HUKUM DAN
AGAMA HINDU
Oleh : I Putu Pudja
Oleh : I Putu Pudja
Secara formal Hukum Hindu tidak atau
belum secara nyata di praktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dengan belum adanya Pengadilan Agama
Hindu, maupun Kantor Urusan Agama Hindu, sekalipun itu di Provinsi Bali yang
penduduknya mayoritas beragama Hindu.
Ajaran Hindu baru mengilhami hukum
hukum positif di Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh Hukum Adat yang
berlaku di beberapa daerah, dimana Hukum
adat tersebut tidak terlepas dari jeyakinan dan budaya masyarakat yang ada dan
berkembang sebelumnya di Indonesia.
Namun dasar-dasar kebajikan dan
beberapa hukum dasar yang diyakini umat Hindu, telah berurat akar berkembang
pada masyarakat di Indonesia, sekalipun sebagai penganut keyakinan yang
berbeda. Mereka melaksanakan hukum tersebut, dengan nama dan sebutan yang
berbeda dengan sebutan aslinya, seperti Hukum Kodrat identik dengan Hukum Rta
ajaran Hindu, Hukum Karma, dikaitkan dengan Hukum Karma, atau perbuatan yang
baik akan menghasilkan pahala, sedangkan perbuatan yang jahat akan berbuah
neraka, dan lain sebagainya.
Terkait dengan masalah itu, tidaklah
berlebihan apanila mulai difikirkan oleh para cerdik cendekia, pemuka agama,
akademisi, wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat untuk adanya sebuah Kantor
Agama, Kantor Pengadilan Agama Hindu, sebagai cikal bakal penerapan Hukum
Hindu, yang sangat mungkin dibentuk secara otonom oleh DPRD Propinsi Bali,
sebagai turunan dari Undang-Undang Dasar, Undang Undang, maupun ajaran agama Hindu,
sehingga dalam adanya sengketa antar umat beragama Hindu terkait dengan
kegiatan yang terkait keagamaan dapat penyelesaian yang baik serta dapat
diterima semua fihak.
Hukum ini juga dapat dikembangkan
dari Hukum Adat dengan penyesuaian disana-sini. Hukum Hindu yang telah dengan
baik diterapkan selama ini secara lokal dan otonom adalah Hukum Hindu pada
masyarakat Hindu Toraja di Kabupaten Mamasa Sulawesi Selatan. Yang sering
disebutkan sebagai Hindu Alukta
Umat
Hindu Alukta, memiliki hukum dresta sendiri yang disebut “pangngadaran”, yaitu
lembaga hukum yang berazaskan norma-norma Hindu Alukta. “Pangngadaran”
kemungkinan besar berasal dari kata “adak”, dimana adak berarti adat. Sebagai
hukum agama, maka jenis-jenis aturan, pelanggaran dan sanksinya tentu ditampilkan
menurut nilai-nilai agama Hindu Alukta. Selain bersifat sekala juga bersifat
niskala( Ferdinanus
Nanduq).
Secara sosio-religius, system Hukum
ini dipimpin oleh seorang tomakaka, yang mengatur
strata masyarakat yang disebut
tanak: yaitu tanak bulawan, tanak bassi,
tanak karurung, dan tanak koa-koa. Keempatnya sebagai pendukung Hukum Hindu
Alukta. Strata ini dapat diidentikan dengan catur warna yang dikenal dalam
Hindu di Bali. Prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi lembaga Hukum
Sebagai sebuah lembaga hukum,
pangngadaran terdiri atas lima prinsip hukum, yaitu :
1.
Perinsip zas religius (Lima randanna
aluk mangngolo lako dewata). Merupakan Norma-norma yang berlaku bersumber dan
bersandar pada aluk (ajaran Hindu Alukta). Pelanggaran terhadap norma,
dikenakan sangsi bersifat sosial-religius. Berupa sangsi yang bersifat sosial,
misalnya membayar denda, dengan di
dalamnya juga ada upaya untuk memelihara dan mengembalikan aluk pada
kemurniannya. Terjadinya pelanggaran kemudaian dinetralisir dengan persembahan
yadnya.
