“APAKAH AKIBAT
BERYADNYA MENJADI MISKIN”
Oleh : I Putu Pudja
Dalam Persembahyangan (google.co.id)
Betapa besar pengaruh dan luas
daya jangkauannya media sosial saat ini. Berita meningkatnya kemiskinan saat
ini –terutama di Bali- dikaitkan dengan kegiatan keagamaan yang dioerbincangkan
belakangan ini rupanya terdengar juga sampai di rantau. Sampai di kampus
tercinta dimana penulis ngayah menjalankan Jnana Marga selama ini.
Ketika pertemuan beberapa hari
yang lalu, seorang taruna menanyakan. “Guru apakah benar kegiatan beryadnya di
Bali telah memiskinkan masyarakat kita di Bali”
Kukatakan kepadanya bahwa ini
pertanyaan yang mudah dijawab, tapi sulit untuk menjelaskannya terlebih di
tengah budaya tradisional yang kuat, karena bangunan yang bernama tradisi itu
sangat sulit ‘roboh’ semakin kuat ada yang ingin merobohkan maka akan semakin
kuat pula dia bertahan. Kukatakan bahwa hanya rasionalisme yang akan dapat
mengikis pelan pelan, apalagi kalau mereka yakin bahwa itu adalah hal yang baik
maka itu akan lebih sulit lagi, kataku.
Yah akan kucoba menjelaskannya
semoga kalian dapat lebih memahami dan menyikapinya dengan lebih realistis.
Kumulai dengan tujuan hidup kita sebagai umat Hindu, tertuang dalam catur
purusa artha, sangat jelas, yaitu : dharma, arta, kama, dan moksha.
Nah salah satu diantara yang
dikaitkan dengan biaya yadnya dan kemiskinan tidak lain adalah ‘arta’. Arta
disini dalam pelaksanaan yadnya sangat boleh merupakan suatu pelaksanaan darma
dan syukur atas pencapaian, arta maupun kama yang mereka –umat- dapatkan dalam
perjuangan hidupnya. Sehingga masalah lain yang merupakan akibat atau dampaknya
akan menjadi pertimbangan yang kesekian. Apalagi kalau mereka telah
melakukannya dengan keikhlasan.
Jadi ungkapan ;tidak ada orang
menjadi miskin karena beryadnya’ disini memang ada benarnya. Beryadnya ada
beberapa pilihan biasanya kalau kita nangkil ke Siwa – atau Brahmana atau
Pedanda di Griya keluarga, Griya Siwa penuls adalah Griya Manuaba’ – pasti akan
ditanyai atau ditawari pilihan yang bisa diambil yaitu : nista, madya atau
utama. Nah disini kita perlu menyesuaikan dengan kemampuan kita. Janganlah
mekasakan diri kalau kemampuan finansial atau arta kita memang tidak mencukupi.
Jangan berutang setelah beryadnya, yang mungkin akan mengecilkan arti
yadnyanya.
Ada sloka yang mengatakan. Buatlah
senang hati para Dewa-dewa, maka Mereka juga akan membalasnya dengan kesenangan
yang melimpah. Walau tidak persis bunyinya kira kira demikian. Menurut Guru
kalau memang sebagai ungkapan syukur silahkan ukur sendiri kemampuan, dan
keinginan kalian yang ingin menikmati berkat, melalui surudan upacara tersebut.
Namun kalau itu merupakan suatu
prasyarat untuk mensucikan atau memelihara, atau mengelola sesuatu mungkin akan
lebih baik jika pilihan kita adalah sesuai kemampuan pilihan nista pun enggak
apa apa asalkan dapat mengesyahkan upacara tersebut secara keagamaan, misalnya
dalam manusa yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya.
Dalam pernikahan misalnya, lebih
baik kalian syah dengan upacara ‘nista’ saat kalian mengawali gerbang berumah
tangga, dari pada kalian melaksanakannya secara meriah akan tetapi menundanya
sampai kalian mengumpulkan uang cukup. Nah saran Guru kalau ada rejeki silahkan
mengadakan perayaan, rsepsi terkait dikemudian hari. Jadi bukan upacara
pokoknya tetapi resepsinya.
