PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Tuesday, November 26, 2013

PERAN HINDU DALAM MEMBANGUN BUDAYA

PERAN AGAMA HINDU DALAM MEMBANGUN BUDAYA AKADEMIK

Oleh : I Putu Pudja

Suasana pendidikan merupakan suasana yang berbeda dengan bidang lainnya karena mempunyai misi yang sangat mulia dan berbeda. Karena sedemikian pentingnya masalah pendidikan mendapat perhatian khusus pada Undang Undang Dasar 1945, serta penganggarannya mendapat porsi yang berbeda dengan bidang lainnya. Misi pendidikan di Perguruan tinggi dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sehingga budaya yang berkembang di Perguruan TInggi seharusnya tidak akan jauh dari moral dan etika ke tiga tridarma tersebut yaitu etika dan moral : pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat (Winarno Surakhmad).
Filosofi pendidikan sudah jelas diamanatkan undang-Undang sebagai upaya memanusiakan manusia, sehingga sudah seharusnya perguruan tinggi tidak hanya ‘pabrik’ yang mencetak sarjana yang hanya menguasai sain, tetapi juga sebagai pusat pertumbuhan budaya, budaya akademik, budaya kerja yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Pendidikan pada hakekatnya adalah tempat yang merupakan ladang untuk memupuk peradaban bangsa.
Dengan tri dharma perguruan tinggi yang menjadi misi nya maka pergirian tinggi juga merupakan menyapkan para ilmuwan yang tidak hanya lengkap ilmunya namun juga merupakan ilmuwan pembelajar dan peneliti, yang selalu siap membawa pencerahan ilmu pengetahuan , terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri maupun kepada masyarakat Indonesia.
Karena sains ( ilmu pengetahuan)merupakan alat untuk mencari kebenaran. Mencari kebenaran dalam sains memerlukan tahapan dan metode, yang dikenal dengan metode ilmiah, dengan tahapan tertentu dan metodologi penelitian. Disana akan diajarkan betapa pentingnya etika dan kejujuran di dalam suatu peneltian. Karena penelitian dan pendidikan merupakan dua hal yang tak terpisahkan diperguruan tinggi, sudah sewajarnya keduanya akan mempunyai etika yang tidak jauh berbeda. Diantara budaya tersebut adalah : kebebasan akademik,  kejujuran, sportif, memiliki etos kerja pengabdian.
Karena etika moral tersebut banyak diajarkan sejak dini pada pelajaran maupun pelaksanaan ajaran agama, maka budaya yang harusnya dijunjung tinggi di perguruan tinggi adalah budaya yang merupakan campuran atau saling melengkapi antara budaya pendidikan, budaya penelitian, budaya kerja, yang dilandasi oleh budaya religius. Sehingga misi Pendidikan  mampu membangun peradaban yang memanusiakan manusia, dapat diwujudkan .
Pengertian Budaya

Schein menyatakan budaya organisasi merupakan suatu pola dimensi milik bersama yang dipelajari suatu kelompok pada saat memecahkan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah berhasil sehingga dianggap ajek, dan karena itu akan diajarkan kepada anggota kelompok baru sebagai cara yang benart untuk mempersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi masalah serupa[1].

Menurut Eliott Jacques tentang budaya organisasi merupakan cara berfikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh semua anggota organisasi, dan para anggota baru harus mempelajari atau minimal menerimanya sebagai bagian organisasi[2].

Menurut Robbins, terdapat tujuh karakter utama, yang kesemuanya menjadi elemen-elemen penting suatu budaya organisasi[3]:
1.      Inovasi dan pengambilan resiko: Tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2.      Perhatian terhadap detail: Tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
3.      Orientasi terhadap hasil: Tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
4.      Orientasi terhadap individu: Tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.
5.      Orientasi terhadap tim: Tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
6.      Agresivitas: Tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
7.      Stabilitas: Tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.

Budaya Akademik

Budaya Akademik, merupakan suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik.  Karena misi pendidikan tinggi meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, maka masyarakat akademik disini adalah masyarakat yang terlibat dalam lembaga pendidikan dan penelitian.

