“BOLEHKAH UMAT HINDU BERPOLITIK”
Oleh : I Putu Pudja
Pencoblosan |
Anakku nyeletuk bertanya. Sebuah
pertanyaan yang mungkin konyol. Mungkin juga kritis atau sebagai ekspressi
eksistensinya sebagai anak muda. Ia menanyakan kepadaku, begini “ Pak, apakah
umat Hindu boleh berpolitik, kok kalau kita perhatikan saat debat politik –nasional-
tidak kita temui seorangpun nara sumbernya beragama Hindu?”
“Dari mana kamu tahu, bahwa itu
tak ada” Kataklu. Walau sedikit –karena mewakili komunitas yang kecil- namun
kamu bisa perhatikan eksistensinya. Kamu lihat di acaranya Pak Karni Ilyas ILC,
walau tidak banyak kita bisa saksikan beberapa kali ‘orang’ Hindu ikut jadi
nara sumber kataku. “Ya paling-paling itu saja, Lo Lagi Lo Lagi”, kata anakku.
Nah buat apa kita
memperbincangkan yang ada di TV, coba kita simak sejenak apakah Boleh Umat
Hindu berpolitik?. Sebelum menjawabnya kita coba melihat apa sebenarnya politik
itu dalam perspektif Hindu.
Pada intinya Politik di zaman
dahulu adalah ilmu, atau pranata yang digunakan untuk menata sebuah kota,
sebuah pemerintahan, maupun sebuah Negara. Konon politik inilah yang
menghilhami Trias Politika. “Kamu tahu Trias Politika”, kataku. “Tahu dong itu
: Legislatif, Ekskutif dan Yudikatif”, teriaknya. Sehingga bila kita lihat dari
tujuannya berpolitik dan bernegara, terutama untuk kita di Indonesia, sebagai
muaranya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kesejahteraan
rakyat. Itu semuanya telah tercantum dalam Pembukaan Undang Undang dasar 1945.
Sedangkan kalau kita melihat
tujuan hidup kita sebagai umat Hindu, adalah Catur Purusa artha : dharma,
artha, kama, moksa. Nah bukankah di dalam di dalam artha dan kama tersurat
suatu keadilan social dan kesejahteraan masyarakat. Ya memang akan tetapi kan
sifatnya masih sangat individual.
Memang sifatnya individual, akan
tetapi dia akan mengalir ke komunitas, karena manusia adalah makhluk sosial.
Makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Misalnya saja dalam mengumpulkan artha
melalui perusahannya, maka mereka pasti akan mempekerjakan orang, dibantu orang
lain terkait dengan berbagai pemangku kepentingan. Misalnya saja suplayer,
pembeli, pemerintah dan lain sebagainya termasuk tenaga kerja yang
dipekerjakannya. Disini asal memberikan penghasilan yang wajar, keuntungan yang
wajar ke sesama pemangku jabatan (stake holder) nya, pasti akan ikut sebagai
upaya mensejahterakannnya.
Hanya saja yang mebedakannya
disini haruslah sebagai pengusaha yang pancasilais, yang dalam menjalankan
usahanya masih mendasarkan setiap usahanya dengan dharma , sebagai wujud
penerapan sila KeTuhanan Yang Maha Esa, melibatkan masyarakat sekitar tempat
usaha sebagai karyawan (kemanusian yang adil dan beradab), tidak membedkan SARA
dalam perkrutan tenaga kerjanya (Persatuan Indonesia), menerapkan penghargaan
dan ganjaran terhadap hasil kerja karyawan (keadilan social ) serta mau
mendengarkan suara karyawan walau keputusan tetap di tangan manajemen(
musyawarah dan mufakat).
Demikian pulalah dalam perpolitikan
nasional, umat hindu dapat melaksanakannya dengan tetap berpegang teguh pada
prinsip dharma. Bukankan banyak azas politik yang di ambil dari azas atau
prinsip Hindu, seperti satya graham, tat wam asi, ahimsa, Pancasila, dan banyak
sekali motto perjuangan para pahlawan kita yang diambil dari prinsip-prinsi
Hindu. Lihat pula prinsip Gandi yang banyak diacu sampai saat ini.
Beberapa buku yang sempat penulis
baca bahkan mengatakan bahwa melaksanakan agama, mensyaiarkan agama itu
sebenarnya sudah berpolitik, demi tetap tegaknya agama, serta ikut membenahi
kekacauan yang terjadi dalam masyarakat. Kekacauan disini sangat luas artinya.
