PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Wednesday, April 23, 2014

Perbincangan-12. Bolehkan Umat Hindu berpolitik



“BOLEHKAH UMAT HINDU BERPOLITIK”

Oleh : I Putu Pudja

Pencoblosan
Setelah pk.13 00 saat hari pencoblosan, 9 April 2014  ramai orang membicarakan hasil quick Count, atau hasil hitung cepat hasil pemilu legislative 2014, hampir semua mata dan telinga tertuju pada televise yang menyarkan secara live hasilnya. Demikian pula dalam media social seperti facebook, twitter, dan sejenisnya ramai masyarakat yang memposting hasilnya dengan komentar bermacam-macam dari anggota group atau temannya sejejaring.

Anakku nyeletuk bertanya. Sebuah pertanyaan yang mungkin konyol. Mungkin juga kritis atau sebagai ekspressi eksistensinya sebagai anak muda. Ia menanyakan kepadaku, begini “ Pak, apakah umat Hindu boleh berpolitik, kok kalau kita perhatikan saat debat politik –nasional- tidak kita temui seorangpun nara sumbernya beragama Hindu?”

“Dari mana kamu tahu, bahwa itu tak ada” Kataklu. Walau sedikit –karena mewakili komunitas yang kecil- namun kamu bisa perhatikan eksistensinya. Kamu lihat di acaranya Pak Karni Ilyas ILC, walau tidak banyak kita bisa saksikan beberapa kali ‘orang’ Hindu ikut jadi nara sumber kataku. “Ya paling-paling itu saja, Lo Lagi Lo Lagi”, kata anakku.


Nah buat apa kita memperbincangkan yang ada di TV, coba kita simak sejenak apakah Boleh Umat Hindu berpolitik?. Sebelum menjawabnya kita coba melihat apa sebenarnya politik itu dalam perspektif Hindu.
Pada intinya Politik di zaman dahulu adalah ilmu, atau pranata yang digunakan untuk menata sebuah kota, sebuah pemerintahan, maupun sebuah Negara. Konon politik inilah yang menghilhami Trias Politika. “Kamu tahu Trias Politika”, kataku. “Tahu dong itu : Legislatif, Ekskutif dan Yudikatif”, teriaknya. Sehingga bila kita lihat dari tujuannya berpolitik dan bernegara, terutama untuk kita di Indonesia, sebagai muaranya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kesejahteraan rakyat. Itu semuanya telah tercantum dalam Pembukaan Undang Undang dasar 1945.

Sedangkan kalau kita melihat tujuan hidup kita sebagai umat Hindu, adalah Catur Purusa artha : dharma, artha, kama, moksa. Nah bukankah di dalam di dalam artha dan kama tersurat suatu keadilan social dan kesejahteraan masyarakat. Ya memang akan tetapi kan sifatnya masih sangat individual.

Memang sifatnya individual, akan tetapi dia akan mengalir ke komunitas, karena manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Misalnya saja dalam mengumpulkan artha melalui perusahannya, maka mereka pasti akan mempekerjakan orang, dibantu orang lain terkait dengan berbagai pemangku kepentingan. Misalnya saja suplayer, pembeli, pemerintah dan lain sebagainya termasuk tenaga kerja yang dipekerjakannya. Disini asal memberikan penghasilan yang wajar, keuntungan yang wajar ke sesama pemangku jabatan (stake holder) nya, pasti akan ikut sebagai upaya mensejahterakannnya.

Hanya saja yang mebedakannya disini haruslah sebagai pengusaha yang pancasilais, yang dalam menjalankan usahanya masih mendasarkan setiap usahanya dengan dharma , sebagai wujud penerapan sila KeTuhanan Yang Maha Esa, melibatkan masyarakat sekitar tempat usaha sebagai karyawan (kemanusian yang adil dan beradab), tidak membedkan SARA dalam perkrutan tenaga kerjanya (Persatuan Indonesia), menerapkan penghargaan dan ganjaran terhadap hasil kerja karyawan (keadilan social ) serta mau mendengarkan suara karyawan walau keputusan tetap di tangan manajemen( musyawarah dan mufakat).

Demikian pulalah dalam perpolitikan nasional, umat hindu dapat melaksanakannya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip dharma. Bukankan banyak azas politik yang di ambil dari azas atau prinsip Hindu, seperti satya graham, tat wam asi, ahimsa, Pancasila, dan banyak sekali motto perjuangan para pahlawan kita yang diambil dari prinsip-prinsi Hindu. Lihat pula prinsip Gandi yang banyak diacu sampai saat ini.

