"WEDA DAN LONTAR AJAWERA TAN SIDI PALANIA”
Oleh : I Putu Pudja
![]() |
Add caption |
Saat kami membahas masalah Weda
sebagai Pustaka Suci umat Hindu, kami ingat benar bahwa seorang taruna
bertanya. Pertanyaannya sebenarnya adalah pertanyaan yang sangat sederhana,
namun sangat susah menjelaskannya. Dan pertanyaan itupuns ebenarnya merupakan
pertanyaan penulis, pada saat masih kecil, masih bersama Pekak atau Kakek di
sebuah desar pertanian di Kabupaten Tabanan Bali.
Pertanyaan taruna kami sebagai
berikut. “Guru, kenapa Weda maupun lontar lainnya tidak diperkenankan untuk di
baca oleh sembarang orang?”. Sebelum
menjawabnya penulis bercerita, bagaimana rahasianya sebuah lontar, atau mungkin
‘angker’ nya sebagai buku suci tidak boleh dibaca sembarang orang.
Kuceritakan ketika itu, saat
penulis sekitar kelas 1-2 Sekolah Rakyat, dimana penulis sudah mulai bisa
membaca huruf –sastra- Bali. Kakek mengajak untuk menjemur lontarnya, karena
saat itu musim hujan. Penulis tertarik untuk membaca sebuah buka yang banyak
tulisan dan rajahan. Saat itu Kakek memperhatikan kami dan memanggilnya. Kakekpun
menegur aku. “kalau kamu masih mau bantu ya bantu saja, tak usah membaca
segala, nanti kalau sudah pada saatnya Kakek akan ajari kamu kalau memang kamu
tertarik mempelajari lontar-lontar ini. Lontar ini ada di rumah tak kemana
mana, kamu akan bisa mempelajarinya pada saatnya.
Jiwa bandelku keluar. Akupun
menjawabnya. Kek aku kan sudah bisa baca huruf Bali, kenapa aku tak boleh membacanya.
Jawabnya apa? “ Kalau kakek bilang tidak boleh ya tidak boleh, kalau kamu tetap
membacanya tinggalkan kakek kerja sendiri, takusah kau bantu” katanya.
Makna dari jawaban itu sebenarnya
akan aku gunakan untuk menjawab pertanyaan taruna tadi yang bertanya.
Kujelaskan kepada mereka bahwa :ada dua sudut pandang terhadap Weda. Pertama Weda sebagai kitab suci yabg
berisikan tatwa, sebagai kerangka ajaran Hindu, sehingga akan secara terbuka membuka
akan berkembangnya multi tafsir, Mungkin ini yang dikawatirkan oleh kakekku,
demikian juga para pendahulu kita dalam belajar weda, maupun lontar lainnya.
Mereka khawatir bila kita memberikan tafsir yang salah karena kita belum
memiliki pengalaman yang cukup dan landasan pemahaman terhadap norma, etika
terkait. Pandangan ini akan menganggap belajar lontar – baca termasuk weda-
akan bersifat ajawera tan sidi palania. Sangat ditabukan dan harua mampu
manganggung akibatnya.
Kedua ada pandangan bahwa Weda merupakan ilmu pengetahuan, bahkan
sebagai sumber ilmu pengetahuan, sehingga akan bersifat terbuka untuk
dipelajari siapa saja, untuk diketahui dikembangkan karena Weda bersifat
dinamis, terutama tafsirnya yang sangat fleksibel yang akan menyesuikan diri dengan
zaman. Pandangan ini terutama dianut oleh penganut Hindu Teistik. Meraka
merangkul semua sekte dalam Hindu, akan mencarikan semua pandangannya dalam
titik temu dengan ajaran weda. Pandangan atau mashab ini banyak berkembang
sejak Hindu pertengahan sampai saat ini. Mashab ini yang dikenal sebagai mashab
yang membawa Hindu menjadi diterima dimana mana secara universal.
Dengan kedua pandangan tersebut
titik pandang terhadap Weda bisa menjadi dua sisi. Weda sebagai tatwa yang
sangat absulut karena merupakan weda sruti, yang memang harus dipelajari dengan
penuh konsentrasi, harus ada basic lain terkait norna, etika, susila dan
falsafah lainnya sehingga da[at mencerna dan mengimplementasikannya dengan baik
dan benar. Nah ini yang berkembang luas secara tradisional di Indonesia – baca di
Bali-, yang juga dianut oleh Kakek yang kami ceritakan di atas. Sebenarnya
beliau sangat baik maksudnya, hanya saja usia anak-anak ku belum dapat menerima
saat diucapkan beliau. Proses belajar Weda atau lontar dengan pandangan ini,
sisya atau siswa biasanya menjalani tahapan, dimulai dengan nyantrik atau
magang mendampingi sang duru dulu, sehingga pada saat yang tepat oleh Sang Guru
maka siswa ini akan di upacarai upanayana
, suatu tahapan sang siswa sudah dianggap siap untukmasuk belajar lontar atau
weda. Setalah belajar bertahun-tahun, bahkan beberapa dikirim belajar pada guru
guru yang lain, setelah itu baru di Parisuda,
atau Wisuda dengan sebuah upacara mirip pewintenan.
Setalah tahapan itu baru sang siswa dapat mem,bagikan ilmunya dengan tetap
belajar dan tidak kehilangan kontak dengan guru-gurunya.
