PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Monday, February 22, 2016

Perbincangan 48 : Soroh



“SOROH”


Om Swastiastu.

Dua Mempelai (google.com)
Dalam perbincangan ini akan kita bincangkan seperi biasa, secara ringan sebuah pertanyaan seorang taruni saat Guru memberikan Kuliah, terkait dengan perkawinan beda wangsa, beda warna atau beda ‘kasta’. Suatu masalah yang menjadi realita banyak dihadapi masyarakat umat Hindu.

Suatu pagi saat diskusi setelah membahas masalah umum dan persiapan untuk Ujian AKhir Smester, aku memberikan kesempatan bertanya kepada murid-muridku. Salah satu muridku taruni menanyakan yang menurut ku hal yang sangat sering masih terjadi di masyarakat Hindu, khususnya di Bali yang aku kenal lebih dibandingkan yang lain, karena aku bertumbuh disana.


Pertanyaannya, Guru saya mau bertanya hal yang lain apakah menurut saya perlu untuk diketahui terutama pendapat guru, tentang perkawinan antar ‘kasta’ atau antar wangsa. Paman saya kawin dengan seorang wanita keturunan Brahmana, akhirnya meninggal itu banyak yang meyakini karena pernikahannya.
Nah ini pertanyaan yang mudah tapi jawabannya susah, dan akan bisa sangat berbeda antara satu orang dengan orang lain yang kalian tanyai. Nah menurut Guru sendiri mempunyai pendapat seperti di bawah ini.

Pernikahan secara umum dapat kita katakana adalah sebuah ikatan, sebuah komeitmen untuk membangun rumah tangga antara pria dengan wanita, untuk membangun rumah tangga dan berkembang biak untuk mendapatkan keturunan. Intinga perkawinan adalah bersatunya dalam ikatan perkawinan pria dan wanita dewasa untuk membangun rumah tangga untuk mendapatkan keturunan.
Tuhanpun dalam salah satu ayat sloka pada weda mengatakan bahwa: “Kuciptakan engkau berpasangan, untuk berkembang biak dan mencapai kebahagian”.  Jadi Tuhan telah menciptakan manusia berpasangan, untuk berkembang biak dan mencapai kebahagiannya, tanpa embel embel wangsa, kasta dalam perkawinan.

Artinya ini kelahiran, jodoh dan kematian merupakan rahasia Nya, karena Tuhan ada sejak awal, akhir maupun pertengahan. Jadi jodoh dalam perkawinan tidak diatur karena kasta atau wangsa, sehingga kalau sudah jodoh tidak satupun akan mampu menghindarinya.

Nah demikian juga dengan saudara kalian yang menikah dengan wanita keturunan brahmana (Dayu atau Ida Ayu), seharusnya tidak dipermasalhkan, karena sangat mungkin mereka sudah berjodoh. Seharusnya keluarga kedua belah pihak harusnya mendukung keinginan mereka.

Namun….. kataku. Kalau kita percara dan yakin itu merupakan hal yang menjadi sandungan dalam pikiran bahwa hal itu keliru, atau salah. Maka semuanya seharusnya dapat dibicarakan oleh keluarga kedua belah pihak, apalagi kepada para Brahmana, merupakan tempat kita bertanya, tempat kita mencari kebenaran yang paling mudah terhadap hal-hal yang menyangkut upacara keagamaan.

Keraguan pihak keluarga sudah seharusnya ditebus dengan upacara. Upacara ini dapat ditanyakan langsung ke keluarga Brahmana yang menjadi besan, atau kepada kerabat beliau yang juga biasanya sebagai pendeta –baca pedanda- tetapi dari Griya lain. Bukankah dalam sebuah perkawinan, tidak hanya dua insan yang bersatu, namun kedua keluarha besar juga menjadi satu.

Karena kalau kalian yakin bahwa itu merupakan suatu kesalahan tindakan, seharusnya ada tindakan yang bisa dilakukan, yang bapak katakana sebagai ‘penebusan’ kesalahan yang dilakukan. Yang lebih tahu adalah para Bragmana itu, karena pada beliaulah tempat kita bertanya, tempat kita mencari pembenaran sebuah upacara yang harus dilakukan terkait dengan semua yadnya.

Siapa tahu upacara ini juga merupakan usaha rekonsiliasi kedua belah pihak keluarga, demikian pula sebagai acara rekonsiliasi antara kedua leluhur mempelai, serta permohonan keselamatan terhadap pilihan yang diambil dalam perkawinan sehingga memohon keselamatan dan kelanggengan serta mendapatkan keturunan. Intinya menjadi keluarga yang berbahagia, tanpa dihantui dengan rasa salah, dan bersatunya kedua keluarga besar mempelai.

