“MAKNA LEBIH GALUNGAN DALAM ERA KEKINIAN”
Oleh : I Putu Pudja.
![]() |
Add caption |
Galungan merupakan hari raya
agama Hindu teruatama di Bali atau di luar Bali dimana etnis Bali bermukin,
atau terdapat komunitas Hindu Bali. Secara harfiah Galungan terdiri dari kata
galung mendapat akhiran an. Galung dalam bahasa Sunda berarti perang, sehingga
galungan dapat diartikan sebagai peperangan. Dan dalam perluasan artinya
kemudaia berarti kemenangan dalam peperangan, perayaan kemenangan perang, atau
perayaan atas kemenangan perang antara dharama dengan adarma.
Perang disini sangat luas artinya
bisa perang memerangi nafsu sendiri, perang memerangi kekuasaan yang
bertentangan dengan darna, atau peperangan untuk mengentaskan adharma. Nah
pengartian tersebut diserahkan kepada umat untuk memngartikannya
masinmg-masing. Tetapi yang paling sering kita dengar adalah kemenangan
peperangan darma memerangi adarma. Dengan berbagai kisahnya.
Galungan merupakan perayaan
ibadah keagamaan yang sangat panjang rangkaiannya. Ada yang mengatakan rangkaiannya mulai dari
Tumpek Wariga –sabtu kliwon wuku wariga- yaitu 25 hari menjelang Galungan –rabu
kliwon wuku dungulan- atau tiga puluh lima hari menjelang Kuningan –sabtu kliwon
wuku Kuningan-. Tumpek waruga sering disebut sebagai tumpek pengarah, sebagai
pemberitahuan bahwa galungan akan segera tiba sehingga para umat mempersiapkan
diri. Ada juga yang mengatakan mulai dari sugihan, yaitu seminggu sebelum
galungan yang kita kenal dengan Sugihan Pengenten, Sebagai pengingat,
membanguni yang masih tidur, sebagai awal dari acar pembersihan lahir dan
bathin sebelum kita memasuku galungan.
Sugihan ada tiga jenis yang
dirayakan sevara berturutan, yaitu Sugihan Pengenten, Sugihan Jawa, dan Sugihan
Bali. Harinya secara berturutan Rabu Sungsang, sebagai sugihan Pengenten; Kamis
Sungsang , sebagai Sugihan Jawa, dan Jumat Sungsang sebagai Sugihan Bali. Yang
sevcara berturutan dimaknai dengan arti pengenten atau pembangun kala masih
tidur, jawa diartikan Jaba sebagai pembersihan bagian luar dari hidup ini, dari
diri ataau dari tempat ibadah; kemudian Sugihan Bali, sebagai waktu untuk
pembersihan sarana atau bagian dalam dari diri, dari buana, atau dari tempat
ibadah. Dan maknanya juga bisa diambil dari makna yang sempit sampai yang sangat
luas.
Kemudaian perayaan inti dari
Galungan penulis ambil empat saka yaitu pengejukan, penampahan , galungan dan
manis galungan, kemudaian sepuluh hari setelah galungan dirayakan sebagai
Kuningan. Juga dibuat rangkaian sama dengan halungan, ada pengejukan,
penampaham, Kuningan dan umanis Kuningan.
Dari demikian rincinya perayaan
Galungan, dapat dilihat bahwa betapa besarnya perayaan Galungan sehingga perlu
disusun rangkaian kegiatan yang berlangsung lebih dari 35 hari itu. Yang
menadakan bahwa betapa sudah baiknya penyusunan sebuah perayaan ibadah
keagamaan dilakukan, dibuat rangkaiannya sehingga satu sama lainnya mempunyai
makna yang saling berkaitan dan sailing melengkapi.
Demikian pula dengan betapa
baiknyua pembagian pekerjaan pelaksanaan ibadah. Untuk merayakan sugihan
misalnya sudah ada keluarhga yang merayakan sugihan pengenten, atau sugihan
jawa. Ataupun sugihan bali, sengan tidak membedakan maknanya. Mereka tidak ada
satupun merasa lebih dari yang lainnya, sehingga pembagian disini terlihat sangat
demokratis. Ada juga yang memaknai Sugijhan dikaitkan dengan kelompok asli dan
pendatang yang ada di Bali. Tetapi ada yang memaknainya dengan asal dari
perlengkapan untuk merayakan sugihan tersebit. Nah sama seperti masalah
keagamaan lainnya dibiarkan menjadi multi tapsir, yang semua muaranya kepada
ibadah dan kebaikan.