Beberapa buku yang sempat penulis baca bahkan mengatakan bahwa melaksanakan agama, mensyaiarkan agama itu sebenarnya sudah berpolitik, demi tetap tegaknya agama, serta ikut membenahi kekacauan yang terjadi dalam masyarakat. Kekacauan disini sangat luas artinya. Demikian pula konsep masyarakat madani diambil, bermula dari himbauan, diantaranya sebagai ajakan kepada masyarakat untuk berubah. Dari kehidupan yang tidak teratur menjadi teratur. Jadi semangatnya adalah Change, perubahan. Berubah menjadi hidup teratur, bebas mengeluarkan pendapat, ada akses masyarakat ke pemerintah, demokratisasi, ditegakkannya Undang-undang dengan baik, ditegakkannya HAM dan lains sebagainya.

Jadi politik dapat dijadikan kendaraan untuk mengajak masyarakat berubah menuju ke tata kehidupan yang lebih baik, nah yang paling efektif mengajak disini adalah poltik agama. Itu kalau kita lihat dari persepsi tujuan agama – tujuan pemerintahan, tujuan penciptaan masyarakat madani- yaitu masyarakat adil makmur.

Tapi kan politik itu tidak mengenal kawan, yang kekal hanyalah kepentingan. Benar, benar sekali kalau kita lihat hanya dari arus permukaannya saja. Akan tetapi kalau kita masuk terlalu jauh ke dalam akan kita lihat bahwa, politik itu memerlukan massa, tidak sendirian seperti hidup manusia tidak akan pernah putus memerlukan bantuan orang lain, hanya saja akan lebih elok jikalau masyarakat yang diperlukan oleh para politikus itu tidak hanya diperlukan saat mencoblos saja, namun mereka harus dijadikan ladang inspirasi, dalam berjuang, ladang yang harus terus dipupuk dimajukan agar mereka menjadi berubah, menuju kearah kemajuan menuju masyarakat madani. Jangan jadi politikus yang seperti kacang akan lupa kulitnya. Merak haruslah menjadi agent of change.

Politikus sekarang juga kelihatannya instan seperti ‘kutu loncat’ mereka tidak mempunyai idealisme, mereka seperti pemain bola profesionalisme, pindah club ini, pindah club itu, akan tetapi satu tujuan untuk mencetak goal yang sebanyak banyaknya. Nah disini perbedaannya dengan politikus, terkadang dia tidak tahu apa idealism partainya, bagaimana komitmen partainya dengan masyarakat pemilihnya, mereka hanya berusaha bagaimana bisa terpilih menjadi legislative. Banyak melupakan idealism partai, banyak meninggalkan masyarakatnya, jangankan ngajak menuju perubahan, beberapa diantaranya datang saja tak pernah lagi ke dapilnya, kecuali mendekati pemilu. Hahahaha, Meraka harusnya sama dengan pemain bola professional, mencetak goal yang sebnayak banyaknya walaupun apa partainya, goal tersebut adalah kesejahreaan masyarakat, keadinan social, masyarakat adil dan makmur.

“Nah itu yang bapak katakan, kalau dia berjuang melalui legislative, kalau yang lain bagaimana yang ada di luar legislative” Tanya anakku lagi. 

Oh itu yang kaliann tanyakan, bapak kira yang terkait dengan pemilu saja. Sama saja yang mempunyai swadharma pada eksekutif maupun Yudikatif seharusnya sama. Karena mereka bekerja semuanya sudah diawali dari tugas dan fungsinya organisasinya masing-masing yang melekat pada instansi atau perusahan dimana mereka bekerja. 

Semuanya itu di dalam manajemen modern, akan dituangkan dalam visi dan misi organisasi ( instansi, perusahaan, organisasi lain), dengan dasar itu mereka akan membuat perencanaan kerja jangka panjang, jangka menengah, maupun rencana kerja tahunan. Semuanya itu harus sejalan dengan tugas pokok dan fungsi organisasinya. Mereka harus satya dengan perencanaannya, sehingga apa yang mereka rencanakan dapat terwujud dengan baik, yang akhirnya semata-mata untuk kemajuan masyarakat. Tapi tidak langsung untuk kemajuan masyarakat, lebih banyak sebagai ‘jembatan’ untuk mencapai kemajuan masyarakat. Kalau zaman orde sebelumnya itu kita kenal dengan GBHN, Garis-garis Besar Haluan Negara.

