PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Tuesday, November 26, 2013

HUKUM DAN AGAMA HINDU

HUKUM DAN AGAMA HINDU

Oleh : I Putu Pudja

Secara formal Hukum Hindu tidak atau belum secara nyata di praktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dengan belum adanya Pengadilan Agama Hindu, maupun Kantor Urusan Agama Hindu, sekalipun itu di Provinsi Bali yang penduduknya mayoritas beragama Hindu.

Ajaran Hindu baru mengilhami hukum hukum positif di Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh Hukum Adat yang berlaku di beberapa daerah,  dimana Hukum adat tersebut tidak terlepas dari jeyakinan dan budaya masyarakat yang ada dan berkembang sebelumnya di Indonesia.

Namun dasar-dasar kebajikan dan beberapa hukum dasar yang diyakini umat Hindu, telah berurat akar berkembang pada masyarakat di Indonesia, sekalipun sebagai penganut keyakinan yang berbeda. Mereka melaksanakan hukum tersebut, dengan nama dan sebutan yang berbeda dengan sebutan aslinya, seperti Hukum Kodrat identik dengan Hukum Rta ajaran Hindu, Hukum Karma, dikaitkan dengan Hukum Karma, atau perbuatan yang baik akan menghasilkan pahala, sedangkan perbuatan yang jahat akan berbuah neraka, dan lain sebagainya.

Terkait dengan masalah itu, tidaklah berlebihan apanila mulai difikirkan oleh para cerdik cendekia, pemuka agama, akademisi, wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat untuk adanya sebuah Kantor Agama, Kantor Pengadilan Agama Hindu, sebagai cikal bakal penerapan Hukum Hindu, yang sangat mungkin dibentuk secara otonom oleh DPRD Propinsi Bali, sebagai turunan dari Undang-Undang Dasar, Undang Undang, maupun ajaran agama Hindu, sehingga dalam adanya sengketa antar umat beragama Hindu terkait dengan kegiatan yang terkait keagamaan dapat penyelesaian yang baik serta dapat diterima semua fihak.

Hukum ini juga dapat dikembangkan dari Hukum Adat dengan penyesuaian disana-sini. Hukum Hindu yang telah dengan baik diterapkan selama ini secara lokal dan otonom adalah Hukum Hindu pada masyarakat Hindu Toraja di Kabupaten Mamasa Sulawesi Selatan. Yang sering disebutkan sebagai Hindu Alukta

