“SARWA KLESA WINASA YA”
Oleh : I Putu Pudja
Bajrashandi (google.com)
Om Suastiastu,
Cukup lama kami tidak berbincang karena kesibukan
masing-masing, serta liburan panjang smester ganjil. Kini perbincangan ringan
kami coba dengan perbincangan sepenggal doa, seperti di bawah ini.
Gerimis sore masih saja terjadi. Bangun dari ‘boci’ –bobok siang, baca tidur siang-
sehabis memberikan kuliah 6 sks hari itu, aku pulang langsung seperti biasa
leyeh-leyeh terus ketiduran. Hampir setengah enam sore ditemani secangkir teh manis,
kududuk di teras.
Dalam kesendirianku, Made muridku yang mendapat tugas belajar
kembali dari tugasnya, menghampiriku mampir setelah ada acara eskul di kampus.
Ia ke kampus dari kosnya atau sebaliknya selalu lewat depan tempat tinggalku.
Setelah saling meberikan salam, dia kupersilahkan membuat
minum sendiri ke dalam, lantas ngobrol sore. Ditemani teh manis dan roti dorong
yang kebetulan lewat depan rumah.
Membuka pembicaraan sore itu, kutanya bagaimana dengan
kuliahnya, apa bisa mengikuti setelah setahun di daerah tugas. Dia jawab: “astungkara
Guru, masih bisa ngikutin, walau pada awalnya agak telat dan suka ngantukan”,
katanya.
Bagaimana De, pengalaman kamu di daerah tanyaku. “Akh saya merasa saya belum apa-apa, tidak
sesuai kemampuan saya dibandingkan dengan harapan saya, katanya”
Pernyataan Made sangat bagus, yang menyatakan diri belum
mampu, belum ada apa-apanya. Itu menandakan bahwa Made masih haus akan
pengetahuan. Masih mempunyai kemauan untuk berbenah diri kearah yang lebih
baik.
Sambil memperhatikan hilir mudiknya taruna-taruni yang lewat
di luar pagar, perbincanangan sore itupun berlanjut. Made menanyakan makna dari, sepanggal doa yang sering diucapkan pendeta
saat pembersihan, yaitu “Sarwa Klesa Winasa ya”.
Iya guru juga sering mendengarnya, dan bahkan baru beberpa
hari yang lalu guru baca di buku Hindu Agama Universal, sepenggal doa tersebut.
Dalam buku itu disebutkan dengan lima Klesa yang menghambat
pencapaian tujuan, pelepasan atma untuk menyatu ke asalnya. Beberapa buku
menyebutkannya dengan panca klesa.
Klesa itu, berasal dari bahawa sansekerta yang artinya ‘penyakit’,
penderitaan atau hal-hal yang tidak baik yang menghalang pada pelepasan
seseorang. Singkatnya klesa adalah penyebab orang sulit mencapai pelepasan
dirinya sebagai tujuan hidup umat hindu. Ingat Catur Purusa Arta.
Ke lima klesa tersebut adalah : (1) awidya; (2) asmita: (3) raga, (4) dwesa
dan (5) abinewesa.
Awidya adalah kebodohan. Seperti kita ketahui bahwa kebodohan
akan membuat kita tidak tahu arah kehidupan, tujuan kehidupan maupun hal-hal
lain yang menjadi pedomana kehidupan ini.
Asmita adalah pandangan yang salah, terutama pandangan yang
salah terhadap ajaran agama. Karena pandangan yang demikian akan dapat
menyesatkan kita, semakin menjauhkan kita dengan kebenaran.
Raga adalah nafsu, yaitu ambisi, keinginan yang selalu
menguasai pikiran kita untuk maslaah duniawi. Ambisi ini sering menjerumuskan
kedalam hal yang keliru, karena tidak jarang orang melakukannya tanpa
memikirkan benar atau salah yang penting ambisinya terpenuhi.
Dwesa adalah kebencian. Kebencian tidak akan mengganggu orang
yang dibenci, atau sesuatu yang dibenci saja, akan tetapi banyak yang meyakini
bahwa kebencian akan mengganggu orangnya sendiri. Sehingga kita disarankan
jangan memelihara kebencian karena dia akan menjadi racun pada pikiran kita.