Demikian pula konsep masyarakat madani diambil, bermula dari himbauan, diantaranya
sebagai ajakan kepada masyarakat untuk berubah. Dari kehidupan yang tidak
teratur menjadi teratur. Jadi semangatnya adalah Change, perubahan. Berubah
menjadi hidup teratur, bebas mengeluarkan pendapat, ada akses masyarakat ke
pemerintah, demokratisasi, ditegakkannya Undang-undang dengan baik,
ditegakkannya HAM dan lains sebagainya.
Jadi politik dapat dijadikan
kendaraan untuk mengajak masyarakat berubah menuju ke tata kehidupan yang lebih
baik, nah yang paling efektif mengajak disini adalah poltik agama. Itu kalau
kita lihat dari persepsi tujuan agama – tujuan pemerintahan, tujuan penciptaan
masyarakat madani- yaitu masyarakat adil makmur.
Tapi kan politik itu tidak
mengenal kawan, yang kekal hanyalah kepentingan. Benar, benar sekali kalau kita
lihat hanya dari arus permukaannya saja. Akan tetapi kalau kita masuk terlalu
jauh ke dalam akan kita lihat bahwa, politik itu memerlukan massa, tidak
sendirian seperti hidup manusia tidak akan pernah putus memerlukan bantuan
orang lain, hanya saja akan lebih elok jikalau masyarakat yang diperlukan oleh
para politikus itu tidak hanya diperlukan saat mencoblos saja, namun mereka
harus dijadikan ladang inspirasi, dalam berjuang, ladang yang harus terus
dipupuk dimajukan agar mereka menjadi berubah, menuju kearah kemajuan menuju
masyarakat madani. Jangan jadi politikus yang seperti kacang akan lupa
kulitnya. Merak haruslah menjadi agent of change.
Politikus sekarang juga
kelihatannya instan seperti ‘kutu loncat’ mereka tidak mempunyai idealisme,
mereka seperti pemain bola profesionalisme, pindah club ini, pindah club itu,
akan tetapi satu tujuan untuk mencetak goal yang sebanyak banyaknya. Nah disini
perbedaannya dengan politikus, terkadang dia tidak tahu apa idealism partainya,
bagaimana komitmen partainya dengan masyarakat pemilihnya, mereka hanya
berusaha bagaimana bisa terpilih menjadi legislative. Banyak melupakan idealism
partai, banyak meninggalkan masyarakatnya, jangankan ngajak menuju perubahan,
beberapa diantaranya datang saja tak pernah lagi ke dapilnya, kecuali mendekati
pemilu. Hahahaha, Meraka harusnya sama dengan pemain bola professional,
mencetak goal yang sebnayak banyaknya walaupun apa partainya, goal tersebut
adalah kesejahreaan masyarakat, keadinan social, masyarakat adil dan makmur.
“Nah itu yang bapak katakan,
kalau dia berjuang melalui legislative, kalau yang lain bagaimana yang ada di
luar legislative” Tanya anakku lagi.
Oh itu yang kaliann tanyakan,
bapak kira yang terkait dengan pemilu saja. Sama saja yang mempunyai swadharma
pada eksekutif maupun Yudikatif seharusnya sama. Karena mereka bekerja semuanya
sudah diawali dari tugas dan fungsinya organisasinya masing-masing yang melekat
pada instansi atau perusahan dimana mereka bekerja.
Semuanya itu di dalam manajemen
modern, akan dituangkan dalam visi dan misi organisasi ( instansi, perusahaan,
organisasi lain), dengan dasar itu mereka akan membuat perencanaan kerja jangka
panjang, jangka menengah, maupun rencana kerja tahunan. Semuanya itu harus
sejalan dengan tugas pokok dan fungsi organisasinya. Mereka harus satya dengan
perencanaannya, sehingga apa yang mereka rencanakan dapat terwujud dengan baik,
yang akhirnya semata-mata untuk kemajuan masyarakat. Tapi tidak langsung untuk
kemajuan masyarakat, lebih banyak sebagai ‘jembatan’ untuk mencapai kemajuan
masyarakat. Kalau zaman orde sebelumnya itu kita kenal dengan GBHN, Garis-garis
Besar Haluan Negara.