Umat Hindu Alukta, memiliki hukum dresta sendiri yang disebut “pangngadaran”, yaitu lembaga hukum yang berazaskan norma-norma Hindu Alukta. “Pangngadaran” kemungkinan besar berasal dari kata “adak”, dimana adak berarti adat. Sebagai hukum agama, maka jenis-jenis aturan, pelanggaran dan sanksinya tentu ditampilkan menurut nilai-nilai agama Hindu Alukta. Selain bersifat sekala juga bersifat niskala( Ferdinanus Nanduq).
Secara sosio-religius, system Hukum ini dipimpin oleh seorang tomakaka, yang mengatur strata masyarakat yang  disebut tanak:  yaitu tanak bulawan, tanak bassi, tanak karurung, dan tanak koa-koa. Keempatnya sebagai pendukung Hukum Hindu Alukta. Strata ini dapat diidentikan dengan catur warna yang dikenal dalam Hindu di Bali. Prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi lembaga Hukum
Sebagai sebuah lembaga hukum, pangngadaran terdiri atas lima prinsip hukum, yaitu :
1.      Perinsip zas religius (Lima randanna aluk mangngolo lako dewata). Merupakan Norma-norma yang berlaku bersumber dan bersandar pada aluk (ajaran Hindu Alukta). Pelanggaran terhadap norma, dikenakan sangsi bersifat sosial-religius. Berupa sangsi yang bersifat sosial, misalnya membayar denda,  dengan di dalamnya juga ada upaya untuk memelihara dan mengembalikan aluk pada kemurniannya. Terjadinya pelanggaran kemudaian dinetralisir dengan persembahan yadnya.
2.      Perinsip Azas kemanusiaan (Tokabuk botting-bottingna nakendekanni pangngadaran). Orang yang bersalah merasa tersiksa dan menderita  akibat kesalahan. Tetapi dia mempunyai komitmen dalam dirinya untuk: mengakui kesalahan; berjanji untuk kembali ke jalan yang benar: dan diberi pengampunan dan penghargaan atas hak-haknya sebagai warga adak.
3.      Perinsip Kaeadilan sejati . (Pangngadaran uppa’batu laulung) . Merupakan prinsip keadilan sejati. Hukum tidak boleh terpengaruh oleh siapa dan apapun, kokoh pada kebenaran. Uppa’batu Laulung artinya memakai batu yang sangat keras.
4.      Perinsip Kesamaan di muka Hukum ( Tolayang tandukna tolenggen palasanna napappai pangngadaran). Merupakan prinsip kesamaan di hadapan hukum. Siapa yang memang “bersalah” (tola yang tandukna tolenggen palasanna) menurut hukum harus dihukum (napappai) oleh lembaga hukum itu sendiri (pangngadaran).
5.      Perinsip Pembinaan ( Totibambang tarakdena anna ukkita bubunganna adak, tuomi tang mate). Merupakan perinsip pembinaan, dimana orang yang bersalah di muka hukum dan kehilangan martabat bila ia menyadari dan menghormati hukum, maka dia patut diberi perlindungan hukum , dikembalikan kemasyarakat untuk melanjutkan kehidupannya. Menghormati hukum bebarti telah menjalankan hukuman yang dijatuhkan lembaga hukum kepadanya.

Pangngadaran merupakan norma-norma hukum yang mengatur setiap orang yang ada di dalamnya, termasuk aparat hukum sendiri. Bahkan lebih luas dari pada masyarakat pada umumnya.
Larangan bagi Pemimpin Agama . Beberapa larangan bagi seorang pemimpin Hindu Alukta dalam kehidupan sehari-harinya diantaranya : (1) Berbuat Zina; (2) Berjudi, sabung ayam; (3) Memikul sesuatu; (4) Memanjat pohom;(5) Dibawah pohon berbuah dilarang menengok ke atas; (6) Korupsi dan memeras rakyat; (7) Menangkap ikan di sungai; (8) Membawa wadah kosong : (9) Terlibat langsung dalam pembagian daging; (10) Menebang pohon setelah musim tanam padi; (11) Menipu dan berdusta, dan (12) Mengubur mayat. Larangan ini kelihatannya hamper sama dengan beberapa larangan untuk seorang pendeta Hindu di Bali.
Larangan bagi masyarakat umum. Beberapa larangan bagi masyarakat umum diantaranya adalah : (1) berjudi; (2) Menipu dan berdusta; (3) Berzinah; (4) Menebang pohon, merabas hutan setalah musim tanam padi; (5) Menyabung ayam setelah musim tanam padi, dan (6) Memperbaiki rumah setelah musim tanam padi.

Hukum Hindu Alukta juga mengatur masalah tuduhan yang tidak terbukti/tidak benar/fitnah, pertikaian baik non fisik maupun fisik, hingga pembunuhan, pencurian, sengketa tanah atau warisan, termasuk perceraian. Yang jelas. Hukum Hindu Alukta mengatur masalah norma- norma kehidupan masyarakatnya. Hal ini akan dijelaskan selanjutnya dalam kaitannya dengan sangsi hukum.

