PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Monday, June 23, 2014

Perbincangan 16: :Sedikit Tentang Susila


“SUSILA. ETIKA JEMBATAN MORALITAS”

I Putu Pudja

Add caption
Dalam kerangka Agama Hindu diketahui taiga pilar, yaitu Tatwa, Susila dan Upacara. Tatwa sebagai filosopi dari agama; Susila dapat diartikan sebagai perilaku yang baik yang menjadi pedoman kita berperilaku untuk membangun moral umat; dan Upacara sebagai salah satu implementasi dari pelaksanaan kewajiban agama.
Dalam perbincangan ini kita akan mencoba membahas masalah “susila”, karena ia merupakan nilai, etika yang menjadi pedoman kita dalam berperilaku menuju tingkatan moral yang lebih tingg, yang tentu saja sesuai dengan ajaran darma.
Terkait dengan masalah susila, aku teringat pertanyaan seorang taruna yang menanyakan kepadaku.  “Guru dikaitkan dengan susila bukankan Tuhan tidak melarang umatnya untuk berperilaku tidak baik, dan menyuruh umatnya selalu berperilaku baik?” katanya.

 
Seperti biasa seorang taruni lainnya mngeinterupsi pertanyaan tersebut, kalau menurut ku mencoba menjawabnya. Silahkan Luh kataku. Ia mengatakan bahwa “Tuhan Hanya memberikan pedoman saja, memberikan kepada kita mana yang baik dan mana yang buruk. Memang tidak pernah memaksa untuk melakukan atau melarang untuk melakukannya, hanya kita sebagai mahluk yang diberikannya akal budi yang seharusnya berkewajiban untuk memilihnya. Bukakkah kita percaya dengan Hukum Karma”. Katanya.
Ya memang manusia itu diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan, berkembang biak dan mencapai kebahagiannya sendiri. Berpasang-pasangan disini dapat kita arikan setara, atau bias kita artikan sebagai rwa bineda, yaitu dua hal saling berbeda namun saling melengkapi satu sama lain. Makanya kita diperkenankan untuk menumpuk arta, agar kita bisa melakukan kewajiban kita, dapat melengkapi kekurangan orang lain, dapat membantu orang lain, walau yang pokok memang untuk memenuhi kebutuhan sendiri, untuk melakukan kewajiban, maupun untuk membantu orang lain.
Kita diberkahi hidup berpasangan agar hidup kita seimbang dan dapat berkembang biak, ‘menikmati’ kama, yaitu kenikmatan agar hidup kita termotivasi untuk mencapainya, untuk mendapatkannya, sehingga sebagai manusia hidup dengan semangat, dengan motivasi, tepatnya mempunyai visi hidup, yaitu mokhsa. Dikaitkan dengan mokhsa serta susila ini maka semua yang kita lakukan sesuai dengan ajaran dharma.
Jadi hidup kita seimbang untuk maju menuju masa depan yang lebih baik, menuju moksa, dengan mokhsartam jagathita ya caiti dharma. Ya berbahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. Nah bagaimana dengan benturan benturan yang kita hadapi karena kita merupakan mahluk social, maupun mahluk individu.
“Dalam kaitan individu dan social itu berarti kita harus berpedoman pada Tat Twam Asi Guru”, kata seorang muridku menginterupsi. Ya benar jawabku kita harus menerapkan prinsipTat Twam Asi, yang berarti Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu. Semua mahluk adalah engkau, brahman atman  aikyam, tuhan dan atman itu adalah tunggal. Secara lebih luas dapat kira pinjam motto teman-teman kita di timur “Kitorang Samua Basudara”. Menyakiti orang lain, menyakiti mahlulk lain tak ubahnya kita menyakiti diri sendiri. Untuk hal ini anak-anakku harus mempunyai kebijaksanaan yang tinggi, toleransi yang tinggi, dan perlu pembelajaran yang lama agar engkau sampai dititik itu.
Agar hidup ini setimbang kita juga perlu memehami ada perbedaan yang saling menyempurnakan, dan bukan untuk dipertentangan tentang mahluk. Kata orang bijak kita melepasa sunset di pantai Kuta, namun rekan-rekan kita di belahan lain bumi kita di Amerika akan menyongsong fajar. Sungguh sempurna Tuhan menciptakan perbedaan itu. Kalau tidak ada yang jahat, maka kitapun akan tidak tahu dengan yang tidak jahat. Kalau kita tidak mengenal kebodohan, maka kita tidak akan mempu mengentaskannya menuju kepandaian.