2.
Perinsip Azas kemanusiaan (Tokabuk
botting-bottingna nakendekanni pangngadaran). Orang yang bersalah merasa
tersiksa dan menderita akibat kesalahan.
Tetapi dia mempunyai komitmen dalam dirinya untuk: mengakui kesalahan; berjanji
untuk kembali ke jalan yang benar: dan diberi pengampunan dan penghargaan atas
hak-haknya sebagai warga adak.
3.
Perinsip Kaeadilan sejati . (Pangngadaran
uppa’batu laulung) . Merupakan prinsip keadilan sejati. Hukum tidak boleh
terpengaruh oleh siapa dan apapun, kokoh pada kebenaran. Uppa’batu Laulung
artinya memakai batu yang sangat keras.
4.
Perinsip Kesamaan di muka Hukum (
Tolayang tandukna tolenggen palasanna napappai pangngadaran). Merupakan prinsip
kesamaan di hadapan hukum. Siapa yang memang “bersalah” (tola yang tandukna
tolenggen palasanna) menurut hukum harus dihukum (napappai) oleh lembaga hukum
itu sendiri (pangngadaran).
5.
Perinsip Pembinaan ( Totibambang
tarakdena anna ukkita bubunganna adak, tuomi tang mate). Merupakan perinsip
pembinaan, dimana orang yang bersalah di muka hukum dan kehilangan martabat
bila ia menyadari dan menghormati hukum, maka dia patut diberi perlindungan
hukum , dikembalikan kemasyarakat untuk melanjutkan kehidupannya. Menghormati
hukum bebarti telah menjalankan hukuman yang dijatuhkan lembaga hukum
kepadanya.
Pangngadaran merupakan
norma-norma hukum yang mengatur setiap orang yang ada di dalamnya, termasuk
aparat hukum sendiri. Bahkan lebih luas dari pada masyarakat pada umumnya.
Larangan bagi Pemimpin Agama .
Beberapa larangan bagi seorang pemimpin Hindu Alukta dalam kehidupan
sehari-harinya diantaranya : (1) Berbuat Zina; (2) Berjudi, sabung ayam; (3)
Memikul sesuatu; (4) Memanjat pohom;(5) Dibawah pohon berbuah dilarang menengok
ke atas; (6) Korupsi dan memeras rakyat; (7) Menangkap ikan di sungai; (8)
Membawa wadah kosong : (9) Terlibat langsung dalam pembagian daging; (10)
Menebang pohon setelah musim tanam padi; (11) Menipu dan berdusta, dan (12)
Mengubur mayat. Larangan ini kelihatannya hamper sama dengan beberapa larangan
untuk seorang pendeta Hindu di Bali.
Larangan bagi masyarakat umum.
Beberapa larangan bagi masyarakat umum diantaranya adalah : (1) berjudi; (2)
Menipu dan berdusta; (3) Berzinah; (4) Menebang pohon, merabas hutan setalah
musim tanam padi; (5) Menyabung ayam setelah musim tanam padi, dan (6)
Memperbaiki rumah setelah musim tanam padi.
Hukum Hindu Alukta juga mengatur masalah tuduhan yang tidak terbukti/tidak benar/fitnah, pertikaian baik non fisik maupun fisik, hingga pembunuhan, pencurian, sengketa tanah atau warisan, termasuk perceraian. Yang jelas. Hukum Hindu Alukta mengatur masalah norma- norma kehidupan masyarakatnya. Hal ini akan dijelaskan selanjutnya dalam kaitannya dengan sangsi hukum.
Sangsi
yang diterapkan bagi pelanggar Hukum dapat digolongkan kedalam empat golongan,
yaitu :
1.
Sangsi Ringan. Mediasi kedua belah
fihak yang berselisih, diibaratkan dapat dilakukan dengan pertemuan makan sirih
bersama, yang bersalah mengakuai
kesalahannya dan yang merasa dirugikan memafkannya.
2.
Sangsi Sedang. Sangsi kepada yang
terbukti bersalah untuk melakukan acara dengan menyembelih ayam untuk dimakan
bersama, dalam acara atau upacara perdamaian.