Sangsi yang diterapkan bagi pelanggar Hukum dapat digolongkan kedalam empat golongan, yaitu :
1.      Sangsi Ringan. Mediasi kedua belah fihak yang berselisih, diibaratkan dapat dilakukan dengan pertemuan makan sirih bersama,  yang bersalah mengakuai kesalahannya dan yang merasa dirugikan memafkannya.
2.      Sangsi Sedang. Sangsi kepada yang terbukti bersalah untuk melakukan acara dengan menyembelih ayam untuk dimakan bersama, dalam acara atau upacara perdamaian.
3.      Sangsi Berat. Bagi yang terbukti bersalah didenda dengan seekor babi untuk upacara perdamaian. Dalam upacara dilakukan pemujaan kepada roh leluhur dan Puang Matua,  dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Pencipta, dengan harapan agar pihak bersalah tidak mengulangi perbuatannya , dan perdamaian tetap langgeng di masyarakat.
4.      Sangsi Terberat.  Bagi yangterbukti  bersalah didenda seekor kerbau.

Demikian juga dengan Hukum Adat yang berlaku sampai saat ini, di masing masing desa adat di Bali, dilaksanakan berdasarkan awig-awig yang mereka sepakati bersama. Isi hukum adat ini lebih banyak mengatur anggota masyarakat, dikaitkan dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat desa, yang dikenal dengan Desa Adat. Awig-awig ini juga tidak terlepas dari ajaran agama, sehingga terkadang kita sulit membedakannya dengan Hukum Agama. Secara sepesifik Hukum Adat ini berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya sehingga sulit untuk membahasnya secara umum,

 Hukum Alam Rta.
Sebagai keimanan Hindu adalah Panca Sradha. Salah satu Sradha itu adalah Brahman, percaya terhadap Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.  Secara inklusif penganut Hindu juga percaya dengan hukum-hukum yang diturunkan Tuhan Yang Maha Esa lewat para Rsi, yang dituangkan dalam Weda. Yaitu hukum yang diyakini sebagai kuasa Ida Sang Hyang Widhi Wasa  sebagai sifat dari Kekuasaan Tuhan , yang diperlihatkaNya dalam bentuk yang dapat dilihat, dirasakan dan dialami oleh manusia.
Bentuk hukum tuhan murni dalam ajaran agama Hindu disebut Rta yaitu hukum murni yang bersifat absolute. Rta ini kemudian dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia dan disebut DHARMA. Adapun Hukum Agama yang disebut DHARMA itu sifatnya Relatif, karena ia selalu dikaitkan dengan pengalaman Manusia dalam mengatur tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagian di dalam kehidupanya. Kerelatifannya ini juga disebabkan dengan berbagai tafsir yang menjadikan implementasinya yang berbeda-beda. Rta diterjemahkan sebagai system, Orde atau Hukum, tetapi sebagaii hukum yang abadi tidak pernah berubah.
Di dalam Weda Jotisya diterangkan bahwa pada awalnya Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian menciptakan Hukum yang mengatur hubungan yang diciptakanya itu, serta hubungan antara ciptaannya itu, sebagai sebuah system. Disini Tuhan sebagai pengendali ciptaan dan system yang mengatur ciptaannya, biasa disebutkan sebagai Rtawan. Dalam perkembangan selanjutnya dalam Bahasa Sansekerta Rta diartikan sebagai Widhi, yang bermakna aturan-aturan yang ditetapkan secara prerogative oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini kemudia berkembang sehingga kita mengenalnya dengan Ida Sang Hyang Widhi.
Dalam konsep Hukun, dikenal Hukum Alam dan Hukum Pemerintahan –Bangsa-. Hukum alam dalam agama Hindu kita kenal dengan Rta, sedangkan Hukum Pemerintahan yang berkembang dalam suatu komunitas, atau kelompok sosial kita kenal dengan Dharma. Bentuk dgarma ini berbeda-beda karena ia merupakan implementasi dari hukum agama, sosial, masyarakat, sehingga bersifat dinamis, dengan tafsir jaman dan kelompok masing masing. Dharma sebagai Hukum tidak sama di satu tempat dengan tempat lainnya.  Ia akan selalu dikaitkan dengan budaya, kebiasaan, norma setempat, sehingga dia sering disamakan dengan pengertian yang terkandung pada Dresta. Sehingga Rta dapat disebutkan sebagai landasan Idiil, dalam hukum yang mengatur masyarakat Hindu, dalam menjalankan dharma.
Hukum Karma
Dalam pustaka suci Hindu Hukum banyak diartikan, maupun disamakan dengan arti skebenaran . Hukum merupakan  ketentuan atau peraturan  yang harus ditaati oleh sekelompok orang (sub sitem) dalam organisasi ( Sistem) , serta adanya hukuman / ancaman terhadap orang yang melanggar. Karma dari  bahasa Sansekerta yang berarti perbuatan. Phala  berarti buah atau hasil.
Maka dapat disimpulkan Hukum Karma Phala berarti : Suatu  hukum yang mengatur hasil dari perbuatan seseorang sebagai subsitem dariu system. Hukum Karma, merupakan salah satu dari Sradha dalam agama Hindu. Hukum Karma merupakan filsafat yang yang mengandung etika , yang berarti bahwa dia merupakan sebuah keyakinan, yang mengatur , dan diyakini hasilnya oleh umat Hindu.