Nah selalu ada dua pilihan kalau kita lihat dari benar salah, baik buruk, jahat tidak jahat. Tuhan memberikan kepada kita jalan mana yang akan kita tempuh. Ya tentu sangat akan tergantung kondisi dan situasinya, atau desa-kala-patra. Orang yang berbuat jahat pasti mengetahui bahwa pekerjaannya tidak baik, namun dengan segala keterpaksaan dan dengan segaka risikonya dia lakukan. MUngkin karena berbagai factor. Jadi janganlah hanya bisa menyalahkan mereka yang melenceng dari pedoman dan etika kita, yang melenceng dari ajaran dharma, Ajak mereka kembali, jangan divonis tanpa memahami kenapa mereka mengetakan demikian.
Bukankah dalam weda, maupun ditekankan dalam Bagawadgitta manusia memiliki dua sifat yaitu Daiwi sampat dan Asuri sampat. Daiwi sampat adalah sifat-sifat kedewataan yang dimiliki manusia, dan Asuri sampat adalah sifat-sifat keraksasaan. Tergantung manusianya sendiri yang mengembangkan, kalau daiwi yang mereka kembangkan maka jadilah ia sebagai manusia dengan sifat kedewataan, namun kalau Asuri Sampat yang dikembangkan maka dia akan menjadi manusia dengan sifat-sifat keraksasaan. Jadi pilihan ada pada masing-masing. Tuhan dengan tegas tidak pernah mengatakan ini dilarang itu dianjurkan, Tuhan sangat arif dan bijaksana menyerahkan kepada manusia sendiri untuk memilihnya. Tentu dia sudah tahu risiko pilihannya.
Dikaitkan dengan manajemen kehidupan, atau praktik kehidupan maka dasar susila yang mendasar lainnya adalah Tri Kaya Parisudha. Kita sering tidak sadar telah melakukan kegiatan berfikir, berkata dan berbuat sesuatu yang menyinggung orang lain, walau dalam Tri Kaya Parisuda telah kita ketahui bahwa kita harus memiliki pikiran yang baik dan benar, berkata dengan baik dan benar, dan berbuat dengan baik yang benar. Sebagai pedoman dalam menerapkan Tri Kaya Parisuda ini sangat banyak kita kenal banyak perilaku yang baik yang patut kita lakukan dan prilaku yang tidak baik yang patut dihindari. Diantaranya adalah Sad Ripu, Sad Atatayi, Mo Limo dalam kearifan local. Dan lain sebagainya.
Demikian anakku semua ajaran dharma dapat kita implementasikan sebagai dasar susila, menjadi nilai-nilai dan etika yang menjadi pedoman prilaku kita menuju moralitas yang lebih baik. Untuk kali ini Guru hanya membahas Tat Twam Asi, Rwa Bhineda, dan Trikaya Parisuda.
“Interupsi Guru”, muridku Bambang menginterupsi. “Bukankan itu satu-dua-tiga Guru”. Oh iya sengaja guru bahas hal yang terkait dengan satu, dua tiga. Satu adalah Tat Twam Asi, yang mengatakan bahwa “Kitorang Samua Basudara, dalam weda disebutkan Brahman atman aikyam, sehingga sudah sepatutnya kita tidak menyakiti satu sama lainnya, termasuk terhadap mahluk lain”. Kedua yaitu Rwa Bhineda, dengan menyadari bahwa ada dua hal yang saling berbeda diciptakan Tuhan untuk suatu keseimbangan, antara siang dan malam, baik dan buruk, etis dan tidak etis sehinga kita lebih arif untuk memilihnya, bahkan dikatakan bahwa setiap orang memiliki kedua sisi itu, tergantung yang mana akan kita tonjolkan, itu diserahkan pilihannya kepada kita. Dan yang ketiga kita perlu menyelaraskan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan kita menuju hal yang baik dan benar.
Menyadari ketidak sempurnaannya manusia, maka pada setiap tri sandya kita akan terus memohonkan maaf dan ampunan  atas pikiran, perkataan dan perbuatan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Om Kesantawiya Kayika Dosah, Kesantawiya Wacika Mama, Kesantawiya Manasa Dosa, Tat Pramadat Kesama swamam,
Jadi apa yang Bambang kemukakan itu ada benarnya. Yang jelas kita hiduplah dalam keseimbangan, sesame mahlaku, keseimbangan dengan orang yang tidak sependapat, serta menyelaraskan pikiran, perkataan dan prilaku kita sehingga menjadi perilaku yang baik dan benar.
Semoga bahasa minim tentang susila ini dapat menjadi sedikit diantara pedoman kita meningkatkan moralitas kita. OM Canti canti canti Om.
Menyongsong Fajar di Bukit Jimbaran, Juni 2014

1 comment: