PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Thursday, January 29, 2015

Perbincangan-37 :"Apakah beryadnya itu memiskinkan?"



“APAKAH AKIBAT BERYADNYA MENJADI MISKIN”

Oleh : I Putu Pudja

 
Dalam Persembahyangan (google.co.id)
Betapa besar pengaruh dan luas daya jangkauannya media sosial saat ini. Berita meningkatnya kemiskinan saat ini –terutama di Bali- dikaitkan dengan kegiatan keagamaan yang dioerbincangkan belakangan ini rupanya terdengar juga sampai di rantau. Sampai di kampus tercinta dimana penulis ngayah menjalankan Jnana Marga selama ini.



Ketika pertemuan beberapa hari yang lalu, seorang taruna menanyakan. “Guru apakah benar kegiatan beryadnya di Bali telah memiskinkan masyarakat kita di Bali”
Kukatakan kepadanya bahwa ini pertanyaan yang mudah dijawab, tapi sulit untuk menjelaskannya terlebih di tengah budaya tradisional yang kuat, karena bangunan yang bernama tradisi itu sangat sulit ‘roboh’ semakin kuat ada yang ingin merobohkan maka akan semakin kuat pula dia bertahan. Kukatakan bahwa hanya rasionalisme yang akan dapat mengikis pelan pelan, apalagi kalau mereka yakin bahwa itu adalah hal yang baik maka itu akan lebih sulit lagi, kataku.

Yah akan kucoba menjelaskannya semoga kalian dapat lebih memahami dan menyikapinya dengan lebih realistis. Kumulai dengan tujuan hidup kita sebagai umat Hindu, tertuang dalam catur purusa artha, sangat jelas, yaitu : dharma, arta, kama, dan moksha.

Nah salah satu diantara yang dikaitkan dengan biaya yadnya dan kemiskinan tidak lain adalah ‘arta’. Arta disini dalam pelaksanaan yadnya sangat boleh merupakan suatu pelaksanaan darma dan syukur atas pencapaian, arta maupun kama yang mereka –umat- dapatkan dalam perjuangan hidupnya. Sehingga masalah lain yang merupakan akibat atau dampaknya akan menjadi pertimbangan yang kesekian. Apalagi kalau mereka telah melakukannya dengan keikhlasan.

Jadi ungkapan ;tidak ada orang menjadi miskin karena beryadnya’ disini memang ada benarnya. Beryadnya ada beberapa pilihan biasanya kalau kita nangkil ke Siwa – atau Brahmana atau Pedanda di Griya keluarga, Griya Siwa penuls adalah Griya Manuaba’ – pasti akan ditanyai atau ditawari pilihan yang bisa diambil yaitu : nista, madya atau utama. Nah disini kita perlu menyesuaikan dengan kemampuan kita. Janganlah mekasakan diri kalau kemampuan finansial atau arta kita memang tidak mencukupi. Jangan berutang setelah beryadnya, yang mungkin akan mengecilkan arti yadnyanya.

Ada sloka yang mengatakan. Buatlah senang hati para Dewa-dewa, maka Mereka juga akan membalasnya dengan kesenangan yang melimpah. Walau tidak persis bunyinya kira kira demikian. Menurut Guru kalau memang sebagai ungkapan syukur silahkan ukur sendiri kemampuan, dan keinginan kalian yang ingin menikmati berkat, melalui surudan upacara tersebut.

Namun kalau itu merupakan suatu prasyarat untuk mensucikan atau memelihara, atau mengelola sesuatu mungkin akan lebih baik jika pilihan kita adalah sesuai kemampuan pilihan nista pun enggak apa apa asalkan dapat mengesyahkan upacara tersebut secara keagamaan, misalnya dalam manusa yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya.

Dalam pernikahan misalnya, lebih baik kalian syah dengan upacara ‘nista’ saat kalian mengawali gerbang berumah tangga, dari pada kalian melaksanakannya secara meriah akan tetapi menundanya sampai kalian mengumpulkan uang cukup. Nah saran Guru kalau ada rejeki silahkan mengadakan perayaan, rsepsi terkait dikemudian hari. Jadi bukan upacara pokoknya tetapi resepsinya.