Untuk pandangan ke dua, yang
memandang Weda atau lontar sebagai sumber ilmu pengetahuan, dia dapat belajar
kapan saja. Sama seperti belajar ilmu pengetahuan modern di sekolah, minimal
kalau itu berbahasa kawi, dia harus bisa berbahasa kawi, kalau lontarnya
berhuruf Bali, mereka sudah fasih membaca huruf Bali. Atau kalau itu berbahasa
Sansekerta mereka harus sudah mengetahui bahasa Sansekerta. Mungkin bisa kita
sebutkan sebagai persyaratan siswa, di sekolah formal.
Kedua pandangan ini kelihatannya
telah melebur dan menjadi lebih fleksibel saat ini, apakah itu suatu kemajuan
atau kemunduran terserah pembaca menilainya. Seperti diadakannya upacara
upanayana di setiap habis penerimaan murid baru. Yang dilakukan di Pura
Sekolah.Apapun namanya upacara ini, menunjukkan sebuah keseriusan dari siswa
untuk menuntut ilmu, atau melanjutkan menuntut ilmu di sekolah yang baru, agar
dapat berjalan lancer, tidak ada halangan dan ilmunya berguna bagi siswa maupun
lingkungannya.
Hal-hal yang begini ini kataku,
seharusnya merupakan tugas PHDI yang bertugas membina umat untuk memberikan
pemahaman, mana yang perlu dan mana yang tidak sehingga yang penting esensi
dari sebuah upacara dan bukan ‘pelaksanaannya’ yang jor-joran. Untuk kemajuan
agar generasi muda lebih mudah dan lebih dini belajar lontar atau weda dis
ekolah informal, PHDI dapat mengeluarkan fatwanya atau mensosialisasikan cara
sehingga cara ‘ajawera tan sidi palania’ yang disebutkan diatas membatasi
keinginan belajar, dan seakan mengancam bahwa segala risikonya menjadi tanggung
jawab siswa. Mudah-mudahan PHDI sudah memikirkannya.
Demikian juga dengan cara Hindu Teistik
untuk merangkul umat yaitu dengan memberikan pembenarnan dengan mencarikan
titik temu kegiatan yang sudah mentradisi di suatau daerah dengan ajaran Weda,
hingga mereka merasa apa yang mereka lakukan sebnarnya adalah ajaran weda.
Meraka akan merasa diberikan pembenaran bahkan mendapat penghormatan dalam melakukan
tradisi mereka, sambil sedikit demi sedikit dikembalikan keesensi weda yang
benar.
Kegiatan ini akan sangat membantu
penyadaran rekan-rekan kita yang masih melakukan tradisi Hindu dengan cara
Sunda Wiwitan, Hindu di Kaharingan, Hindu di Toraja, bahwa mereka selama ini
melaksanakan tradisi Hindu, hanya implementasinya yang disesuaikan dengan
daerah mereka masing-masing. Pembinaan umat harus lebih digiatkan oleh lembaga
keagamaan ini.
Nah demikianlah anakku, taruna
taruni semua, Weda memang sangat fleksibel ditafsirkan, terlebih bila kita
memandangnya sebagai ilmu pengetahuan, tidak statis dan sangat dinamis untuk
dikembangkan dan akan menyesuaikan diri dengan zamannya. Hanya saja kalau kita
memandang Weda sebagai buku suci tatwa agama Hindu, memang diperlukan basic pengetahuan
dan persiapan lahir bathin untuk mempelajarinya, sehingga tidak keliru dalam
menafsirkannya. Selama kalian menuntukt ilmu di Sekolah Formal, yang bukan
sekolah agama silahkan saja belajar Weda, dengan asumsi lebih pada Weda sebagai
sumber ilmu pengetahuan, sehingga kalian tidak terbebani oleh tatwa yang ruwet.
Dan ingatlah Tuhan sebagai ‘ibu’ dari semua umat manusia tidak akan pernah memarahi
anaknya, sekalipun dia bersalah atau bandel, Tuhan akan memaafkan umatnya,
terlebih yang mau bertobat dan menyadari kesalahannya. Kusampaikan itu
untuk menutup perbincangan kita kali ini, semoga kalian dapat memahami kenapa
weda atau secara umum lontar masih di ‘ajawera tan sidi palania’ kan sampai
saat ini.
Om
Canti, Canti, Canti Om.
Puri Gading, Media Nopember 2014
Om Swastiastu pak Pudja. Mohon sharing pengetahuannya mengenai pertanyaan awam sy berikut. d Lombok, tepatnya pada tilem kawulu, para umat hindu merayakan hari raya yg sy kenal dg 'kesanga' padahal pd tilem tsb tilem kawulu.
ReplyDeleteDan sy kebetulan tidak merayakannya krn dl kakek sy tidak punya dana untuk merayakannya walo hanya untuk membeli canang ataupun dupa, sehingga sy sampai saat ini tdk maturan walau dg canang dg maksud menghormati kebiasaan d klrga sy ini.
Pwrtanyaan sy : apakah benar dg perayaan yg d sebut kesanga ini d tilem kawulu bkn d tilem kesangan? dan apakah sy harus tdk blh maturan akibat dr pendahulu sy itu? Sukseme.