Dalam konteks yang lebih luas di
dalam masyarakat Hindu –baca masyarakat Bali- hingga tahun tujuh puluhan, masih
dikenal ada Galungan Jawa, untuk menyederhanakan menyebutkan Idulk Fitri,
mungkin merujuk sebagian besar pemeluk agama Islam adalah masyarakat pendatang
di Bali, yang oleh masyarakat Bali disederhanakan semuanya dari Jawa, sehingga
Hari rayanya dengan mudah mereka sebutkan sebagai Galungan Jawa.
Kemudaian untuk perayaan Imlek,
oleh masyarakat Bali dikenal dengan nama Galungan Cina, karena yang
merayakannya umumnya masyarakat etnis Cina. Meraka biasanya dikenalai dengan
kuburan para leluhurnya yang sangat luas, ada rumah-rumahan sehingga saat
perayaan Imlek mudah dikenali dari awal sejak mereka melakukan pembersihan di
kuburan leluhurnya, sampai adanya persembahyangan kubur. Di beberapa kuburan
atau pemakaman umum di Bali masih ada disebiukan Seman Sengke – Kuburan Cina,
biasanya berada disalah satu sudut dis ebuah pemakaman umum.
Meluasnya masyarakat Bali
mengartikan galungan sebagai sebuah perayaan, sebuah ibadah menandakan bahwa
sejak dulu telah terjadi kerukunan antar umat sesama pemeluk Hindu, terlihat
dari adanya perayaan Sugihan sampai tiga hari berturutan, kerukunan antar umat
beragama terlihat dari pengetahuan dan saling menghormati perayaan hari raya
agama lain, walau penyebutannya disederhanakan. Mungkin agama itu sangat
fleksibel dalam penertiannya oleh masyarakat awam .
Kembali keperayaan Galungan yang
dianggap lebih lama dan lebih meriah dari perayaam hari suci keagamaan Hindu,
sudah pasti galungan akan menjadi ajang perputaran uang yang cukup besar di
sentra sentra komunitas Hindu dan umumnya di Bali. Itu dapat kita lihat dari
pakaian baru untuk perayaan, pembuatan penjor, pembuatan upakara perayaan,
sampai memotong hewan untuk kelengkapan upacara maupun untuk dimakan sebagai
arena pemanja diri setiap enam bulan sekali –tepatnya 210 hari sekali- dan
kebutuhan lainnya, menjadikan peredaran uang menjadi lebih deras dan lebih
banyak saat Galungan, sehingga Galungan merupakan periode gejolak perekonomian.
Namun sejauh mana umat Hindu dan
masyarakat Bali umumnya dapat memanfaatkan momentum ini, mungkin akan lebih
baik kita bahas dalam perbincangan lainnya, dari sisi koemrsialisasi ibadah.
Galungan
dapat dimaknai dengan sudah teraturnya tatanan sebuah acara disusun dalam
peribadatan Hindu, yang dalam manajemen modern kita kenal dengan Standard
Operational and Procedure (SOP) dengan tidak menimbulkan gejolak dalam
masyarakat –Hindu- itu sendiri. Semua menjalankan sesuai dengan yang telah
digariskan sejak dulu. Galungan bermakna toleransid an kerukunan umat Hindu sudah
terbangun sejak lama dan tekah membudaya, demikian juga kerukunan dengan umat
beragama lainnya sudah terbangun sejak lama sampai saat ini, sehingga konsep ‘menyama
braya’ masih teguh dianut masyarakat Hindu. Mungkin keyakinan akan sebuah sloka
yang bermakna bahwa Tuhan tidak mebeda-bedakan dari mana kita datang, dengan
cara apa kita datang, termasuk kalaupun dengan cara salah kita pasti akan
diterima Nya. Yang membedakan adalah karma kita sendiri, atau level ibadah yang
telah kita jalankan sebagai kewajiban kita menjelma sebagai manusia. Selamat
Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Catatan penulis : setiap umat dapat memaknai
Galungan dan Kuningan dengan cara masing-masing disamping makana baku yang
tekah kita ketahui, akan sangat tergantung dari sudut pandang mana kita
melihatnya. Tetapi semuanya itu akan bermuara kepada kebajikan. Dari ekrangka
agama Himdu kita pandang sebagai Upacara sebagai imlementasi bhakti kita kepada
Tuhan yang Maha Esa. Ida sang Hyang Widi Wasa, sebagai pelaksanaan ketaqwaan
kita terhadap Nya.
Puri Gading, Galungan akhir tahun 2014.
No comments:
Post a Comment