3.
Sangsi Berat. Bagi yang terbukti
bersalah didenda dengan seekor babi untuk upacara perdamaian. Dalam upacara
dilakukan pemujaan kepada roh leluhur dan Puang Matua, dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Pencipta,
dengan harapan agar pihak bersalah tidak mengulangi perbuatannya , dan
perdamaian tetap langgeng di masyarakat.
4.
Sangsi Terberat. Bagi yangterbukti bersalah didenda seekor kerbau.
Demikian
juga dengan Hukum Adat yang berlaku sampai saat ini, di masing masing desa adat
di Bali, dilaksanakan berdasarkan awig-awig yang mereka sepakati bersama. Isi
hukum adat ini lebih banyak mengatur anggota masyarakat, dikaitkan dengan hak
dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat desa, yang dikenal dengan Desa
Adat. Awig-awig ini juga tidak terlepas dari ajaran agama, sehingga terkadang
kita sulit membedakannya dengan Hukum Agama. Secara sepesifik Hukum Adat ini
berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya sehingga sulit untuk
membahasnya secara umum,
Hukum Alam Rta.
Sebagai
keimanan Hindu adalah Panca Sradha. Salah satu Sradha itu adalah Brahman,
percaya terhadap Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Secara inklusif penganut Hindu juga percaya
dengan hukum-hukum yang diturunkan Tuhan Yang Maha Esa lewat para Rsi, yang
dituangkan dalam Weda. Yaitu hukum yang diyakini sebagai kuasa Ida Sang Hyang
Widhi Wasa sebagai sifat dari Kekuasaan
Tuhan , yang diperlihatkaNya dalam bentuk yang dapat dilihat, dirasakan dan
dialami oleh manusia.
Bentuk hukum
tuhan murni dalam ajaran agama Hindu disebut Rta yaitu hukum murni yang bersifat
absolute. Rta ini kemudian dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia dan disebut
DHARMA. Adapun Hukum Agama yang disebut DHARMA itu sifatnya Relatif, karena ia
selalu dikaitkan dengan pengalaman Manusia dalam mengatur tingkah laku manusia
untuk mencapai kebahagian di dalam kehidupanya. Kerelatifannya ini juga
disebabkan dengan berbagai tafsir yang menjadikan implementasinya yang
berbeda-beda. Rta diterjemahkan sebagai system, Orde atau Hukum, tetapi sebagaii
hukum yang abadi tidak pernah berubah.
Di dalam
Weda Jotisya diterangkan bahwa pada awalnya Tuhan menciptakan alam semesta,
kemudian menciptakan Hukum yang mengatur hubungan yang diciptakanya itu, serta
hubungan antara ciptaannya itu, sebagai sebuah system. Disini Tuhan sebagai
pengendali ciptaan dan system yang mengatur ciptaannya, biasa disebutkan
sebagai Rtawan. Dalam perkembangan selanjutnya dalam Bahasa Sansekerta Rta
diartikan sebagai Widhi, yang bermakna aturan-aturan yang ditetapkan secara
prerogative oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini kemudia berkembang sehingga
kita mengenalnya dengan Ida Sang Hyang Widhi.
Dalam konsep
Hukun, dikenal Hukum Alam dan Hukum Pemerintahan –Bangsa-. Hukum alam dalam
agama Hindu kita kenal dengan Rta, sedangkan Hukum Pemerintahan yang berkembang
dalam suatu komunitas, atau kelompok sosial kita kenal dengan Dharma. Bentuk
dgarma ini berbeda-beda karena ia merupakan implementasi dari hukum agama,
sosial, masyarakat, sehingga bersifat dinamis, dengan tafsir jaman dan kelompok
masing masing. Dharma sebagai Hukum tidak sama di satu tempat dengan tempat
lainnya. Ia akan selalu dikaitkan dengan
budaya, kebiasaan, norma setempat, sehingga dia sering disamakan dengan
pengertian yang terkandung pada Dresta. Sehingga Rta dapat disebutkan sebagai landasan
Idiil, dalam hukum yang mengatur masyarakat Hindu, dalam menjalankan dharma.