Mereka yang bekerja di dalam bidang yudikatif yang sudah seharusnya memberikan lawinforcement kepada mereka yang tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan tupoksi dan perencanaan awalnya, singkatnya mereka harus menindak bila terjadi penyimpangan, demikian pula mereka haruslah mengapresiasi bagi yang melaksanakan kewajibannya dengan baik. Meraka menerapkan prisnsp Funishment and reward. Yang baik diberikan penghargaan, dan yang salah harus diberikan ganjaran.

Pada intinya semuanya harus mempunyai semangat perubahan ‘Change’, menuju tujuan akhir bernegara yaitu masyarakat yang adil dan makmur, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Mereka masing-masing harus focus terhadap tugas pokok dan fungsinya masing-masing, karena saat membuat organisasnya telah di adakan sinkronisasi dan harmonisasi sehingga semua tupoksi instansi akan bersinergi satu dengan lainnya menuju tujuan Negara.

Nah yang banyak dilupakan umumnya oleh para pelaku kegiatan itu, meraka hanyalah berkutat pada tanggung jawab administrasi saja, bagai mana proses dari pengadaan dampai digunakannya apa yang dibuat atau dibeli, mereka sering melupakan apakah itu sudah sejalan dengan ajaran dharma yang kita anut, walau terkadang harus ada penyesuaian dengan desa, kala, patra. Itu hal yang wajar karena perencanaan biasanya bersifat umum. Mereka melupakan prinsip-prinsip dasar manajemen, perinsip ekonomi dan terlebih perinsip dharma. 

Ajaran dharmalah yang menjadi kendali dari ‘politikus’ agar mereka tidak rakus, hanya mengejar BEP –titik impas, break event point- saja karena mereka telah mengeluarkan biaya sejak saat pencalonan. Karena banyak yang dicalonkan dari orang yang tidak mengenal idealisme partainya. Saat kampanye, saat pencoblosan dan lain sebagainya. Sehingga setelah dipilih jangankan ingat konstituennya atau masyarakatmnya, wong idealism paratainya saja ia tak tahu, hehehehe kebangetan. Perinsip ekonomi berlaku disini. BEP segera balik, dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan untung yang sebesar besarnya. “Hehehe bapak kok tahu perinsip ekonomi, kan IPA SMA nya” kata anakkku. “Ya kalau dulu walau IPA, kelas I bapak juga dapat pelajaran ekonomi” sahutku.

Jadi politik itu sebenarnta kalau dilaksanakan dengan benar dengan baik bukannya hanya mengenal kepentingan saja, tapi semuanya harus bermuara kepada kesejahteraan masyarakat, baik itu politik Negara, politik partai, maupun politik dagang. Karea mereka sebagai aparat Negara. Bukankan kalau masyarakat sudah semakin maju mereka akan semakin memahami pula masalah politik, dan meraka akan semakin mudah digerakkan. Meraka harus menikmati juga dari output politik itu, berupa kesejahteraan, kemudahan, keadilan, minimal hidup mereka akan semakin mudah semakin baik kedepannya.
Justru kalau semakin banyak orang-orang yang kuat agamanya berpolitik, menurut hemat penulis maka akan semakin banyak ide-ide yang berdasarkan dharma yang mereka perjuangkan, sehingga apa yang mereka kerjakan, yang mereka rencanakan akan terlaksana dengan memberikan berkah kepada masyarakat dan diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Astungkara.

Bagi mereka yang telah baik landasan dharmanya, terpilih pada legislative, judikatif maupun ekskutif  ini hendaknyalah tetap mengalirkan hawa dharma, rokh dharma, ajaran dharma kesetiap kegiatannya sehingga kehidupan perpolitikan nasional menjadi semakin nyaman dan sejahtera, dengan muara pada kesejahteraan masyartakat Indonesia. Maka kondisi Tata Tentrem kerta Raharja pun akan terwujud.

Kalau dilihat dari apa yang diuraikan di atas, maka tidak ada salahnya, atau sangat boleh bila umat Hindu berpolitik. Justru menurut penulis sudah seharusnya umat Hindu ikut berpolitik, membawakan prinsip prinsip dharama dalam melaksanakan politiknya. Tentu tidak terbawa arus untuk menghalalkan segala cara atas nama politik.
Bintaro, 24 April 2014
 I Putu Pudja
e-mail : ipt_pudja@yahoo.com

No comments:

Post a Comment