 Karena Ilmu pengetahuan -yang di gali di perguruan tinggi- memunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri, maka kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang dinamis, bergerak sejalan dengan perubahan zaman. Perkembangan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan akademik.

Perkembangan ini hanya terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pemangku kepentingan akademik, yang memiliki komitmen dan rasa tanggung jawab  terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik. Budaya akademik merupakan  budaya universal. Dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membanggun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut. Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua insan akademisi perguruaan tinggi, yakni dosen, mahasiswa, dan warga lingkup akademik.

Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor), serta dapat mengantarkan sukses anak didiknya dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik dan sukse di tempat kerja. Bagi  mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik, yaitu dapat menyelesaikan pendidikan dengan tepat waktu dan nilai yang tinggi

Dengan demikian, sangat mudah disadari bahwa perguruan tinggi berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan lahan pembinaan intelektualitas dan moralitas, untuk dasar penguasaan IPTEK dan budaya akademik sebagai bagian dari arti budaya secara luas.

Budaya akademik, budaya yang berlangsung dalam masyarakat akademik, merupakan sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif .

Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik, meliputi : (1) Menghargai pendapat orang lain; (2) berfikir rasional, kritis-analitis yang bermoral; (3) kebiasaan membaca ; (4) memperkaya ilmu dan wawasan; (5) penelitian dan pengamdian masyarakat; (6)  kebiasan menulis ilmiah; (7) melakukan diskusi ilmiah; (8) proses belajar mengajar, dan (9) manajeman akademik yang baik.

Dengan memperhatikan budaya akademik ini, maka hubungan antar warga akademik tidak hanya formal hubungan antara guru (dosen) dengan murid (mahasisa) secara harfiah, tetapi semua warga akademik merupakan komponen pembaharu dalam dunia pendidikan dengan menjunjung tinggi tri darma perguruan tinggi sebagai misi mulia, melakukan pendidikan, penelitian dengan penuh etika keilmuan, etika peneliti, serta mengabdikan hasil penelitiannya kepada masyarakat, sedangkan untuk ilmu pengetahuan itu sendiri dia dapat ikut semakin menyempurnakan ilmu pengetahuan itu. Itu tentu akan dapat tercapai apabila budaya akademis kita sudah mendukungnya.

Budaya Kerja

Budaya kerja adalah bentuk etika, sikap, perilaku dan cara pandang bersama dari sebuah kelompok yang tergabung dalam organisasi , terhadap setiap masalah dari perubahan variasi lingkungan organisasi.

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan perilaku Sumber Daya Manusia yang ada agar dapat meningkatkan prodiktivitas kerja dalam menghadapi tantangan. Budaya kerja diperlukan terutama untuk meningkatkan produktivitas, memupuk rasa kekluargaan, membangun komunikasi, memupuk rasa kekeluargaan, memotivasi karyawan, serta membangun komitmen organisasi

Budaya kerja yang kuat akan memiliki ciri-ciri : (1) Para karyawani memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi,(2)  karyawan mematuhi pedoman tingkah laku organisasi, (3) tidak banyak karyawan yang keluar ( berhenti atau mengundurkan diri); (4) adanya pengakuan terhadap perestasi karyawan( reward dan furnishment); (5) the righth man in the right place

Budaya kerja di BMKG tentu tidak terlepas dari sifat tugas dan fungsi dari organisasi ini yaitu : disiplin (tempat dan waktu ); jujur ; tanggap dan tangguh; ilmiah dan penelitian.

Menjaga eksistensi budaya kerja agar tetap eksis adalah dengan melakukannya sejak system seleksi sampai manajemen puncak. Pada saat
Seleksi, harus disadari bahwa seleksi mempunyai  tujuan  mengidentifikasi dan memperkerjakan individu – individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi; (2) Pada Manajemen Puncak,harus tetap mengupayakan agar semua proses dalam organisasi  mempunyai dampak dan tidak bertentangan pada budaya organisasi.

