PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Monday, November 17, 2014

Perbincangan 30 : Weda kenapa masih ajawera?



"WEDA DAN LONTAR AJAWERA TAN SIDI PALANIA

Oleh : I Putu Pudja

Add caption
Saat kami membahas masalah Weda sebagai Pustaka Suci umat Hindu, kami ingat benar bahwa seorang taruna bertanya. Pertanyaannya sebenarnya adalah pertanyaan yang sangat sederhana, namun sangat susah menjelaskannya. Dan pertanyaan itupuns ebenarnya merupakan pertanyaan penulis, pada saat masih kecil, masih bersama Pekak atau Kakek di sebuah desar pertanian di Kabupaten Tabanan Bali.

Pertanyaan taruna kami sebagai berikut. “Guru, kenapa Weda maupun lontar lainnya tidak diperkenankan untuk di baca oleh sembarang orang?”.  Sebelum menjawabnya penulis bercerita, bagaimana rahasianya sebuah lontar, atau mungkin ‘angker’ nya sebagai buku suci tidak boleh dibaca sembarang orang.

Kuceritakan ketika itu, saat penulis sekitar kelas 1-2 Sekolah Rakyat, dimana penulis sudah mulai bisa membaca huruf –sastra- Bali. Kakek mengajak untuk menjemur lontarnya, karena saat itu musim hujan. Penulis tertarik untuk membaca sebuah buka yang banyak tulisan dan rajahan. Saat itu Kakek memperhatikan kami dan memanggilnya. Kakekpun menegur aku. “kalau kamu masih mau bantu ya bantu saja, tak usah membaca segala, nanti kalau sudah pada saatnya Kakek akan ajari kamu kalau memang kamu tertarik mempelajari lontar-lontar ini. Lontar ini ada di rumah tak kemana mana, kamu akan bisa mempelajarinya pada saatnya.

Jiwa bandelku keluar. Akupun menjawabnya. Kek aku kan sudah bisa baca huruf Bali, kenapa aku tak boleh membacanya. Jawabnya apa? “ Kalau kakek bilang tidak boleh ya tidak boleh, kalau kamu tetap membacanya tinggalkan kakek kerja sendiri, takusah kau bantu” katanya.


Makna dari jawaban itu sebenarnya akan aku gunakan untuk menjawab pertanyaan taruna tadi yang bertanya. Kujelaskan kepada mereka bahwa :ada dua sudut pandang terhadap Weda. Pertama Weda sebagai kitab suci yabg berisikan tatwa, sebagai kerangka ajaran Hindu, sehingga akan secara terbuka membuka akan berkembangnya multi tafsir, Mungkin ini yang dikawatirkan oleh kakekku, demikian juga para pendahulu kita dalam belajar weda, maupun lontar lainnya. Mereka khawatir bila kita memberikan tafsir yang salah karena kita belum memiliki pengalaman yang cukup dan landasan pemahaman terhadap norma, etika terkait. Pandangan ini akan menganggap belajar lontar – baca termasuk weda- akan bersifat ajawera tan sidi palania. Sangat ditabukan dan harua mampu manganggung akibatnya.

Kedua ada pandangan bahwa Weda merupakan ilmu pengetahuan, bahkan sebagai sumber ilmu pengetahuan, sehingga akan bersifat terbuka untuk dipelajari siapa saja, untuk diketahui dikembangkan karena Weda bersifat dinamis, terutama tafsirnya yang sangat fleksibel yang akan menyesuikan diri dengan zaman. Pandangan ini terutama dianut oleh penganut Hindu Teistik. Meraka merangkul semua sekte dalam Hindu, akan mencarikan semua pandangannya dalam titik temu dengan ajaran weda. Pandangan atau mashab ini banyak berkembang sejak Hindu pertengahan sampai saat ini. Mashab ini yang dikenal sebagai mashab yang membawa Hindu menjadi diterima dimana mana secara universal.

Dengan kedua pandangan tersebut titik pandang terhadap Weda bisa menjadi dua sisi. Weda sebagai tatwa yang sangat absulut karena merupakan weda sruti, yang memang harus dipelajari dengan penuh konsentrasi, harus ada basic lain terkait norna, etika, susila dan falsafah lainnya sehingga da[at mencerna dan mengimplementasikannya dengan baik dan benar. Nah ini yang berkembang luas secara tradisional di Indonesia – baca di Bali-, yang juga dianut oleh Kakek yang kami ceritakan di atas. Sebenarnya beliau sangat baik maksudnya, hanya saja usia anak-anak ku belum dapat menerima saat diucapkan beliau. Proses belajar Weda atau lontar dengan pandangan ini, sisya atau siswa biasanya menjalani tahapan, dimulai dengan nyantrik atau magang mendampingi sang duru dulu, sehingga pada saat yang tepat oleh Sang Guru maka siswa ini akan di upacarai upanayana , suatu tahapan sang siswa sudah dianggap siap untukmasuk belajar lontar atau weda. Setalah belajar bertahun-tahun, bahkan beberapa dikirim belajar pada guru guru yang lain, setelah itu baru di Parisuda, atau Wisuda dengan sebuah upacara mirip pewintenan. Setalah tahapan itu baru sang siswa dapat mem,bagikan ilmunya dengan tetap belajar dan tidak kehilangan kontak dengan guru-gurunya.