Hukum Karma
Dalam pustaka suci Hindu Hukum
banyak diartikan, maupun disamakan dengan arti skebenaran . Hukum merupakan ketentuan atau peraturan yang harus ditaati oleh sekelompok orang (sub
sitem) dalam organisasi ( Sistem) , serta adanya hukuman / ancaman terhadap
orang yang melanggar. Karma dari bahasa Sansekerta yang berarti perbuatan. Phala
berarti buah atau hasil.
Maka dapat disimpulkan Hukum Karma
Phala berarti : Suatu hukum yang
mengatur hasil dari perbuatan seseorang sebagai subsitem dariu system. Hukum
Karma, merupakan salah satu dari Sradha dalam agama Hindu. Hukum Karma
merupakan filsafat yang yang mengandung etika , yang berarti bahwa dia
merupakan sebuah keyakinan, yang mengatur , dan diyakini hasilnya oleh umat
Hindu.
Dalam Sarasamuscaya seloka 17
disebutkan bahwa “Segala orang, baik
golongan rendah, menengah, atau tinggi, selama kerja menjadi kesenangan
hatinya, niscaya tercapailah sgala yang diusahakan akan memperolehnya.”
Hukum Karma merupakan hukum
kausatif, hukum sebab – akibat, yang
berlaku untuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa : alam semesta, binatang, tumbuh –
tumbuhan dan manusia. Hukum Karma sebagai turunan dari Rta. HUkum ini sering
juga disebutkan sebagai Hukum Tanam-Tuai.
Dalam Kekawin Ramayana Sargah 1 bait
nomor 4, dengan terjemahan bebasnya disebutkan, bahwa :“Nafsu dan lain sejenisnya (Sad Ripu) adalah musuh yang
terdekat, letaknya, di dalam hati , tidak jauh dari badan, Hal itu tidak ada
pada Dia, hanya keberanian dan kebijaksanaan serta pengetahuan politik yang
beliau miliki”. “Apa yang kamu tanam maka itulah yang akan kamu tuai”, Jadi yang tak luput dari kesalahan, dan hukum
karma ini adalah manusia, sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hukum Karma ini
di golongkan menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Prarabda karma pala yaitu
perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup sekarang dan diterima dalam hidup
sekarang juga; (2) Kriyamana karma pala yaitu perbuatan yang dilakukan
sekarang di dunia ini tetapi hasilnya akan diterima setelah mati di alam baka,
dan (3) Sancita karma pala yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang
hasilnya akan di peroleh pada kelahiran yang akan dating.
Hukum Karma ini mempunyai sifat :
(1) Kekal Abadi. Maksudnya sudah ada sejak mulai penciptaan alam semesta ini
dan tetap berlaku sampai alam semesta ini mengalami kiamat; (2) Universal.
Maksudanya berlaku bukan untuk manusia tetapi juga untuk mahluk – mahluk seisi
alam semesta; (3). Mutlak. Maksudnya berlaku untuk semua orang tanpa kecuali,
dengan tidak ada pembelaan.
Demikian mutlaknya Hukum Karma
berlaku, maka hukum ini akan sangat terkait dengan perilaku manusia, sehingga
kita harus menerapkan Tri Kaya Parisuda.
TRI KAYA PARISUDA
Tri Kaya Parisudha, terdiri dari
tiga kata, Tri, Kaya, dan Parisudha. Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau
perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti “upaya penyucian”.
Jadi “Trikaya-Parisudha berarti “upaya penyucian atas tiga perbuatan atau
prilaku kita, yaitu berfikir, berkata, dan berbuat”.
Secara keseluruhan Tri Kaya Parisuda adalah tiga jenis perilaku manusia
yang harus disucikan, yaitu (1) Manacika. Berpikir yang baik, bersih dan suci;
(2) Wacika . Berkata yang baik dan benar, dan (3) Kayika. Berbuat yang baik dan
jujur .
