PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Monday, January 19, 2015

Perbincagan 36: Siwa Ratri, Move-on dari belenggu kegelapan menuju terang



“SIWA RATRI DARI KEGELAPAN MENUJU TERANG”

Oleh : I Putu Pudja

Tratai Biru
Setiap menjelang tilem ke 7 –tilem, bulan mati-  yang biasa jatuh pada bulan Januari, kita memperingati Siwa Ratri, suatu hari perenungan terutama terhadap kekeliruan kita sehingga semakin terbelenggu, akibat diantaranya karena indria kita yang telah memperbudak kita secara tidak disadarai karena kenikmatan dunia. Kenikmatan melalui pandangan mata, kenikmatan melalui penciuman, kenikmatan karena pendengaran, kenikmatan melalui pengecapan atau pengecupan kita, serta kenikmatan karena rabaan .
Perenungan diharapkan akan melahirkan kesadaran sehingga berupaya untuk keluar dari belenggu tersebut kembali ke tujuan hidup yaitu catur purusa artha : darma, arta, kama, dan mksa. Bukankah itu juga akan bersekuwensi mengejar kenikmatan. Begitulah pertanyaan murid-muridku sesat mereka pulang dari melaksanakan jagra di pura.
Nah anakku, berbiara masalah belenggu yang membuat kita trelena, atau membuat kita berada dalam kegelapan sebagai ilustrasi mari kita ingat bagaimana Dewi gandari saking setianya kepada Destrarata, rela hidup dalam kegelapan meinggalkan indahnya dunia ini. Dalam suatu permohonannya kepada Dewa Siwa, salah sati Dewa dalam Tri Murti sebagai perwujudan Ida Sang Hyang Widhi, tepatnya sebagai manifestasinya Tuhan Yang Maha Esa. Dewi Gandar mengajukan satu permohonan yang akan dikabulkan oleh Dewa Siwa, yaitu permohonan akan baju besi untuk anaknya Duryadana.
Duryodana diminta datang ketempat persemadian Dewi gandarai tengah malam, dengan tanpa busama agar seluruh tubuhnya dapat terlindungi oleh baju besi tersebut. Memang kuasa Tuhan Yang Maha Esa tidak mengijinkan angkara murka meraja lela didunia, dalam perjalanan menuju kamar suci ibunya dia bertemu Krisna. Krisna bertanya tujuan Duryodana, sehingga krisna menyarankan agar Duryodana menutupi bagian kemaluannya dengan daun untuk menjaga kesopanan dihadapan ibunya. Nah disana ternyata akan menjadi kelemahan Duryodana dalam perang Bharatayuda.
Itu hanyalah sebuah ilustrasi, yang  coba Guru kaitkan dengan Siwa Ratri. Disana kita ambil point bahwa Siwa maha pengasih, Siwa memberikan karunianya malam hari, baju besi diharapkan dapat menutupi kelemahan Duryodana sehingga kuat dalam perang melawan sepupunya di medan perang.
Nah Siwa Ratri merupakan hari perenungan terhadap belenggu kegelapan – termasuk dosa-dosa- yang menyelimuti kehidupan kita, serta permohonan akan peleburan terhadap belenggu tersebut. Dalam pelaksanaan Siwa ratri dilakukan Tri Tapai yaitu :
1.       Puasa makan atau upawasa, mempuasakan mulut untuk makan minum;
2.       Puasa Berbicara. Monabrata, mempuasakan mulut untuk berbicara;
3.       Begadang, mempuasakan mata untuk tidak tidur.
“Nah kalau begitu guru, tapa yang mana yang harus kita lakukan?” Tanya seorang muridku seorang Taruni dari Mataram.
Nah pilihan tentu ada pada kita, menurut guru untuk kalian yang masih sekolah karena tidak mendapatkan libur di sekolah kalian cukup laksanakan “Begadang” atau jagra, lebih baik kalian laksakan di pura terdekat bersama kawan-kawan, diawali dengan pemerascitaan yang umumnya ada pada setiap pura saat Siwa ratri. Kalian cukup lakukan ketiga, dua atau satu, minimal jagra tidak tidur semalaman. Itu akan merupakan symbol yang mengajarkan kalian untuk selalu ‘melek’ waspada terhadap hal-hal yang dapat membelenggu kehidupan kalian. Mulailah tepat sandikala sehabis trisandya, sampai kalian akan tri sandya lagi besok paginya.
Jadi apa yang kalian kerjakan semalam itu sudah merupakan ibadah dalam skala nista. Yang lebih punya waktu longgar dan mampu melaksanakannya dapat melaksanakan dua dari tri tapa itu selama 24 jam, sebagai pelaksanaan dalam skala madya, serta melaksanakan ketiga tapa tersebut dengan baik selama 36 jam. Dengan tetap dimulai sehabis trisandya Sandikala, Agama tidak pernah memaksa kalian, itu diserahkan kepada kalian untuk memilih melaksanakannya, karena agama cukup memberikan keleluasaan dan pilihan.
“Kalai begitu kenapa Ciwa Ratri, hanya dilakukan pada purwaning tilem ke 7 Guru?” Tanya seorang muridku yang asli Klaten.
Oh ini coba guru kaitkan dengan atronomi. Pada saat tileming ke 7 posisi matahari masih ada di belahan utara bumi, dan diyakini sebagai tempat yang terdekat sepanjang peredaran revolusinya, sehingga akan berdampak : 1. Bumi paling gelap saat itu, dan 2. Gravitasi bumi akan relatip lebih besar saat itu dari rata-ratanya.
