“SOROH”
Om Swastiastu.
Dua Mempelai (google.com) |
Suatu pagi saat diskusi setelah membahas masalah umum dan persiapan
untuk Ujian AKhir Smester, aku memberikan kesempatan bertanya kepada
murid-muridku. Salah satu muridku taruni menanyakan yang menurut ku hal yang
sangat sering masih terjadi di masyarakat Hindu, khususnya di Bali yang aku
kenal lebih dibandingkan yang lain, karena aku bertumbuh disana.
Pertanyaannya, Guru saya mau bertanya hal yang lain apakah
menurut saya perlu untuk diketahui terutama pendapat guru, tentang perkawinan
antar ‘kasta’ atau antar wangsa. Paman saya kawin dengan seorang wanita
keturunan Brahmana, akhirnya meninggal itu banyak yang meyakini karena
pernikahannya.
Nah ini pertanyaan yang mudah
tapi jawabannya susah, dan akan bisa sangat berbeda antara satu orang dengan
orang lain yang kalian tanyai. Nah menurut Guru sendiri mempunyai pendapat
seperti di bawah ini.
Pernikahan secara umum dapat kita
katakana adalah sebuah ikatan, sebuah komeitmen untuk membangun rumah tangga
antara pria dengan wanita, untuk membangun rumah tangga dan berkembang biak
untuk mendapatkan keturunan. Intinga perkawinan adalah bersatunya dalam ikatan
perkawinan pria dan wanita dewasa untuk membangun rumah tangga untuk
mendapatkan keturunan.
Tuhanpun dalam salah satu ayat
sloka pada weda mengatakan bahwa: “Kuciptakan engkau berpasangan, untuk
berkembang biak dan mencapai kebahagian”. Jadi Tuhan telah menciptakan manusia
berpasangan, untuk berkembang biak dan mencapai kebahagiannya, tanpa embel
embel wangsa, kasta dalam perkawinan.
Artinya ini kelahiran, jodoh dan
kematian merupakan rahasia Nya, karena Tuhan ada sejak awal, akhir maupun
pertengahan. Jadi jodoh dalam perkawinan tidak diatur karena kasta atau wangsa,
sehingga kalau sudah jodoh tidak satupun akan mampu menghindarinya.
Nah demikian juga dengan saudara
kalian yang menikah dengan wanita keturunan brahmana (Dayu atau Ida Ayu),
seharusnya tidak dipermasalhkan, karena sangat mungkin mereka sudah berjodoh.
Seharusnya keluarga kedua belah pihak harusnya mendukung keinginan mereka.
Namun….. kataku. Kalau kita
percara dan yakin itu merupakan hal yang menjadi sandungan dalam pikiran bahwa
hal itu keliru, atau salah. Maka semuanya seharusnya dapat dibicarakan oleh
keluarga kedua belah pihak, apalagi kepada para Brahmana, merupakan tempat kita
bertanya, tempat kita mencari kebenaran yang paling mudah terhadap hal-hal yang
menyangkut upacara keagamaan.
Keraguan pihak keluarga sudah
seharusnya ditebus dengan upacara. Upacara ini dapat ditanyakan langsung ke
keluarga Brahmana yang menjadi besan, atau kepada kerabat beliau yang juga
biasanya sebagai pendeta –baca pedanda- tetapi dari Griya lain. Bukankah dalam
sebuah perkawinan, tidak hanya dua insan yang bersatu, namun kedua keluarha
besar juga menjadi satu.
Karena kalau kalian yakin bahwa
itu merupakan suatu kesalahan tindakan, seharusnya ada tindakan yang bisa
dilakukan, yang bapak katakana sebagai ‘penebusan’ kesalahan yang dilakukan.
Yang lebih tahu adalah para Bragmana itu, karena pada beliaulah tempat kita
bertanya, tempat kita mencari pembenaran sebuah upacara yang harus dilakukan
terkait dengan semua yadnya.
Siapa tahu upacara ini juga
merupakan usaha rekonsiliasi kedua belah pihak keluarga, demikian pula sebagai
acara rekonsiliasi antara kedua leluhur mempelai, serta permohonan keselamatan
terhadap pilihan yang diambil dalam perkawinan sehingga memohon keselamatan dan
kelanggengan serta mendapatkan keturunan. Intinya menjadi keluarga yang
berbahagia, tanpa dihantui dengan rasa salah, dan bersatunya kedua keluarga
besar mempelai.