Berfikir atau fikiran akan menjadi
dasar prilaku kita yang lainnya, karena perencanaan perbuatan akan dimulai dari
proses berfikir. Fikiran baik atau birik akan terpancar dari aura kita terhadap
alam sekitarnya atau orang orang disekitar kita. Hasil proses berfikir ini akan
menentukan perkataan maupun perbuatan kita selanjutnya.
Tiga macam implementasi pengendalian
pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Saracamuscaya,
adalah: Tidak menginginkan sesuatu yang
tidak layak atau halal; Tidak berpikiran
negatif terhadap makhluk lain, dan percaya dengan hukum karma.
Perkataan yang tidak baik yang mesti
dihindari disebutkan dalam Sarasamuscaya diantaranya: tidak suka mencaci maki;
tidak berkata kasar kepada siapapun; tidak berkata menjelekkan dan atau
memfitnah; dan tidak berkata bohong, ingkar janji .
Dalam perbuatan kita sehari-hari
perlu menghindari beberpa hal, diantaranya : (1) tidak menyakiti, menyiksa dan
membunuh makhluk lain; (2) Tidak berbuat curang yang berakibat merugikan orang
lain, dan (3) Tidak berzinah.
KESETARAAN GENDER DALAM AGAMA HINDU
Hukum Agama maupun Hukum Adat selama
ini menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tidak sama, sebagai kenajutan
dari adanya faham gender dan azas patriarki yang dianut sebagian besar daerah
atau suku bangsa di Indonesia. Keadaan ini
menimbulkan ada gerakan feminisme yang tuntutan adanya kesetaraan gender. Sebagai
hasilnya sudah mulai terlihat walau belum 100 persen tercapai. Itu bisa dilihat
dengan disahkannya ratifikasi beberapa
Konvensi Internasional yang mencakup
didalamnya tentang kesetaraan gender ini.
Diantaranya adalah UU No. 7 tahun
1984 yang meratifikasi Konvensi Internasional tentang Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan; UU No. 12 Tahun 2005 , yang meratifikasi Konvensi
Internasional Hak-hak Sosial dan Politik; UU No. 11 Tahun 2005, ratifikasi
Konvensi Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi , Sosial dan Budaya. Yang
semuanya didalamnya terdapat kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
Politik Nasional terkait dengan issu kesetaraan gender ini
menuai hasilnya dengan ditentukannya jumlah perempuan di parlemen hingga 30
persen, merupakan kemajuan yang sangat besar yang merupakan kemenangan kaum
perempuan, gerakan feminism dan tuntutan kesetaraan gender di Indonesia.
Adanya gap yang lebar pada gender, sehingga menjadi
ketimpangan kesetaraan, tidak dapat dipisahkan dengan kebiasaan dan perlakuan
masyarakat yang memang berbeda terhadap anak laki-laki maupun perempuan karena
adanya azas patriaki, maupun matriaki.
Itu terlihat sejak manusia itu berupa janin dalam kandungan, banyak yang
sudah menebak jenis kelaminnya, sampai melihat jenis kelamin janin dengan
teknik USG pada Dokter Akhli Obstetri
Ginekologi, atau Dokter kandungan.
Setelah lahir juga demikian ada
pembedaan, dengan pemberian nama yang mempertegas perbedaan itu. Di Bali anak
laki-laki selalu namanya di awali dengan : I, Ida Bagus, Gusti Agung, Dewa dll,
kalau perempuan dengan awalan : Ni, Ida Ayu, Sagung, Luh, Dewa Ayu dll.
Terkadang sampai memberikan kesempatan tidak jarang berbeda antara anak laki
dengan anak perempuan.
Menurut Murniati A. Nunuk Prasetyo (
1993:4) dalam ida Bagus Agung, bahwa cirri-ciri laki-laki dan perempuan dikunci
mati oleh ideology gender. Sehingga budaya nasional yang menganut azas
patriaki, -kecuali di Sumatera Barat menganut matriaki-, menempatkan kedudukan
perempuan berbeda (baca lebih rendah) dibandingkan laki-laki. Perhatikan
kesempatan untuk menuntut ilmu, dalam pembagian waris, dalam pemimpin upacara
keagamaan dll nya.
Agama Hindu, dalam isu kesetaraan
gender ini tidak konsisten, sebagian besar sloka mengakui kesetaraan gender,
namun pada bebera sloka juga menempatkan wanita itu sebagai pelengkap,
diperlukan namun tidak sebagai pelaku utama.
Perkawinan sebagai Lembaga Pembentuk
Pribadi Manusia
Dalam beberapa kitab Weda, seperti
Weda Smreti, dapat dipetik pengakuan terhadap kesetaraan gender tersebut,
diantaranya pada:
A.
Weda
Smrti.
- Weda Smreti IX.101, Kalau
diterjemahkan menyatakan bahwa:
Hendaknya
hubungan yang setia berlangsung sampai mati,
Singkatnya
ini harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami-isteri.
- Weda Smreti IX.102. Kalau
diterjemahkan menyatakan bahwa :
Hendaknya
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan,
mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai
dan
jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.
Kedua seloka tersebut mengajarkan
bahwa lembaga perkawinan, suami istri berlangsung seumur hidup sepanjang hayat.
Antara suami isteri harus menjalin komunikasi yang baik dalam mempertahankan
kehidu[an rumah tangganya, dan selalu menghindari perceraian. Dalam lembaga
perkawinan juga diajarkan hendaknya terdapat kesetiaan antar pasangan .
Kestiaan dianggap sebagai hukum yang tertinggi.
Menurut Weda Smrti , lembaga
perkawinan memiliki sifat sacral, suci, karena bertugas untuk menghasilkan
keturunan. Dikaitkan dengan tugas suami isteri untuk mendidik dan membesarkan
anaknya maka lembaga perkawinan merupakan lembaga yang pertama membentuk
kepribadian manusia. Ini menunjukkan
bahwa upacar perkawinan merupakan upacara yang wajib, sebagai upanya menyatukan
dua jiwa menjadi satu dalam lembaga perkawinan. Kewajiban itu tertuang dalam
Weda Smrti II.67 dan persembahan upacara ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dalam manifestasinya sebagai Dewa Ardha Nareswari.
B.
Rg
Weda.
Di dalam Rg Weda, pasangan laki-laki
dan perempuan yang telah terikat perkawinan disebutkan sebagai “dampati” yang
secara harfiah bebrarti tak terpisahkan. Sehinga lembaga perkawinan merupakan
ikatan antara laki-dan peempuan yang tak terpisahkan, tak tercerai. Antara Rg
Weda dan Weda Smrti, keduanya sangat sejalan dalam memandang lembaga
perkawinan. Sebagai lembaga suci yang merupakan awal pembentukan kepribadian
manusia.
C.
Chanokya
Upanisad
Dalam Chanokya Upanisad, dituliskan
bahwa Semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin berasal dari sumber yang sama,
yaitu Tuhan sebagai Pramaatma. Selanjutnya disebutkan bahwa:
Tuhan adalah jiwa dari seluruh alam
semesta ini
Tuhan adalah hakekat kenyataan;
Tuhan adalah Kebenaran sejati, Dial
ah Paramaatman
Engkau adalah dia
Ketiga kitab suci di atas menyatakan
bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga, kalau dilihat dari
lembaga perkawinan memiliki kesetaraan tugas dan kewajiban, namun apabila kita
tinjau dari tujuan perkawinan untuk melahirkan suputra, maka arti tersebut akan
sedikit berubah.
Suputra terdiri dari tiga suku kata
berasal dari bahasa Sansekerta ; su berarti baik, put = neraka, dan tra =
menyeberangkan, menyelamatkan. Jadi lembaga perkawinan mempunyai kewajiban
untuk melahirkan keturunan yang akan menyelamatkan para orang tua, leluhur untuk
menyeberangi neraka. Mungkin disini dimaksudakn bahwa doa-doa dari keturunan
mereka akan membantu menyelamatkan mereka dalam perjalanannya menuju kebebasan
dari neraka.