Untuk pandangan ke dua, yang memandang Weda atau lontar sebagai sumber ilmu pengetahuan, dia dapat belajar kapan saja. Sama seperti belajar ilmu pengetahuan modern di sekolah, minimal kalau itu berbahasa kawi, dia harus bisa berbahasa kawi, kalau lontarnya berhuruf Bali, mereka sudah fasih membaca huruf Bali. Atau kalau itu berbahasa Sansekerta mereka harus sudah mengetahui bahasa Sansekerta. Mungkin bisa kita sebutkan sebagai persyaratan siswa, di sekolah formal.

Kedua pandangan ini kelihatannya telah melebur dan menjadi lebih fleksibel saat ini, apakah itu suatu kemajuan atau kemunduran terserah pembaca menilainya. Seperti diadakannya upacara upanayana di setiap habis penerimaan murid baru. Yang dilakukan di Pura Sekolah.Apapun namanya upacara ini, menunjukkan sebuah keseriusan dari siswa untuk menuntut ilmu, atau melanjutkan menuntut ilmu di sekolah yang baru, agar dapat berjalan lancer, tidak ada halangan dan ilmunya berguna bagi siswa maupun lingkungannya.

Hal-hal yang begini ini kataku, seharusnya merupakan tugas PHDI yang bertugas membina umat untuk memberikan pemahaman, mana yang perlu dan mana yang tidak sehingga yang penting esensi dari sebuah upacara dan bukan ‘pelaksanaannya’ yang jor-joran. Untuk kemajuan agar generasi muda lebih mudah dan lebih dini belajar lontar atau weda dis ekolah informal, PHDI dapat mengeluarkan fatwanya atau mensosialisasikan cara sehingga cara ‘ajawera tan sidi palania’ yang disebutkan diatas membatasi keinginan belajar, dan seakan mengancam bahwa segala risikonya menjadi tanggung jawab siswa. Mudah-mudahan PHDI sudah memikirkannya.

Demikian juga dengan cara Hindu Teistik untuk merangkul umat yaitu dengan memberikan pembenarnan dengan mencarikan titik temu kegiatan yang sudah mentradisi di suatau daerah dengan ajaran Weda, hingga mereka merasa apa yang mereka lakukan sebnarnya adalah ajaran weda. Meraka akan merasa diberikan pembenaran bahkan mendapat penghormatan dalam melakukan tradisi mereka, sambil sedikit demi sedikit dikembalikan keesensi weda yang benar.

Kegiatan ini akan sangat membantu penyadaran rekan-rekan kita yang masih melakukan tradisi Hindu dengan cara Sunda Wiwitan, Hindu di Kaharingan, Hindu di Toraja, bahwa mereka selama ini melaksanakan tradisi Hindu, hanya implementasinya yang disesuaikan dengan daerah mereka masing-masing. Pembinaan umat harus lebih digiatkan oleh lembaga keagamaan ini.

Nah demikianlah anakku, taruna taruni semua, Weda memang sangat fleksibel ditafsirkan, terlebih bila kita memandangnya sebagai ilmu pengetahuan, tidak statis dan sangat dinamis untuk dikembangkan dan akan menyesuaikan diri dengan zamannya. Hanya saja kalau kita memandang Weda sebagai buku suci tatwa agama Hindu, memang diperlukan basic pengetahuan dan persiapan lahir bathin untuk mempelajarinya, sehingga tidak keliru dalam menafsirkannya. Selama kalian menuntukt ilmu di Sekolah Formal, yang bukan sekolah agama silahkan saja belajar Weda, dengan asumsi lebih pada Weda sebagai sumber ilmu pengetahuan, sehingga kalian tidak terbebani oleh tatwa yang ruwet.

Dan ingatlah Tuhan sebagai ‘ibu’ dari semua umat manusia tidak akan pernah memarahi anaknya, sekalipun dia bersalah atau bandel, Tuhan akan memaafkan umatnya, terlebih yang mau bertobat dan menyadari kesalahannya. Kusampaikan itu untuk menutup perbincangan kita kali ini, semoga kalian dapat memahami kenapa weda atau secara umum lontar masih di ‘ajawera tan sidi palania’ kan sampai saat ini.

Om Canti, Canti, Canti Om.
Puri Gading, Media Nopember 2014

1 comment:

  1. Om Swastiastu pak Pudja. Mohon sharing pengetahuannya mengenai pertanyaan awam sy berikut. d Lombok, tepatnya pada tilem kawulu, para umat hindu merayakan hari raya yg sy kenal dg 'kesanga' padahal pd tilem tsb tilem kawulu.
    Dan sy kebetulan tidak merayakannya krn dl kakek sy tidak punya dana untuk merayakannya walo hanya untuk membeli canang ataupun dupa, sehingga sy sampai saat ini tdk maturan walau dg canang dg maksud menghormati kebiasaan d klrga sy ini.
    Pwrtanyaan sy : apakah benar dg perayaan yg d sebut kesanga ini d tilem kawulu bkn d tilem kesangan? dan apakah sy harus tdk blh maturan akibat dr pendahulu sy itu? Sukseme.

    ReplyDelete