TENTANG PEREMPUAN, HARI IBU DAN PERKAWINAN
Okeh : I Putu Pudja

Lukisan Seorang Ibu (google.co.id)
Kita memperingati Hari Ibu,
setiap tanggal 22 Desember setiap tahun. Peringatan ini mengingatkan kita
selalu kemasalah yang sama dan pertanyaan yang kurang lebih sama. Terutama untuk
kita di Indonesia khususnya umat beragama Hindu. Diantara pertanyaan itu adalah
: Ada hari ibu kok tidak ada hari bapak ya? ; Apakah di Indonesia klhususmya
dalam agama Hindu ada kesetaraan gender?. Apakah Hindu mengakui persamaan hak
perempuan dengan laki-laki.
Nah dalam memperingati Hari Ibu
2014, kami teringat dengan pertanyaan seorang taruna /uni kami dalam
perbincangan agama suatu malam di Rumah Dinas. Pondokan kami di Baintaro
beberapa tahun silam.
Inti pertanyaannya adalah hal
kontradiksi atau ambigu yang dianut umat Hindu karena adanya sloka yang saling
bertentangan dalam Hindu. KIra-kira kalau saya kalimatkan pertanyaannya adalah
sebagai berikut. Dalam beberapa hal Hindu sangat menghargai dan mengagungkan
wanita, termasuk dalam upacara keagamaan para Brahmana harus didampingi seorang
wanita, dia diharapkan melahirkan anak yang suputra, diagungkan dalam suatu
keluarga, namun kenapa juga dianggap makhluk yang susah dipercaya, kenapa
lelaki kelahirannya lebih diharapkan sebagai anak yang suputra? Begitu kira-kira
pertanyaannya, setelah ku rangkum menjadi satu kesatuan pertanyaan.
Nah memang, kataku dengan sedikit
berkelakar diawal. Kukatakan itulah mungkin pengaruh sifat manusia karena para
Rsi yang menyusun weda itu ke dalam buku lumumnya laki-laki, maka sifat egonya
mempengaruhi dalam penyusunan. Mungkin jawaban itu kelihatannya mengada ada dan
memudahkan masalah. Mari kita cermati beberapa sloka tersebut, yang saling
kontradiksi tentang masalah perempuan.
Dalam Weda Smreti IX-101-102. Kalau
diterjemahkan kira-kira menyatakan bahwa :
1. Hendaknya
hubungan –antara suami istri-yang setia berlangsung sampai mati. Singkatnya ini
harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami-isteri.
2. Hendaknya
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya
melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.
Dalam manu smreti disebutkan bahwa
: “Dimana wanita dihormati , disanalah para dewa merasa senang, tetapi dimana
mereka tidak (wanita) dihormati tidak ada upacara suci apapun yang berpahala”.
Kedua sloka di awal tersebut
mengajarkan bahwa lembaga perkawinan, suami istri berlangsung seumur hidup
sepanjang hayat. Antara suami isteri harus menjalin komunikasi yang baik dalam
mempertahankan kehidu[an rumah tangganya, dan selalu menghindari perceraian.
Dalam lembaga perkawinan juga diajarkan hendaknya terdapat kesetiaan antar
pasangan . Keseiaan dianggap sebagai hukum yang tertinggi.
Menurut Weda Smreti, lembaga
perkawinan memiliki sifat sakral, suci, karena bertugas untuk menghasilkan
keturunan. Dikaitkan dengan tugas suami isteri untuk mendidik dan membesarkan
anaknya maka lembaga perkawinan merupakan lembaga yang pertama membentuk
kepribadian manusia. Ini menunjukkan bahwa upacara perkawinan merupakan upacara
yang wajib, sebagai upanya menyatukan dua jiwa menjadi satu dalam lembaga perkawinan.
Kewajiban itu tertuang dalam Weda Smreti II.67 dan persembahan upacara
ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Ardha Nareswari.
Dalam Reg Weda. Disebutkan bahwa
:pasangan laki-laki dan perempuan yang telah terikat perkawinan disebutkan
sebagai “dampati” yang secara harfiah berarti ‘dem[et’ tak terpisahkan. Sehinga
lembaga perkawinan merupakan ikatan antara laki-dan peempuan yang tak
terpisahkan, tak tercerai. Antara Reg Weda dan Weda Smrti, keduanya sangat
sejalan dalam memandang lembaga perkawinan. Sebagai lembaga suci yang merupakan
awal pembentukan kepribadian manusia.’
Sloka ketiga menyebutkan bahwa
betapa tingginya dilai seorang wanita, sehingga diibaratkan ‘dia’ seperti
dewa/dewi yang kala dicampakkan atau tidak dihormati, akan berdampak akan
membatalkan dan menyetop pahala segala upacara persembahan.
Namun sloka-sloka dalam Sarasamuscaya yang membahas tentang
wanita, sangat berbeda pandangannya terhadap wanita. Ini sangat mungkin karena
pengaruh raja-raja Jawa saat menterjemahkannya atau kekhawatiran penerjemahnya
terhadap raja yang umumnya lelaki dan beberapa diantaranya ada yang beristri
lebih dari satu, terutama selir-selirnya yang banyak. Diantara sloka tersebut
aku kutipkan sebagai berikut :
Sifat wanitalah yang
menimbulkan bencana kepada orang, penderitaan dan prihatin yang ditimbulkan
serta membatalkan segala kerja sadarlah pandita akan hal itu, karenanya selalu
berusaha menjauhi wanita.