Dalam Sarasamuscaya seloka 17 disebutkan  bahwa “Segala orang, baik golongan rendah, menengah, atau tinggi, selama kerja menjadi kesenangan hatinya, niscaya tercapailah sgala yang diusahakan akan memperolehnya.”
Hukum Karma merupakan hukum kausatif,  hukum sebab – akibat, yang berlaku untuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa : alam semesta, binatang, tumbuh – tumbuhan dan manusia. Hukum Karma sebagai turunan dari Rta. HUkum ini sering juga disebutkan sebagai Hukum Tanam-Tuai.
Dalam Kekawin Ramayana Sargah 1 bait nomor 4, dengan terjemahan bebasnya disebutkan, bahwa :“Nafsu dan lain  sejenisnya (Sad Ripu) adalah musuh yang terdekat, letaknya, di dalam hati , tidak jauh dari badan, Hal itu tidak ada pada Dia, hanya keberanian dan kebijaksanaan serta pengetahuan politik yang beliau miliki”. “Apa yang kamu tanam maka itulah yang akan kamu tuai”,  Jadi yang tak luput dari kesalahan, dan hukum karma ini adalah manusia, sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hukum Karma ini di golongkan menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Prarabda karma pala yaitu perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup sekarang dan diterima dalam hidup sekarang juga; (2) Kriyamana karma pala yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di dunia ini tetapi hasilnya akan diterima setelah mati di alam baka, dan (3) Sancita karma pala yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang hasilnya akan di peroleh pada kelahiran yang akan dating.
Hukum Karma ini mempunyai sifat : (1) Kekal Abadi. Maksudnya sudah ada sejak mulai penciptaan alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam semesta ini mengalami kiamat; (2) Universal. Maksudanya berlaku bukan untuk manusia tetapi juga untuk mahluk – mahluk seisi alam semesta; (3). Mutlak. Maksudnya berlaku untuk semua orang tanpa kecuali, dengan tidak ada pembelaan.
Demikian mutlaknya Hukum Karma berlaku, maka hukum ini akan sangat terkait dengan perilaku manusia, sehingga kita harus menerapkan Tri Kaya Parisuda.
TRI KAYA PARISUDA
Tri Kaya Parisudha, terdiri dari tiga kata, Tri, Kaya, dan Parisudha. Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti “upaya penyucian”. Jadi “Trikaya-Parisudha berarti “upaya penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita, yaitu berfikir, berkata, dan berbuat”.
Secara keseluruhan Tri Kaya Parisuda adalah tiga jenis perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu (1) Manacika. Berpikir yang baik, bersih dan suci; (2) Wacika . Berkata yang baik dan benar, dan (3) Kayika. Berbuat yang baik dan jujur .
Berfikir atau fikiran akan menjadi dasar prilaku kita yang lainnya, karena perencanaan perbuatan akan dimulai dari proses berfikir. Fikiran baik atau birik akan terpancar dari aura kita terhadap alam sekitarnya atau orang orang disekitar kita. Hasil proses berfikir ini akan menentukan perkataan maupun perbuatan kita selanjutnya.
Tiga macam implementasi pengendalian pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Saracamuscaya, adalah:  Tidak menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal;  Tidak berpikiran negatif terhadap makhluk lain, dan percaya dengan hukum karma.
Perkataan yang tidak baik yang mesti dihindari disebutkan dalam Sarasamuscaya diantaranya: tidak suka mencaci maki; tidak berkata kasar kepada siapapun; tidak berkata menjelekkan dan atau memfitnah; dan tidak berkata bohong, ingkar janji .
Dalam perbuatan kita sehari-hari perlu menghindari beberpa hal, diantaranya : (1) tidak menyakiti, menyiksa dan membunuh makhluk lain; (2) Tidak berbuat curang yang berakibat merugikan orang lain, dan (3) Tidak berzinah.
KESETARAAN GENDER DALAM AGAMA HINDU

