“SIWA RATRI DARI KEGELAPAN MENUJU TERANG”
Oleh : I Putu Pudja
Tratai Biru |
Setiap menjelang tilem ke 7 –tilem,
bulan mati- yang biasa jatuh pada bulan
Januari, kita memperingati Siwa Ratri, suatu hari perenungan terutama terhadap
kekeliruan kita sehingga semakin terbelenggu, akibat diantaranya karena indria
kita yang telah memperbudak kita secara tidak disadarai karena kenikmatan
dunia. Kenikmatan melalui pandangan mata, kenikmatan melalui penciuman,
kenikmatan karena pendengaran, kenikmatan melalui pengecapan atau pengecupan
kita, serta kenikmatan karena rabaan .
Perenungan diharapkan akan
melahirkan kesadaran sehingga berupaya untuk keluar dari belenggu tersebut
kembali ke tujuan hidup yaitu catur purusa artha : darma, arta, kama, dan mksa.
Bukankah itu juga akan bersekuwensi mengejar kenikmatan. Begitulah pertanyaan
murid-muridku sesat mereka pulang dari melaksanakan jagra di pura.
Nah anakku, berbiara masalah
belenggu yang membuat kita trelena, atau membuat kita berada dalam kegelapan
sebagai ilustrasi mari kita ingat bagaimana Dewi gandari saking setianya kepada
Destrarata, rela hidup dalam kegelapan meinggalkan indahnya dunia ini. Dalam
suatu permohonannya kepada Dewa Siwa, salah sati Dewa dalam Tri Murti sebagai
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi, tepatnya sebagai manifestasinya Tuhan Yang
Maha Esa. Dewi Gandar mengajukan satu permohonan yang akan dikabulkan oleh Dewa
Siwa, yaitu permohonan akan baju besi untuk anaknya Duryadana.
Duryodana diminta datang ketempat
persemadian Dewi gandarai tengah malam,
dengan tanpa busama agar seluruh tubuhnya dapat terlindungi oleh baju besi
tersebut. Memang kuasa Tuhan Yang Maha Esa tidak mengijinkan angkara murka
meraja lela didunia, dalam perjalanan menuju kamar suci ibunya dia bertemu
Krisna. Krisna bertanya tujuan Duryodana, sehingga krisna menyarankan agar
Duryodana menutupi bagian
kemaluannya dengan daun untuk menjaga kesopanan dihadapan ibunya. Nah disana
ternyata akan menjadi kelemahan Duryodana dalam perang Bharatayuda.
Itu hanyalah sebuah ilustrasi,
yang coba Guru kaitkan dengan Siwa
Ratri. Disana kita ambil point bahwa Siwa maha pengasih, Siwa memberikan
karunianya malam hari, baju besi diharapkan dapat menutupi kelemahan Duryodana
sehingga kuat dalam perang melawan sepupunya di medan perang.
Nah Siwa Ratri merupakan hari
perenungan terhadap belenggu kegelapan – termasuk dosa-dosa- yang menyelimuti
kehidupan kita, serta permohonan akan peleburan terhadap belenggu tersebut.
Dalam pelaksanaan Siwa ratri dilakukan Tri Tapai yaitu :
1. Puasa
makan atau upawasa, mempuasakan mulut untuk makan minum;
2. Puasa
Berbicara. Monabrata, mempuasakan mulut untuk berbicara;
3. Begadang,
mempuasakan mata untuk tidak tidur.
“Nah kalau begitu guru, tapa yang
mana yang harus kita lakukan?” Tanya seorang muridku seorang Taruni dari
Mataram.
Nah pilihan tentu ada pada kita,
menurut guru untuk kalian yang masih sekolah karena tidak mendapatkan libur di
sekolah kalian cukup laksanakan “Begadang” atau jagra, lebih baik kalian
laksakan di pura terdekat bersama kawan-kawan, diawali dengan pemerascitaan
yang umumnya ada pada setiap pura saat Siwa ratri. Kalian cukup lakukan ketiga,
dua atau satu, minimal jagra tidak tidur semalaman. Itu akan merupakan symbol yang
mengajarkan kalian untuk selalu ‘melek’ waspada terhadap hal-hal yang dapat
membelenggu kehidupan kalian. Mulailah tepat sandikala sehabis trisandya,
sampai kalian akan tri sandya lagi besok paginya.
Jadi apa yang kalian kerjakan
semalam itu sudah merupakan ibadah dalam skala nista. Yang lebih punya waktu
longgar dan mampu melaksanakannya dapat melaksanakan dua dari tri tapa itu
selama 24 jam, sebagai pelaksanaan dalam skala madya, serta melaksanakan ketiga
tapa tersebut dengan baik selama 36 jam. Dengan tetap dimulai sehabis trisandya
Sandikala, Agama tidak pernah memaksa kalian, itu diserahkan kepada kalian
untuk memilih melaksanakannya, karena agama cukup memberikan keleluasaan dan pilihan.
“Kalai begitu kenapa Ciwa Ratri,
hanya dilakukan pada purwaning tilem ke 7 Guru?” Tanya seorang muridku yang
asli Klaten.
Oh ini coba guru kaitkan dengan
atronomi. Pada saat tileming ke 7 posisi matahari masih ada di belahan utara
bumi, dan diyakini sebagai tempat yang terdekat sepanjang peredaran
revolusinya, sehingga akan berdampak : 1. Bumi paling gelap saat itu, dan 2. Gravitasi
bumi akan relatip lebih besar saat itu dari rata-ratanya.
