengan kusyuk, jangan pakaian dijadikan perkara, karena perkara lebuh besar masih banyak yang perlu kita selesaikan. Setuju ……
Om Canti, Canti Canti Om
Puri Gading, Bukit Jimbaran awal Juli 2016

No comments:

Post a Comment