Terkait
dengan hal tersebut dalam lontar Slokananta disebutkan bahwa lembaga perkawinan
yang memiliki seorang putra jauh lebih baik dari melakukan yadnya sebanyak
seratus kali. Nah kalau yang dimaksud putra ini laki-laki, maka kesetaraan
gender, tidak mendapat pengakuan yang utuh dalam kitab suci.
Dari uraian diatas terlihat bahwa
gerakan feminism dalam kesetaraan gender, maka tuntutan untuk seratus persen
setara kelihatannya tidak akn bisa, karena memang kodrat laki-laki dan
perempuan sudah berbeda, sehingga dalam kitab sucipun sedikit ada perbedaan
dalam tugas dan kewajiban seorang suami dibandingkan dengan istrinya. Berikut
ini beberapa petikan kitab suci yang terkait.
Tambahan:
Menghayati
dan mengamalkan ideologi bangsanya serta tunduk dan patuh menjalankan ketentuan
konstitusional yang berlaku. Ketentuan ini dinyatakan di dalam Veda Smrti
adhyaya VII sloka 13, 14 dan 18 yang artinya berbunyi sebagai berikut :
1. Karena itu hendaknya jangan
seorangpun melanggar undang-undang yang dikeluarkan oleh raja baik karena
menguntungkan seseorang maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendaki (BG.VII.13);
2. Demi untuk itu, Tuhan telah
menciptakan Dharma, pelindung semua mahluk, penjelmaannya dalam wujud
undang-undang, merupakan bentuk kejayaan Brahman Yang Esa (BG.VII.14);
3. Sangi hukum itu memerintah semua
mahluk, hukum itu yang melindungi mereka, hukum yang berjaga selagi orang
tidur, orang - orang bijaksana menyamakannya dengan dharma (BG.VII.18)
Mencintai
dan mengabdi kepada Tanah Air, Bangsa dan Negara yang dilandasi oleh kesadaran
Bela Negara melalui disiplin dan kerja keras. Di dalam kitab suci Veda kita
temukan beberapa sloka sebagai berikut :
1. Bumi ini adalah Ibu dan kami adalah
putranya. (AW.XII.1.12);
2. Bumi yang luas ini adalah Ibu dan
kerabat kami, langit adalah ayah, pelindung, asal dan pusat kelahiran kami.
(AW. XII.10.12);
3. Kami menghormati Ibu Pertiwi.
(YW.IX.22);
4. Selalu memberikan penghormatan
kepada kemerdekaan. [R.V.I.80.1];
5. Tanah Air adalah negeri tercinta
yang utama di bumi ini. [Ath.V.VI.21.1];
6. Semoga kami waspada menjaga dan
melindungi bangsa dan negara kami. [Y.V.IX.23];
7. Semoga kami dapat mengobankan hidup
kami untuk kemuliaan bangsa dan negara kami. ".[Ath.V.XII.1.2]
8. Bekerjalah untuk tanah air dan
bangsamu dengan berbagai cara. Hormatilah cita-cita bangsamu. Ibu Pertiwi
sebagai sumber mengalirnya sungai kemakmuran dengan ratusan cabang. Hormatilah
tanah airmu seperti kamu memuja Tuhan. Dari jaman abadi Ibu Pertiwi memberikan
kehidupan kepadamu semua,karena itu Anda berhutang kepada-Nya .[Ath.V.XII.1.45]
9. .Janganlah bersenang-senang selalu,
yang harus dikerjakan esok kerjakanlah sekarang, yang harus dikerjakan petang
kerjakanlah pagi itu juga, karena sang maut tidak peduli menunggu apakah
pekerjaanmu sudah selesai atau belum ? .[ Smc.364 ];
10. Tuhan hanya mengawani mereka yang
giat bekerja [Rg.V.V.33.11].;
11. Tuhan merestui orang-orang yang berkorban.
Ia tidak suka kepada penidur dan malas serta akan menghukum orang-orang yang
lalai (tidak disiplin) menjadi gelisah ". Rg Veda VII.2.18
Disusun oleh : I Putu Pudja
Di Puri gading, Bukit Jimbaran Medio
September 2013
No comments:
Post a Comment