Budaya Religius 

Budaya religius akademik adalah cara berfikir dan cara bertindak para pemangku kepentingan akademik yang didasarkan atas nilai-nilai keberagaman religius . Keberagaman  adalah warga akademik yang memahami dan menjalankan ajaran agama masing-masing secara menyeluruh, baik tatwa, etika maupun upacara keagamaannya.
Menurut Glock & Stark (1966) dalam Muhaimin, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu:
1.      Dimensi keyakinan. yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin tersebut.
2.      Dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
3.      Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu.
4.      Dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan,  minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi.
5.      Dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Tradisi dan perwujudan ajaran agama memiliki keterkaitan yang erat, karena itu tradisi tidak dapat dipisahkan begitu saja dari masyarakat termasuk masyarakat di pergutun tinggi sedangkan masyarakat juga mempunyai hubungan timbak balik, bahkan saling mempengaruhi dengan agama. Menurut Mukti Ali, agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Dalam kaitan ini, Sudjatmoko juga menyatakan bahwa keberagamaan manusia, pada saat yang bersamaan selalu disertai dengan identitas budayanya masing-masing yang berbeda-beda. Secara  antropologis bahwa kelompok kelompok manusia akan mempunyai budayanya masing masing, yang digunakan sebagai pembeda antara yang satu dengan lainnya.

B
udaya religius harus dilandasi dengan semangat : kesediaan berkorban ber punia, persaudaraan, saling menolong, dan tradisi lainnya yang telah berkembang dengan baik.  Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa: berupa tradisi : semabhyang bersama, ngayah, beryadanya bersama, dan kegiatan tradisi agama lainnya.

Budaya religus akademik bertujuan mewujudkan nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi warga akademik dalam berperilaku. Ia juga akan menjadi  budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga akademik. Dengan menjadikan ajaran agama sebagai bagian tradisi dalam lingkungan akademik maka secara tidak langsung warga akademik telah mengikuti tradisi yang telah tertanam  sebagai implementasi ajaran agama yang  diyakininya. Terkait masalah ini terkadang kita susah membedakan mana yang merupakan tradisi (adat) dan mana tradisi agama, sangat sulit membedakannya.
Membudayakan nilai-nilai keberagamaan religius akan dapat dilakukan dengan baik melibatkan semua pemangku kepentingan akademik melalui : kebijakan pimpinan; kegiatan ajar mengajar; kegiatan ektrakurikuler; kegiatan kemahasiswaan, secara teratur, memiliki SOP dan agenda yang jelas.
Dalam pengembangan budaya religius akademik ini, peran pendidikan agama sangat besar pengaruhnya, dengan mencoba menerapkan dengan perinsip-perinsip:
1.      Belajar hidup dalam keberagaman; dituntut peran semua fihak yang terlibat dalam proses akademik, dalam mengembangkan sikap : tolerasi; penyamaan persepsi nilai-nilai kehidupan bersama; tepa-selira dan pematangan emosional; dan pembuatan aturan main bersama dalam organisasi dengan melibatkan semua unsur agama yang ada di warga akademik.
2.      Menciptakan rasa saling – percaya antar warga akademik dengan basis keagamaan;
3.      Memelihara rasa saling pengertian;
4.      Saling menghargai;
5.      Berfikir terbuka, mau memberi dan menerima masukan;
6.      Sikaf mengeliminasi konflik secara terbuka, dengan landasan kebersamaan.



Dikaitkan dengan kegiatan akademik maka Hindu memiliki budaya yang sangat bagus dan telah disusun rapi dalam Weda. Weda telah mengatur secara lengkap bebrbagai aspek kehidupan. Tahapan kehidupan yang dikaitkan dengan tahapan menuntut ilmu tentu saja merupajan tahapan brahmacari. Pada tahapan ini tentu diterapkan etika sesuai dengan tahapan, serta swa darma tahapan ini. Pada tahapan brahmacaria disebutkan seseorang harus tekun mwempelajari dharma,dharma berarti kebenaran yg berwujud ilmu mpengetahuan duniawi maupun rohani (Yayur Weda, XL.2).