Hukum Agama maupun Hukum Adat selama ini menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam  posisi yang tidak sama, sebagai kenajutan dari adanya faham gender dan azas patriarki yang dianut sebagian besar daerah atau suku bangsa di Indonesia.  Keadaan ini menimbulkan ada gerakan feminisme yang tuntutan adanya kesetaraan gender. Sebagai hasilnya sudah mulai terlihat walau belum 100 persen tercapai. Itu bisa dilihat dengan disahkannya ratifikasi  beberapa Konvensi Internasional  yang mencakup didalamnya tentang kesetaraan gender ini. 

Diantaranya adalah UU No. 7 tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Internasional tentang  Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan;  UU No.  12 Tahun 2005 , yang meratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sosial dan Politik; UU No. 11 Tahun 2005, ratifikasi Konvensi Internasional tentang  Hak-hak Ekonomi , Sosial dan Budaya.  Yang semuanya didalamnya terdapat kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

Politik Nasional  terkait dengan issu kesetaraan gender ini menuai hasilnya dengan ditentukannya jumlah perempuan di parlemen hingga 30 persen, merupakan kemajuan yang sangat besar yang merupakan kemenangan kaum perempuan, gerakan feminism dan tuntutan kesetaraan gender di Indonesia.

Adanya  gap yang lebar pada gender, sehingga menjadi ketimpangan kesetaraan, tidak dapat dipisahkan dengan kebiasaan dan perlakuan masyarakat yang memang berbeda terhadap anak laki-laki maupun perempuan karena adanya azas patriaki, maupun matriaki.  Itu terlihat sejak manusia itu berupa janin dalam kandungan, banyak yang sudah menebak jenis kelaminnya, sampai melihat jenis kelamin janin dengan teknik USG pada Dokter Akhli  Obstetri Ginekologi, atau Dokter kandungan.

Setelah lahir juga demikian ada pembedaan, dengan pemberian nama yang mempertegas perbedaan itu. Di Bali anak laki-laki selalu namanya di awali dengan : I, Ida Bagus, Gusti Agung, Dewa dll, kalau perempuan dengan awalan : Ni, Ida Ayu, Sagung, Luh, Dewa Ayu dll. Terkadang sampai memberikan kesempatan tidak jarang berbeda antara anak laki dengan anak perempuan.

Menurut Murniati A. Nunuk Prasetyo ( 1993:4) dalam ida Bagus Agung, bahwa cirri-ciri laki-laki dan perempuan dikunci mati oleh ideology gender. Sehingga budaya nasional yang menganut azas patriaki, -kecuali di Sumatera Barat menganut matriaki-, menempatkan kedudukan perempuan berbeda (baca lebih rendah) dibandingkan laki-laki. Perhatikan kesempatan untuk menuntut ilmu, dalam pembagian waris, dalam pemimpin upacara keagamaan dll nya.
Agama Hindu, dalam isu kesetaraan gender ini tidak konsisten, sebagian besar sloka mengakui kesetaraan gender, namun pada bebera sloka juga menempatkan wanita itu sebagai pelengkap, diperlukan namun tidak sebagai pelaku utama.