Paling gelap merupakan simbolik belenggu yang kita alami atau lakukan karena ketidak sadaran dan ketidak tahuan kita karena perlakuakn panca indra. Kegelapan telah menyadarkan kita untuk berusaha menuju terang, sama seperti dedalu atau laron yang akan selalu mencari terang setelah sayapnya tumbuh. Intinya supergelap akan menyadarkan kita bahwa kita ini hidup terbelengu dosa, yang perlu secara perlahan dilebur baik dari yadnya maupun lewat jalan catur marga.Kondisi supergelap ini juga diyakini, akan turunnya Siwa – Dewa Siwa atau Bhatara Siwa- kebumi untuk mengaugrahi umatnya jalan terang, sama seperti anugrahnya melalui doa Dewi Gandari, baju besi untuk Duryodana. Baju itu untuk menutupi kekurangan atau kegelapannya, namun apa daya karena ‘tipu daya’ berlatar susila telah menjadikannya tidak mempereleh baju secara utuh.
Gravitas yang tinggi saat itu, diharapkan akan mampu menarik selubung kegelapan para tapa di malam itu. Intinya agar kita mempunyai kesadaran dan kemauan untuk keluar dari belenggu kegelapan yang secara sadar dengan jagra kita yakini. Demikian pula selanjutnya diharapkan kita selalu terjaga agar belenggu itu itdak lagi membelenggu kehidupan kita.
“Guru bertanya lagi guru, kata seorang muridku Gde yang datang dari Kalimantan, seorang taruna yang ikut orangtuanya sudah migran dari Bali ke Kalimantan. Apakah kita hanya mempuasakan ‘mulut, -yang sebenarnya lidah- saja, kapan kita mempuasakan indra kita yang lain?”
Nah itu pertanyaan yang bagus dan mudah De,  tapi menjawabnya cukup sulit. Tapi guru coba menjelaskannya. Seperti tadi guru katakana bahwa belenggu dosa itu bisa datang dari seluruh indra kita, sehingga perlu untuk kita meminimalisir satu persatu, karena Guru yakin kita belum bisa meniadakan semuanya. Walaupun kita hanya Jagra dan puasa “mulut” saat Siwa ratri, tidak ada salahnya kita juga mempuasakan indra kita yang lain dalam malam supergelap itu.
Demikian pula akan sangat baik kalau kalian mencoba mempuasakan kalian punya indra satu persatu dikaitkan dengan catur marga yang kalian jalankan. Mempuasakan mata mungkin sudah kita lakukan termasuk mempuasakan semua panca indra setiap malam. Hanya saja kita sering tidak memualainya dengan niat. Mungkin akan sangat baik kita mencoa mematikan indra kita dalam kehidupan sehari hari secara perlahan melatih satu persatu. Bagaimana kita tidak terpengaruih dengan bau misalnya pada suatu hari. Hari lainnya kita coba kita tidak terpengaruh pandangan, atau untuk indria lainnya. Memang sangat sulit dilaksanakan tetapi untuk latihan tidak ada salahnya untuk dicoba.
“Nah bukankah kita telah mengingkari anugrah Tuhan kepada kita kalau kita tidak gunakan secara maksimal indra kita Guru” sahut seorang muridku .
Betul sekali, semua itu diberikan ada fungsinya untuk kehidupan kita, namun kita juga diharapkan dapat secara bijaksana untuk memakainya. Karena semuanya seperti guru katakana diatas kalau salah menggunakan indra kita itu, akan semakin mempertebal belenggu dosa yang kita lakukan. Minimal dengan Siwa ratri kalian dapat intospeksi terhadap belenggu belenggu yang ada dalam diri kalian, yang merupakan produk sampingan sebagai dampak kerja indra kita. Untuk itulah kita perlu mohon anugerah Siwa akan turun pada Siwa ratri akan melebur keinginan dan dosa kita yang akan membelenggu kita semakin kuat kalau kita biarkan saja.
Kopi kapucino, dan satu doz donat merk terkenal habis kami lahap sambil berdiskusi, dan tak terasa sandikala sudah datang sore itu kami sudahi dengan memberikan rangkuman sbb:
1.        Siwa Ratri merupakan malam perenungan dan peleburan belenggu –dosa, kebodohan, keterbelakangan dll kekurangan lainnya- yang selama ini membelenggu kita.
2.       Siwa rati dilakukan pada purwaning tilem ka pitu, yang jatuh pada bulan Januari diyakini sebagai posisi planet dan bintang saat itu memberikan efek gelap dan gravitasi terkuat pada bumi, sehingga Siwa Ratri sebagai revolusi keluar kegelapan menuju terang, sangat tepat dilakukan pada malam itu.
3.       Posisi tata surya yang demikian terhadap bumi dengan maksimum gravitasinya, diharapkan akan mempengaruhi pikiran manusia untuk move-on dari belenggu kegelapan menuju terang.
4.       Pelaksanaan Siwa Ratri, diserahkan kepada kemampuan masing masing melaksanakan maik dalam skala nista, madya atau utama. Semuanya bertujuan untuk permohonan untuk peleburan dosa, hijrah dari kegelapan menuju terang.
Selamat Siwa Ratri, semoga Tuhan Yang Maha Esa menghampuni diri kita yang papa
Om papa Om papa karmaham; papa atma papa sambawah; trahinam pundari kaksah; sabaiyo biatara suci. Begitu bait trisabdya yang selalu kita lafalkan untuk revolusi keluar dari kepaan dunia.
Om Canti, Canti, Canti Om.        

Puri Gading, Ciwa ratri 2015                            

No comments:

Post a Comment