Nah tugas kalianlah yang akan
menyebarkan pendapat ini kepada masyarakat, dimulai dari keluarga sendiri dalam
menyikapi pelaksanaan yadnya yang sesuai dengan kemampuan kita. Perinsipnya yadnya
harus dilakukan dengan dasar keikhlasan. Demikian pula halnya bila kita
melaksanakannya secara berkelompok, hendaknyalah jangan memaksakan kehendak
sendiri kalau kalian menjadi pengurus, ketahuilah kemampuan semua anggota. Berlakukanlah
perinsip subsidi silang, sambil beryadnya juga berdana punia membantu anggota
yang kurang mampu. Nilai upacara dan upakara yang dilakukan astungkara akan
lebih bernilai lebih.
“Nah bagaimana guru tentang hasil
survey yang didebatkan bahwa upacara keagamaan yang memiskinkan masyarakat –Hindu-“
sahut seorang taruna lainnya. Perlu kita ketahui bahwa survey
itu biasanya menggunakan kuisioner yang pilihannya sudah dibuat oleh surveyor.
Setiap jawaban akan diberikan nilai biasanya dari 1 sd 5 nilai itulah kemudian
diolah dijadikan untuk menarik kesimpulan setelah di uji dengan berbagai rumus statistic
yang biasa dipakai dalam penelitian.
Peneliti itu tidak salah karena
dia berbicara angka hasil survey. Pemilihan sample dalam penelitian juga akan
menentukan hasil survey. Namun percayalah, mereka biasanya adalah orang oranag
yang biasa melakukan survey masalah social. Hasil yang mereka dapatkan
hendaknya kita gunakan sebagai bahan introspeksi. Agar kita menjadi tidak ‘boros’
untuk sesuatu hal yang seharusnya bisa kita laksanakan lebih murah dan lebih
sederhana.
Ingat pilihan yadnya atau haturan
biasanya menggambarkan isi hati yang melaksanakannya. Bila mereka lagi
berbahagia dan lagi mempunyai rezeki maka pilihannya tentu akan lebih sedikit ‘mewah’
dibandingkan dengan mereka yang kurang beruntung. Tapi ingat semuanya itu
merupakan sarana saja, dan tetap yang akan mendasarinya adalah keikhlasan, niat
dari pelaksananya.
Jadi menurut guru tak perlu kita
perdebatkan masalah beryadnya itu, kita serahkan saja kepada masing-masing umat
dalam menyikapinya. Demikian pula dengan hasil survey, biarkanlah karena mereka
hanya berbicara masalah anggka statistic hasil survey yang juga memiliki margin
kesalahan yang sebenarnya banyak disembunyikan oleh surveyornya. Jadikanlah
hasil itu sebagai sarana mawas diri, kan lebih baik ada yang memperhatikan kita
melaksanakan yadnya dibandingkan dengan taka da yang memperhatiannya.
Terkait dengan statistic Guru
ingat dengan penilaian Dosen Guru waktu menuntut ilmu di Universitas Indonesia,
yaitu dr Na Peng Bo, seorang dosen yang juga seorang Romo. Beliau mengingatkan
murid-muridnya hendaknya berhati hati dengan statistic, karena statistic itu
menunjukkan kepada kita hal yang indah indah saja, akan tetapi menyembunyikan
hal hal yang esensial. Sepeti wanita cantik berbikini, dia akan menjadi menarik
perhatian lelaki, namun dia tetap menyembunyakan hal-hal yang esensial yang
mereka punyai, katanya sambil terkekeh menghadap ke luar jendela, disambut
gerrrrr oleh mahasiswanya yang mengikuti, serta dengan seribu kebingungan oleh
mahasiswa yang sedikit telmi.
Nah itulah yang guru dapat
sampaikan, dengan harapan PHDI sebagai lembaga umat yang mempunyai wewenang
dalam mengatur umat dapat membuat Buku Petunjuk, mungkin nantinya dijadikan
bisama yang dapat dipedomani umat,
sehingga untuk yang ‘kurang’ mampu maupun yang mampu dapat mempedomaninya dalam
melakukan yadnya.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om
Puri Gading di penghujung Januari
2015.
No comments:
Post a Comment