Dikatakan juga bahwa sesungguhnya manusia merupakan mahluk yang sangat beruntung karena dia dapat memperbaiki karmanya sendiri. Bagawad Gita menyebutkan bahwa  manusia itu menjelma kembali, ditentukan oleh karma dan swadarmanya, dia diciptakan Tuhan dengan tujuan yang jelas, akan menjalani karma dan swadarma yang sdudah ditentukan.

Sepeti yang dikatakan selanjunya bahwa ada dua jalan utama untuk menuju ketujuan hidup manusia yaitu Jalan Jnana melalui ilmu pengetaguan, dan karma melalui kerja, berbakti kepada tuhan, kepada sesame dan kepada sesame ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.  Seperti yang disebutkan sloka BG. III. 3, 5, 9,17, 19 yang artinya sebagai berikut:

Sejak dahuluAaku telah katakan, kepada orang-orang yang tak berdosa, ada dua jalan suci di dunia ini: jalan Jnana (ilmu pengetahuan) bagi cendikiawan dan jalan Karma (kerja) bagi ia yg suka bekerja.

 Walo sesaat, tak seorangpun berdaya untuk tidak bekerja,karena, setiapa orang dijerat oleh hukum karma (hukum alam semesta), hukum semestalah yang memaksanya untuk bekerja.

Orang harus mengerti tentang karma (perbuatan baik), tentang wikarma (perbuatan keliru), dan tentang akarma (tidak berbuat), karena dalam prakteknya, sangatlah sulit membedakan ketiganya.

Mengurbankan kerja dengan tujuan mendapatkan pahala, menyebabkan ornag terikat pada hukum karma, karena itu hai arjuna, bebaskan dirinu dari keterikatan akan pahala kerja, caranya , bekerjalah sebagai yadnya, bekerjalah dengan rasa iklas.(BG.III.9)

Maka itu, laksanakanlah kerja sebagai kewajiban tanpa keterikatan, sebab hanya dengan tidak terikat, dengan melaksanakan kewajiban secara iklas orang mencaoai kemuliaan.

Atharvaveda X. 53. 8. Menyebutkan bahwa:  Ketekunan semoga ada di tangan kanan dan kejayaan ada di tangan kiri. Semoga kami mendapatkan sapi-betina, kuda, kekayaan dan emas.

Sloka-sloka ini dapat dijadikan landasan mengambangkan budaya akademik dan budaya kerja. Akademik tempat menuntuk Jnana dan mengabdikannya, sedangkan kerja dengan ilmu yang didapatkan di perguruan tinggi akan menjadi bekal kita melakukan kerja menjalankan swadarma kita masing-masing. Menuntut ilmu merupakan suaru keharusan, sehingga masalah pendidikan menjadi perhatian yang begitu penting dalam undang-undang dasar 1945. Sangat mungkin ini karena pengaruh dari Budaya Hindu yang dianut oleh sebagian besar para pejuang kita yang menyusun Undang-Undang tersebut, walau mereka tidak beragama Hindu tetapi pengaruh Budaya Hindu sangat kentara dalam pandangan pandangan mereka.

Dengan menyadari akan hokum karma yang sejaland dengan nilai-nilai yang berkembang di Perguruan Tinggi, maka ajaraj-ajaran pokok Hindu akan sangat mendukung budaya akademik yang berkembang di lingkungan akademik, maupun buaya kerja yang perlu diketahui oleh para mahasiswa sebelum mereka terjaun kerja melakukan swadarma sesuai dengan jnana yang mereka tuntut di akademik.


di edit di Puri Gadibf,  Jimbaran
Oleh : I Putu Pudja
ipt_pudja@yahoo.com



[1] Schein, …..1992. lihat di kantor.
[2]  Umar Nirman>>>> p154
[3] Robbins ……p.

No comments:

Post a Comment