Dalam kakawin Niti Sastra,
sebagai berikut bahwa :
Ketahuilah di dalam dunia
ini ada tiga hal yang jalannya tidak lurus yaitu : wanita, akar dan
sungai.Semua berkelak kelok jalannya tidak dapat diluruskan. Jika sudaj ada
bunga kumudha yang tumbuh di batu barulah prilaku wanita bisa benar. Pendeknya,
pesanku awaslah engkau jika bergaul dengan wanita hai orang yang baik-baik.
Demikian pula kalau melihat
tujuan dari perkawinan yang dikatakan agar melahirkan keturunan suputra, yang
berarti keturunan yang dapat menyeberangkan pada leluhur yang berada di kolam
neraka. Suputra disini dipesetkan sebagai anak laki-laki, Padahal kalau kita
lihat lebih jauh sebenarnya adalah keturunan yang suputra, suputra bukan jenis
kemain akan tetapi lebih kepada sifat yang suoutra yang doa doanya akan mampu
menyeberangkan keluar para leluhur yang
berada pada kolam neraka, Secara lebih luas dapat kita artikan sufat berjaga
jaga para leluhur kita, kalau-kalau mereka masuk neraka ada doa-doa dari
keturunannya yang bersifat suputra, yang membantu dengan doa mengeluarkannya
dari neraka.
Nah kuceritakan kala itu kepada
muridku para taruna taruni bahwa kita harus bisa pandai pandai dalam menyikapi sloka yang saling bertentangan
itu. Banyak pakar Hindu curiga dengan adanya sesuatu yang kurang tepat dalam
menerjemahkan Sarasamuscaya itu, yang prosesnya dari Bahasa aslinya Sansekerta
deterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno, kemudian diterjemahkan kembali ke
dalam Bahasa Indonesia. Nah ini juga menjadi rugas kalian dalam mengembangkan
agama kita secara dinamis, sesuai dengan perkembangan jaman, terutama
menafsirkan weda terutama dari Weda Sruti.
Dari uraian diatas dapat kita katakana
bahwa Hindu sejatinya sangat menempatkan wanita begitu tinggi, sehingga pantang
untuk dihina atau direndahkan derajatnya dalam keluarha sekalipun. Karena akan
berdampak kepada ‘kemarahan’ kepada keluarga tersebut sampai sampai membatalkan
pahala semua upacara yang dilakukan keluarga itu.
Masalah penapsiran Sarasamuscaya
terutama dalam sloka yang membahas masalah wanita, memang perlu dikaji ulang,
kembali para pakar agama dan bahas untuk menerjemahkan langsung dari bahasa
aslinya kedalam Bahasa Indonesia. Karena penerjemah memeiliki kode etik maka
tekanan dari manapun dalam menerjemahkan akan tidaj daoat dilakukan, sepertis
diduga terjadi saat menerjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno.
Kuceritakan pula dengan kiasan
kenapa wanita dikatakan berbelok belok, lebih banyak karena kodratnya yang
mengalami menstruasi dan kewanitaan lainnya sehingga tidak dapak ikut
melaksanakan upacata atau persembahyangan layaknya lpandita laki-laki, atau
kaum laki laki. Sehingga tidak setiap saat dapat mendampingi dalam memuput
upacara yang memerlukannya. Bahkan banyak dari mereka menipu dirinya sendiri,
padahal belum bersih benar sudah kermas dan ikut melaksanakan upacara. Padahal
hal itu akan menurunkan kualitas upacara yang dilakukan dalam kesuciannya. Nah
aku kembalikan kepada masing masing kita untuk memaknainya.
Yang lebih penting lagi makna
dari sloka diatas bahwa dalam Hindu perceraian tidak diharapkan, upaya
melestarikan lembaga perkawinan memerlukan maintenan, komitmen dan tugas serta
kewajiban suami dan istri. Jadi perlu peran kedua belah pihak.
Wanita sangat dihormati dalam
Hindu. Mungkin yang paling baru kita ikuti kisah Mahabarata yang sedang tayang
di salah satu televise nasional, kehancuran keluarga bharata diantaranya diakibatkan tidak dihormatinya wanita dalam
keluarga besar tersebut. Bagaimana Dewi Drupadi dipermalukan dijadikan taruhan
dalam arena judi.
Begitulah aku angkat kembali
perbincangan yang pernah aku lakukan dengan murid-muridku dalam membahas secara
akademis sloka sloka terkait dengan masalah wanita. Yang kupersembahkan kembali
untuk para ibu dan wanita yang sedang merayakan hari ibu. Rahayu ………
Puri Gading, 22 Desember 2014
Mantap artikelnya,membuka pikiran yg terbelenggu tentang wanita,dan saya sempat bingung meng artikan wanita dari sarasamuscaya..
ReplyDeleteMantap artikelnya,membuka pikiran yg terbelenggu tentang wanita,dan saya sempat bingung meng artikan wanita dari sarasamuscaya..
ReplyDelete