Nah tugas kalianlah yang akan menyebarkan pendapat ini kepada masyarakat, dimulai dari keluarga sendiri dalam menyikapi pelaksanaan yadnya yang sesuai dengan kemampuan kita. Perinsipnya yadnya harus dilakukan dengan dasar keikhlasan. Demikian pula halnya bila kita melaksanakannya secara berkelompok, hendaknyalah jangan memaksakan kehendak sendiri kalau kalian menjadi pengurus, ketahuilah kemampuan semua anggota. Berlakukanlah perinsip subsidi silang, sambil beryadnya juga berdana punia membantu anggota yang kurang mampu. Nilai upacara dan upakara yang dilakukan astungkara akan lebih bernilai lebih.

“Nah bagaimana guru tentang hasil survey yang didebatkan bahwa upacara keagamaan yang memiskinkan masyarakat –Hindu-“ sahut seorang taruna lainnya. Perlu kita ketahui bahwa survey itu biasanya menggunakan kuisioner yang pilihannya sudah dibuat oleh surveyor. Setiap jawaban akan diberikan nilai biasanya dari 1 sd 5 nilai itulah kemudian diolah dijadikan untuk menarik kesimpulan setelah di uji dengan berbagai rumus statistic yang biasa dipakai dalam penelitian. 

Peneliti itu tidak salah karena dia berbicara angka hasil survey. Pemilihan sample dalam penelitian juga akan menentukan hasil survey. Namun percayalah, mereka biasanya adalah orang oranag yang biasa melakukan survey masalah social. Hasil yang mereka dapatkan hendaknya kita gunakan sebagai bahan introspeksi. Agar kita menjadi tidak ‘boros’ untuk sesuatu hal yang seharusnya bisa kita laksanakan lebih murah dan lebih sederhana.

Ingat pilihan yadnya atau haturan biasanya menggambarkan isi hati yang melaksanakannya. Bila mereka lagi berbahagia dan lagi mempunyai rezeki maka pilihannya tentu akan lebih sedikit ‘mewah’ dibandingkan dengan mereka yang kurang beruntung. Tapi ingat semuanya itu merupakan sarana saja, dan tetap yang akan mendasarinya adalah keikhlasan, niat dari pelaksananya.

Jadi menurut guru tak perlu kita perdebatkan masalah beryadnya itu, kita serahkan saja kepada masing-masing umat dalam menyikapinya. Demikian pula dengan hasil survey, biarkanlah karena mereka hanya berbicara masalah anggka statistic hasil survey yang juga memiliki margin kesalahan yang sebenarnya banyak disembunyikan oleh surveyornya. Jadikanlah hasil itu sebagai sarana mawas diri, kan lebih baik ada yang memperhatikan kita melaksanakan yadnya dibandingkan dengan taka da yang memperhatiannya.

Terkait dengan statistic Guru ingat dengan penilaian Dosen Guru waktu menuntut ilmu di Universitas Indonesia, yaitu dr Na Peng Bo, seorang dosen yang juga seorang Romo. Beliau mengingatkan murid-muridnya hendaknya berhati hati dengan statistic, karena statistic itu menunjukkan kepada kita hal yang indah indah saja, akan tetapi menyembunyikan hal hal yang esensial. Sepeti wanita cantik berbikini, dia akan menjadi menarik perhatian lelaki, namun dia tetap menyembunyakan hal-hal yang esensial yang mereka punyai, katanya sambil terkekeh menghadap ke luar jendela, disambut gerrrrr oleh mahasiswanya yang mengikuti, serta dengan seribu kebingungan oleh mahasiswa yang sedikit telmi.

Nah itulah yang guru dapat sampaikan, dengan harapan PHDI sebagai lembaga umat yang mempunyai wewenang dalam mengatur umat dapat membuat Buku Petunjuk, mungkin nantinya dijadikan bisama  yang dapat dipedomani umat, sehingga untuk yang ‘kurang’ mampu maupun yang mampu dapat mempedomaninya dalam melakukan yadnya. 

Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Puri Gading di penghujung Januari 2015.

No comments:

Post a Comment