Masalah ini dalam pengalaman Guru, lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi, yang tidak banyak di atur dalam pustaka suci Weda. Sehingga penyelesaiannyapun akan bersifat local, berbeda antara satu tempat dengan lainnya. Namun menurut guru semuanya itu merupakan upaya rekonsiliasi, pengakuan kesalahan –kalau itu diyakini sebagai suatu kesalahan- terhadap leluhur mempelai.

Interupsi guru, kata taruni tadi. Keluarga kami sebagai keluarga memperlai sudah membuat upacara khusus untuk hal itu saat mempelai lelaki meninggal. Jadi apa yang guru katakana itu sudah dilaksanakan saat ngaben almarhum. 

Oke, guru setuju dengan pendapat kamu. Itu berate keluarga mempelai laki, atau keluarga almarhum menganggap kematiannya sebagai akibat menikah beda kasta kan!. Sehingga membuatkan upakara dalam upacara pengabenannya yang berbeda atau ditambah dari biasanya. Itu adalah sebuah pengakuan kesalahan, suatu penebusan kesalaha.

Menurut guru agar, tidak menjadi sandungan dalam pikiran, karena hanya ada dalam pikiran mereka. Upacara Yadnya tersebut sebagai pengakuan kesalahan, sebagai acara rekonsiliasi di laksanakan saat pernikaahan, dicarikan atau ditanyakan kepada brahmana, apa yang harus dibuat, apa yang harus dilakukan sehingga pikiran sang mempelai bisa plong tanpa beban apapun.

Guru saksikan beberapa perkawinan beda’kasta’ tersebut Guru saksikan menjadi keluarga yang baik dan berbahagia. Demikian juga hubungan antara kedua keluarga besar masih berjalan baik sampai kedua belah pihak memiliki anak cucu dan seterusnya. Karena pada hakekatnya jodoh adalah rahasia Tuhan. Tidak perlu diperdebatkan sorohnya.

Masalah kematian paman saudari, sehairunya diterima dengan ikhlas sebagai suatu takdir rahasia Tuhan dalam kuasanya di pertengahan hidup, tidak dikaitkan karena perkawinannya dengan Dayu. Semoga istri dan anak-anak yang ditinggalkannya berbahagia. Mumpung belum terlambat alangkah baiknya keluarga mempelai yang ditinggalkan mencoba kembali rekonsiliasi dengan keluarga memperlai wanita saat sebelum menikah. Bukankah rekonsiliasi merupakan upaya perbaikan hubungan, yangs angat dimulaikan Tuhan.

Nah terkait dengan permasalahan ini menurut guru hanyalah permasalahan perasaan, masalah hati yang merasa bersalah. Seharusnya diselesaikan oleh kedua belah pihak keluarga besar yang terlibat, ditebus dengan sebuah upacara, atau tambahan upakara saat upacara pernikahan. Lebih baik ditanyakan langsung kepada keluarga pihak wanita, yang memang berwenang secara strata agama untuk memberikan pematut upacara dan upakara. Bahkan ikut diajak terlibat saat pelaksanaannnya, sehingga acara rekonsiliasi ini lebih cepat dan lebih nyata terjadi.

Kalau di masayarakat lain masalah perasaan ini juga diselesaikan dengan sebuah syarat. Ambil saja contoh seorang adik yang menikah terlebih dulu melangkahi kakaknya, maka untuk menjaga perasaan dan rekonsiliasi si adik akan menanyakan kepada kakaknya ‘sebagai pelangkah minta apa sebelum pernikahan adiknya’. Nah masalah yang dihadapi keluarga kalian tak bedanya dengan itu.

Ingat sekali lagi Tuhan sudah menciptakan manusia berpasang pasangan, untuk membangun rumah tangga dan berkembang bisak serta mencapai kebahagiaan. Sungguh mulia kita diciptakan Nya sebagai manusia, hendaknya jangan dinodai dengan perasaan sepeti yang sedang kita bahas ini. Kalaupun ada permasalahan segera selesaikan, bila perlu selesaikan dengan upakara, yang merupakan ciri khas Hindu dalam menyelesaikan masalah perasaan dan pikiran.

Om Canti, Canti, Canti semoga bermanfaat minimal sebagai pencerahan.

===
Puri Gading, Dekade terakhir Pebruari 2016

No comments:

Post a Comment