Mereka yang bekerja di dalam
bidang yudikatif yang sudah seharusnya memberikan lawinforcement kepada mereka
yang tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan tupoksi dan perencanaan
awalnya, singkatnya mereka harus menindak bila terjadi penyimpangan, demikian
pula mereka haruslah mengapresiasi bagi yang melaksanakan kewajibannya dengan
baik. Meraka menerapkan prisnsp Funishment and reward. Yang baik diberikan
penghargaan, dan yang salah harus diberikan ganjaran.
Pada intinya semuanya harus
mempunyai semangat perubahan ‘Change’, menuju tujuan akhir bernegara yaitu
masyarakat yang adil dan makmur, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Mereka masing-masing harus focus terhadap tugas pokok dan fungsinya
masing-masing, karena saat membuat organisasnya telah di adakan sinkronisasi
dan harmonisasi sehingga semua tupoksi instansi akan bersinergi satu dengan
lainnya menuju tujuan Negara.
Nah yang banyak dilupakan umumnya
oleh para pelaku kegiatan itu, meraka hanyalah berkutat pada tanggung jawab
administrasi saja, bagai mana proses dari pengadaan dampai digunakannya apa
yang dibuat atau dibeli, mereka sering melupakan apakah itu sudah sejalan
dengan ajaran dharma yang kita anut, walau terkadang harus ada penyesuaian
dengan desa, kala, patra. Itu hal yang wajar karena perencanaan biasanya
bersifat umum. Mereka melupakan prinsip-prinsip dasar manajemen, perinsip ekonomi
dan terlebih perinsip dharma.
Ajaran dharmalah yang menjadi
kendali dari ‘politikus’ agar mereka tidak rakus, hanya mengejar BEP –titik impas,
break event point- saja karena mereka telah mengeluarkan biaya sejak saat
pencalonan. Karena banyak yang dicalonkan dari orang yang tidak mengenal idealisme
partainya. Saat kampanye, saat pencoblosan dan lain sebagainya. Sehingga
setelah dipilih jangankan ingat konstituennya atau masyarakatmnya, wong idealism
paratainya saja ia tak tahu, hehehehe kebangetan. Perinsip ekonomi berlaku
disini. BEP segera balik, dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan untung yang
sebesar besarnya. “Hehehe bapak kok tahu perinsip ekonomi, kan IPA SMA nya”
kata anakkku. “Ya kalau dulu walau IPA, kelas I bapak juga dapat pelajaran
ekonomi” sahutku.
Jadi politik itu sebenarnta kalau
dilaksanakan dengan benar dengan baik bukannya hanya mengenal kepentingan saja,
tapi semuanya harus bermuara kepada kesejahteraan masyarakat, baik itu politik Negara,
politik partai, maupun politik dagang. Karea mereka sebagai aparat Negara. Bukankan
kalau masyarakat sudah semakin maju mereka akan semakin memahami pula masalah
politik, dan meraka akan semakin mudah digerakkan. Meraka harus menikmati juga
dari output politik itu, berupa kesejahteraan, kemudahan, keadilan, minimal
hidup mereka akan semakin mudah semakin baik kedepannya.
Justru kalau semakin banyak orang-orang
yang kuat agamanya berpolitik, menurut hemat penulis maka akan semakin banyak
ide-ide yang berdasarkan dharma yang mereka perjuangkan, sehingga apa yang mereka
kerjakan, yang mereka rencanakan akan terlaksana dengan memberikan berkah
kepada masyarakat dan diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Astungkara.
Bagi mereka yang telah baik landasan
dharmanya, terpilih pada legislative, judikatif maupun ekskutif ini hendaknyalah tetap mengalirkan hawa dharma,
rokh dharma, ajaran dharma kesetiap kegiatannya sehingga kehidupan perpolitikan
nasional menjadi semakin nyaman dan sejahtera, dengan muara pada kesejahteraan
masyartakat Indonesia. Maka kondisi Tata Tentrem kerta Raharja pun akan
terwujud.
Kalau
dilihat dari apa yang diuraikan di atas, maka tidak ada salahnya, atau sangat
boleh bila umat Hindu berpolitik. Justru menurut penulis sudah seharusnya umat
Hindu ikut berpolitik, membawakan prinsip prinsip dharama dalam melaksanakan
politiknya. Tentu tidak terbawa arus untuk menghalalkan segala cara atas nama
politik.
Bintaro, 24 April 2014
I Putu Pudja
e-mail : ipt_pudja@yahoo.com
No comments:
Post a Comment