Perkawinan sebagai Lembaga Pembentuk Pribadi Manusia
Dalam beberapa kitab Weda, seperti Weda Smreti, dapat dipetik pengakuan terhadap kesetaraan gender tersebut, diantaranya pada:
A.      Weda Smrti.
  1. Weda Smreti IX.101, Kalau diterjemahkan menyatakan bahwa:
Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati,
Singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami-isteri.

  1. Weda Smreti IX.102. Kalau diterjemahkan menyatakan bahwa :
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan,
mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai
dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.

Kedua seloka tersebut mengajarkan bahwa lembaga perkawinan, suami istri berlangsung seumur hidup sepanjang hayat. Antara suami isteri harus menjalin komunikasi yang baik dalam mempertahankan kehidu[an rumah tangganya, dan selalu menghindari perceraian. Dalam lembaga perkawinan juga diajarkan hendaknya terdapat kesetiaan antar pasangan . Kestiaan dianggap sebagai hukum yang tertinggi.

Menurut Weda Smrti , lembaga perkawinan memiliki sifat sacral, suci, karena bertugas untuk menghasilkan keturunan. Dikaitkan dengan tugas suami isteri untuk mendidik dan membesarkan anaknya maka lembaga perkawinan merupakan lembaga yang pertama membentuk kepribadian manusia.  Ini menunjukkan bahwa upacar perkawinan merupakan upacara yang wajib, sebagai upanya menyatukan dua jiwa menjadi satu dalam lembaga perkawinan. Kewajiban itu tertuang dalam Weda Smrti II.67 dan persembahan upacara ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai  Dewa Ardha Nareswari.
B.      Rg Weda.

Di dalam Rg Weda, pasangan laki-laki dan perempuan yang telah terikat perkawinan disebutkan sebagai “dampati” yang secara harfiah bebrarti tak terpisahkan. Sehinga lembaga perkawinan merupakan ikatan antara laki-dan peempuan yang tak terpisahkan, tak tercerai. Antara Rg Weda dan Weda Smrti, keduanya sangat sejalan dalam memandang lembaga perkawinan. Sebagai lembaga suci yang merupakan awal pembentukan kepribadian manusia.

C.      Chanokya Upanisad
Dalam Chanokya Upanisad, dituliskan bahwa Semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan sebagai Pramaatma. Selanjutnya disebutkan bahwa:
Tuhan adalah jiwa dari seluruh alam semesta ini
Tuhan adalah hakekat kenyataan;
Tuhan adalah Kebenaran sejati, Dial ah Paramaatman
Engkau adalah dia

Ketiga kitab suci di atas menyatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga, kalau dilihat dari lembaga perkawinan memiliki kesetaraan tugas dan kewajiban, namun apabila kita tinjau dari tujuan perkawinan untuk melahirkan suputra, maka arti tersebut akan sedikit berubah.