Abinewesa adalah rasa takut akan kematian. Oramg yang takut
akan kematian menunjukkan bahwa dia masih terikat dengan duniawi, dan sangat
jauh dengan tujuan dalam hidup kita. Hedaknya kita tetap berpegang teguh bahwa
lahir, hidup, mati adalah rahasa Tuhan, sehingga tiada orang yang mengetahui
kapan waktunya.
Begitu Made,jadi klesa itu tidak lain adalah jenis-jenis
penghambat yang menyelimuti pikiran dan sifat kita yang akan muncul dalam
perkataan dan perbuatan selanjutnya yang menjauhkan kita dari tujuan yang
hendak kita capai dalam kehidupan ini.
Ingat reinkarnasi dan karmapala, bukankah kelahiran kembali
pada hakekatnya adalah pembenahan diri, memperbaiki kehidupan sehingga semakin mendekati
tujuan hidup. Kesempatan reinkarnasi hendaknya digunakan dengan baik.
Hidari kehidupan kamu dikuasai klesa, sifat-sifat diatas yang
lebih banyak sebagai kiasan, padahal artinya sangat luas. Proses klesa tidak
jauh dari urutan penyebutannya diatas. Klesa diawali dengan kebodohan kita,
ketidak tahuan kita, kemalasan kita untuk belajar pengetahuan ( iptek, agama,
seni dll) sehingga kita tetap dibelenggu
kebodohan, kegelapan.
Kebodohan kita ini tidak jarang dimanfaatkan orang lain untuk
mengajarkan pandangan yang salah ke kita, yang memang malas belajar, sehingga
terhadap kebenaran kita sering mempunyai padangan yang salah. Kebenaran menjauh
dari kehidupan sehari-hari kita.
Kebodahan dan pandangan salah ini, sering menjerumuskan kita
pada ambisi yang keliru, kita menjadi materialistis, sangat mendewakan masalag
duniawi, benda benda duniawi, yang menjauhkan diri kita dari sifat
spiritual, kerohanian.
Karasnya kompetisi dalam mengejar ambisi untuk memenuhi nafsu
duniawi, tidak jarang menimbulkan kompetisi yang menjurus pada kebencian kepada
competitor, kebencian pada kegagalan dan lain sebagainya. Masalah demikian akan
memenuhi pikiran kita pada hal yang negative, dan manjauh dari pikiran yang
positif.
Setelah nafsu duniawi, kebendaan duniawi dan kebencian
menyelimuti setiap pikiran kita menjadikan apa yang diperoleh, apa yang
diinginkan lagi, menggiring kita takut akan kematian. Kenapa?, karena takut
tidak dapat menikmatinya. Itupun akan membuat kita semakin tidak meyakini apa
yang sudah diyakini tentang kehidupan ini. Lahir-hidup-mati semata mata adalah
mikik Tuhan Yang Maja Esa. Kita hanyalah wayang yang dimainkan Nya sebagai
dalang kehidupan ini.
Jadi dengan doa Sarwa
Klesa Winasa ya, kita berdoa agar segala penghalang, segala sakit yang
merintangi kita untuk mencapai tujuan, atau pelepasan, ya Guru. Celetuk Made, saat aku jeda meminum sisa teh,
manis dan roti mocca yang masih sepotong.
Iya Made, kamu benar. Makanya [ada setiap pembersihan baik
itu parayascita, pembersihan diri lainnya doa Sawa Klesa Winasa ya, semua
sakit, penghambat pencapaian tujuan hidup dibinasakan.
Si Pendoa berharap mendapat pencerahan, jauh dari kebodohan,
mempunyai pandangan yang benar terhadap suatu ajaran, tidak ambisius dengan
masalah duniawi, tidak diliputi kebencian dipenuhi welas asih, serta ikhlas
menerima kematian kalau sudah merupakan takdir dari Sang Prama Kawi.
Grimis sore, sudah reda kelelawar sudah pada nyambar nyambar
buah sawo di depan teras, mengingatkan kami untuk segera bubar, mandi dan
melaksanakan tugas selanjutnya.
Om Canthi Canthi Canthi Om
Puri Gading, 5 Mei 2016
Disarikan dari beberapa bacaan terutama dari
Rai Djendra, Ida Bagus, “Hindu
Agama Universal”, Paramita, Surabaya, 2013.
No comments:
Post a Comment