Masalah ini dalam pengalaman
Guru, lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi, yang tidak banyak di atur dalam pustaka
suci Weda. Sehingga penyelesaiannyapun akan bersifat local, berbeda antara satu
tempat dengan lainnya. Namun menurut guru semuanya itu merupakan upaya rekonsiliasi,
pengakuan kesalahan –kalau itu diyakini sebagai suatu kesalahan- terhadap leluhur
mempelai.
Interupsi guru, kata taruni tadi.
Keluarga kami sebagai keluarga memperlai
sudah membuat upacara khusus untuk hal itu saat mempelai lelaki meninggal. Jadi apa yang guru katakana itu sudah
dilaksanakan saat ngaben almarhum.
Oke, guru setuju dengan pendapat
kamu. Itu berate keluarga mempelai laki, atau keluarga almarhum menganggap
kematiannya sebagai akibat menikah beda kasta kan!. Sehingga membuatkan upakara
dalam upacara pengabenannya yang berbeda atau ditambah dari biasanya. Itu
adalah sebuah pengakuan kesalahan, suatu penebusan kesalaha.
Menurut guru agar, tidak menjadi
sandungan dalam pikiran, karena hanya ada dalam pikiran mereka. Upacara Yadnya
tersebut sebagai pengakuan kesalahan, sebagai acara rekonsiliasi di laksanakan
saat pernikaahan, dicarikan atau ditanyakan kepada brahmana, apa yang harus
dibuat, apa yang harus dilakukan sehingga pikiran sang mempelai bisa plong
tanpa beban apapun.
Guru saksikan beberapa perkawinan
beda’kasta’ tersebut Guru saksikan menjadi keluarga yang baik dan berbahagia.
Demikian juga hubungan antara kedua keluarga besar masih berjalan baik sampai
kedua belah pihak memiliki anak cucu dan seterusnya. Karena pada hakekatnya
jodoh adalah rahasia Tuhan. Tidak perlu diperdebatkan sorohnya.
Masalah kematian paman saudari,
sehairunya diterima dengan ikhlas sebagai suatu takdir rahasia Tuhan dalam
kuasanya di pertengahan hidup, tidak dikaitkan karena perkawinannya dengan
Dayu. Semoga istri dan anak-anak yang ditinggalkannya berbahagia. Mumpung belum
terlambat alangkah baiknya keluarga mempelai yang ditinggalkan mencoba kembali
rekonsiliasi dengan keluarga memperlai wanita saat sebelum menikah. Bukankah
rekonsiliasi merupakan upaya perbaikan hubungan, yangs angat dimulaikan Tuhan.
Nah terkait dengan permasalahan
ini menurut guru hanyalah permasalahan perasaan, masalah hati yang merasa
bersalah. Seharusnya diselesaikan oleh kedua belah pihak keluarga besar yang
terlibat, ditebus dengan sebuah upacara, atau tambahan upakara saat upacara
pernikahan. Lebih baik ditanyakan langsung kepada keluarga pihak wanita, yang
memang berwenang secara strata agama untuk memberikan pematut upacara dan
upakara. Bahkan ikut diajak terlibat saat pelaksanaannnya, sehingga acara
rekonsiliasi ini lebih cepat dan lebih nyata terjadi.
Kalau di masayarakat lain masalah
perasaan ini juga diselesaikan dengan sebuah syarat. Ambil saja contoh seorang
adik yang menikah terlebih dulu melangkahi kakaknya, maka untuk menjaga
perasaan dan rekonsiliasi si adik akan menanyakan kepada kakaknya ‘sebagai
pelangkah minta apa sebelum pernikahan adiknya’. Nah masalah yang dihadapi
keluarga kalian tak bedanya dengan itu.
Ingat sekali lagi Tuhan sudah
menciptakan manusia berpasang pasangan, untuk membangun rumah tangga dan
berkembang bisak serta mencapai kebahagiaan. Sungguh mulia kita diciptakan Nya sebagai
manusia, hendaknya jangan dinodai dengan perasaan sepeti yang sedang kita bahas
ini. Kalaupun ada permasalahan segera selesaikan, bila perlu selesaikan dengan
upakara, yang merupakan ciri khas Hindu dalam menyelesaikan masalah perasaan
dan pikiran.
Om Canti, Canti, Canti semoga bermanfaat
minimal sebagai pencerahan.
===
Puri Gading, Dekade terakhir Pebruari 2016
No comments:
Post a Comment