Suputra terdiri dari tiga suku kata berasal dari bahasa Sansekerta ; su berarti baik, put = neraka, dan tra = menyeberangkan, menyelamatkan. Jadi lembaga perkawinan mempunyai kewajiban untuk melahirkan keturunan yang akan menyelamatkan para orang tua, leluhur untuk menyeberangi neraka. Mungkin disini dimaksudakn bahwa doa-doa dari keturunan mereka akan membantu menyelamatkan mereka dalam perjalanannya menuju kebebasan dari neraka.
Terkait dengan hal tersebut dalam lontar Slokananta disebutkan bahwa lembaga perkawinan yang memiliki seorang putra jauh lebih baik dari melakukan yadnya sebanyak seratus kali. Nah kalau yang dimaksud putra ini laki-laki, maka kesetaraan gender, tidak mendapat pengakuan yang utuh dalam kitab suci.
Dari uraian diatas terlihat bahwa gerakan feminism dalam kesetaraan gender, maka tuntutan untuk seratus persen setara kelihatannya tidak akn bisa, karena memang kodrat laki-laki dan perempuan sudah berbeda, sehingga dalam kitab sucipun sedikit ada perbedaan dalam tugas dan kewajiban seorang suami dibandingkan dengan istrinya. Berikut ini beberapa petikan kitab suci yang terkait.
Tambahan:
Menghayati dan mengamalkan ideologi bangsanya serta tunduk dan patuh menjalankan ketentuan konstitusional yang berlaku. Ketentuan ini dinyatakan di dalam Veda Smrti adhyaya VII sloka 13, 14 dan 18 yang artinya berbunyi sebagai berikut :
1.      Karena itu hendaknya jangan seorangpun melanggar undang-undang yang dikeluarkan oleh raja baik karena menguntungkan seseorang maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendaki (BG.VII.13);
2.      Demi untuk itu, Tuhan telah menciptakan Dharma, pelindung semua mahluk, penjelmaannya dalam wujud undang-undang, merupakan bentuk kejayaan Brahman Yang Esa (BG.VII.14);
3.      Sangi hukum itu memerintah semua mahluk, hukum itu yang melindungi mereka, hukum yang berjaga selagi orang tidur, orang - orang bijaksana menyamakannya dengan dharma (BG.VII.18)
Mencintai dan mengabdi kepada Tanah Air, Bangsa dan Negara yang dilandasi oleh kesadaran Bela Negara melalui disiplin dan kerja keras. Di dalam kitab suci Veda kita temukan beberapa sloka sebagai berikut :
1.      Bumi ini adalah Ibu dan kami adalah putranya. (AW.XII.1.12);
2.      Bumi yang luas ini adalah Ibu dan kerabat kami, langit adalah ayah, pelindung, asal dan pusat kelahiran kami. (AW. XII.10.12);
3.      Kami menghormati Ibu Pertiwi. (YW.IX.22);
4.      Selalu memberikan penghormatan kepada kemerdekaan. [R.V.I.80.1];
5.      Tanah Air adalah negeri tercinta yang utama di bumi ini. [Ath.V.VI.21.1];
6.      Semoga kami waspada menjaga dan melindungi bangsa dan negara kami. [Y.V.IX.23];
7.      Semoga kami dapat mengobankan hidup kami untuk kemuliaan bangsa dan negara kami. ".[Ath.V.XII.1.2]
8.      Bekerjalah untuk tanah air dan bangsamu dengan berbagai cara. Hormatilah cita-cita bangsamu. Ibu Pertiwi sebagai sumber mengalirnya sungai kemakmuran dengan ratusan cabang. Hormatilah tanah airmu seperti kamu memuja Tuhan. Dari jaman abadi Ibu Pertiwi memberikan kehidupan kepadamu semua,karena itu Anda berhutang kepada-Nya .[Ath.V.XII.1.45]
9.      .Janganlah bersenang-senang selalu, yang harus dikerjakan esok kerjakanlah sekarang, yang harus dikerjakan petang kerjakanlah pagi itu juga, karena sang maut tidak peduli menunggu apakah pekerjaanmu sudah selesai atau belum ? .[ Smc.364 ];
10.  Tuhan hanya mengawani mereka yang giat bekerja [Rg.V.V.33.11].;
11.  Tuhan merestui orang-orang yang berkorban. Ia tidak suka kepada penidur dan malas serta akan menghukum orang-orang yang lalai (tidak disiplin) menjadi gelisah ". Rg Veda VII.2.18
Disusun oleh : I Putu Pudja
Di Puri gading, Bukit Jimbaran Medio September 2013


No comments:

Post a Comment