Paling gelap merupakan simbolik
belenggu yang kita alami atau lakukan karena ketidak sadaran dan ketidak tahuan
kita karena perlakuakn panca indra. Kegelapan telah menyadarkan kita untuk
berusaha menuju terang, sama seperti dedalu atau laron yang akan selalu mencari
terang setelah sayapnya tumbuh. Intinya supergelap akan menyadarkan kita bahwa
kita ini hidup terbelengu dosa, yang perlu secara perlahan dilebur baik dari
yadnya maupun lewat jalan catur marga.Kondisi supergelap ini juga diyakini,
akan turunnya Siwa – Dewa Siwa atau Bhatara Siwa- kebumi untuk mengaugrahi
umatnya jalan terang, sama seperti anugrahnya melalui doa Dewi Gandari, baju
besi untuk Duryodana. Baju itu untuk menutupi kekurangan atau kegelapannya,
namun apa daya karena ‘tipu daya’ berlatar susila telah menjadikannya tidak
mempereleh baju secara utuh.
Gravitas yang tinggi saat itu,
diharapkan akan mampu menarik selubung kegelapan para tapa di malam itu.
Intinya agar kita mempunyai kesadaran dan kemauan untuk keluar dari belenggu
kegelapan yang secara sadar dengan jagra kita yakini. Demikian pula selanjutnya
diharapkan kita selalu terjaga agar belenggu itu itdak lagi membelenggu
kehidupan kita.
“Guru bertanya lagi guru, kata
seorang muridku Gde yang datang dari Kalimantan, seorang taruna yang ikut
orangtuanya sudah migran dari Bali ke Kalimantan. Apakah kita hanya mempuasakan
‘mulut, -yang sebenarnya lidah- saja, kapan kita mempuasakan indra kita yang
lain?”
Nah itu pertanyaan yang bagus dan
mudah De, tapi menjawabnya cukup sulit.
Tapi guru coba menjelaskannya. Seperti tadi guru katakana bahwa belenggu dosa
itu bisa datang dari seluruh indra kita, sehingga perlu untuk kita
meminimalisir satu persatu, karena Guru yakin kita belum bisa meniadakan
semuanya. Walaupun kita hanya Jagra dan puasa “mulut” saat Siwa ratri, tidak
ada salahnya kita juga mempuasakan indra kita yang lain dalam malam supergelap
itu.
Demikian pula akan sangat baik
kalau kalian mencoba mempuasakan kalian punya indra satu persatu dikaitkan
dengan catur marga yang kalian jalankan. Mempuasakan mata mungkin sudah kita
lakukan termasuk mempuasakan semua panca indra setiap malam. Hanya saja kita
sering tidak memualainya dengan niat. Mungkin akan sangat baik kita mencoa
mematikan indra kita dalam kehidupan sehari hari secara perlahan melatih satu
persatu. Bagaimana kita tidak terpengaruih dengan bau misalnya pada suatu hari.
Hari lainnya kita coba kita tidak terpengaruh pandangan, atau untuk indria
lainnya. Memang sangat sulit dilaksanakan tetapi untuk latihan tidak ada
salahnya untuk dicoba.
“Nah bukankah kita telah
mengingkari anugrah Tuhan kepada kita kalau kita tidak gunakan secara maksimal
indra kita Guru” sahut seorang muridku .
Betul sekali, semua itu diberikan
ada fungsinya untuk kehidupan kita, namun kita juga diharapkan dapat secara
bijaksana untuk memakainya. Karena semuanya seperti guru katakana diatas kalau
salah menggunakan indra kita itu, akan semakin mempertebal belenggu dosa yang
kita lakukan. Minimal dengan Siwa ratri kalian dapat intospeksi terhadap
belenggu belenggu yang ada dalam diri kalian, yang merupakan produk sampingan
sebagai dampak kerja indra kita. Untuk itulah kita perlu mohon anugerah Siwa
akan turun pada Siwa ratri akan melebur keinginan dan dosa kita yang akan
membelenggu kita semakin kuat kalau kita biarkan saja.
Kopi kapucino, dan satu doz donat
merk terkenal habis kami lahap sambil berdiskusi, dan tak terasa sandikala
sudah datang sore itu kami sudahi dengan memberikan rangkuman sbb:
1. Siwa Ratri merupakan malam perenungan dan
peleburan belenggu –dosa, kebodohan, keterbelakangan dll kekurangan lainnya-
yang selama ini membelenggu kita.
2. Siwa
rati dilakukan pada purwaning tilem ka pitu, yang jatuh pada bulan Januari
diyakini sebagai posisi planet dan bintang saat itu memberikan efek gelap dan
gravitasi terkuat pada bumi, sehingga Siwa Ratri sebagai revolusi keluar
kegelapan menuju terang, sangat tepat dilakukan pada malam itu.
3. Posisi
tata surya yang demikian terhadap bumi dengan maksimum gravitasinya, diharapkan
akan mempengaruhi pikiran manusia untuk move-on dari belenggu kegelapan menuju
terang.
4. Pelaksanaan
Siwa Ratri, diserahkan kepada kemampuan masing masing melaksanakan maik dalam
skala nista, madya atau utama. Semuanya bertujuan untuk permohonan untuk
peleburan dosa, hijrah dari kegelapan menuju terang.
Selamat Siwa Ratri, semoga Tuhan
Yang Maha Esa menghampuni diri kita yang papa
Om papa Om papa karmaham; papa
atma papa sambawah; trahinam pundari kaksah; sabaiyo biatara suci. Begitu bait
trisabdya yang selalu kita lafalkan untuk revolusi keluar dari kepaan dunia.
Om Canti, Canti, Canti Om.
Puri Gading, Ciwa ratri 2015
No comments:
Post a Comment