“SUSILA. ETIKA JEMBATAN MORALITAS”
I Putu Pudja
Add caption |
Dalam perbincangan ini kita akan
mencoba membahas masalah “susila”, karena ia merupakan nilai, etika yang
menjadi pedoman kita dalam berperilaku menuju tingkatan moral yang lebih tingg,
yang tentu saja sesuai dengan ajaran darma.
Terkait dengan masalah susila,
aku teringat pertanyaan seorang taruna yang menanyakan kepadaku. “Guru dikaitkan dengan susila bukankan Tuhan
tidak melarang umatnya untuk berperilaku tidak baik, dan menyuruh umatnya selalu
berperilaku baik?” katanya.
Seperti biasa seorang taruni
lainnya mngeinterupsi pertanyaan tersebut, kalau menurut ku mencoba
menjawabnya. Silahkan Luh kataku. Ia mengatakan bahwa “Tuhan Hanya memberikan
pedoman saja, memberikan kepada kita mana yang baik dan mana yang buruk. Memang
tidak pernah memaksa untuk melakukan atau melarang untuk melakukannya, hanya
kita sebagai mahluk yang diberikannya akal budi yang seharusnya berkewajiban
untuk memilihnya. Bukakkah kita percaya dengan Hukum Karma”. Katanya.
Ya memang manusia itu diciptakan
untuk hidup berpasang-pasangan, berkembang biak dan mencapai kebahagiannya
sendiri. Berpasang-pasangan disini dapat kita arikan setara, atau bias kita
artikan sebagai rwa bineda, yaitu dua hal saling berbeda namun saling melengkapi
satu sama lain. Makanya kita diperkenankan untuk menumpuk arta, agar kita bisa
melakukan kewajiban kita, dapat melengkapi kekurangan orang lain, dapat
membantu orang lain, walau yang pokok memang untuk memenuhi kebutuhan sendiri,
untuk melakukan kewajiban, maupun untuk membantu orang lain.
Kita diberkahi hidup berpasangan
agar hidup kita seimbang dan dapat berkembang biak, ‘menikmati’ kama, yaitu
kenikmatan agar hidup kita termotivasi untuk mencapainya, untuk mendapatkannya,
sehingga sebagai manusia hidup dengan semangat, dengan motivasi, tepatnya
mempunyai visi hidup, yaitu mokhsa. Dikaitkan dengan mokhsa serta susila ini
maka semua yang kita lakukan sesuai dengan ajaran dharma.
Jadi hidup kita seimbang untuk
maju menuju masa depan yang lebih baik, menuju moksa, dengan mokhsartam
jagathita ya caiti dharma. Ya berbahagia dan sejahtera di dunia maupun di
akhirat. Nah bagaimana dengan benturan benturan yang kita hadapi karena kita
merupakan mahluk social, maupun mahluk individu.
“Dalam kaitan individu dan social
itu berarti kita harus berpedoman pada Tat Twam Asi Guru”, kata seorang muridku
menginterupsi. Ya benar jawabku kita harus menerapkan prinsipTat Twam Asi, yang
berarti Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu. Semua mahluk adalah engkau, brahman
atman aikyam, tuhan dan atman itu adalah
tunggal. Secara lebih luas dapat kira pinjam motto teman-teman kita di timur “Kitorang
Samua Basudara”. Menyakiti orang lain, menyakiti mahlulk lain tak ubahnya kita
menyakiti diri sendiri. Untuk hal ini anak-anakku harus mempunyai kebijaksanaan
yang tinggi, toleransi yang tinggi, dan perlu pembelajaran yang lama agar
engkau sampai dititik itu.
Agar hidup ini setimbang kita
juga perlu memehami ada perbedaan yang saling menyempurnakan, dan bukan untuk
dipertentangan tentang mahluk. Kata orang bijak kita melepasa sunset di pantai
Kuta, namun rekan-rekan kita di belahan lain bumi kita di Amerika akan
menyongsong fajar. Sungguh sempurna Tuhan menciptakan perbedaan itu. Kalau
tidak ada yang jahat, maka kitapun akan tidak tahu dengan yang tidak jahat.
Kalau kita tidak mengenal kebodohan, maka kita tidak akan mempu mengentaskannya
menuju kepandaian.
Nah selalu ada dua pilihan kalau
kita lihat dari benar salah, baik buruk, jahat tidak jahat. Tuhan memberikan
kepada kita jalan mana yang akan kita tempuh. Ya tentu sangat akan tergantung
kondisi dan situasinya, atau desa-kala-patra. Orang yang berbuat jahat pasti
mengetahui bahwa pekerjaannya tidak baik, namun dengan segala keterpaksaan dan
dengan segaka risikonya dia lakukan. MUngkin karena berbagai factor. Jadi
janganlah hanya bisa menyalahkan mereka yang melenceng dari pedoman dan etika
kita, yang melenceng dari ajaran dharma, Ajak mereka kembali, jangan divonis
tanpa memahami kenapa mereka mengetakan demikian.
Bukankah dalam weda, maupun
ditekankan dalam Bagawadgitta manusia memiliki dua sifat yaitu Daiwi sampat dan
Asuri sampat. Daiwi sampat adalah sifat-sifat kedewataan yang dimiliki manusia,
dan Asuri sampat adalah sifat-sifat keraksasaan. Tergantung manusianya sendiri
yang mengembangkan, kalau daiwi yang mereka kembangkan maka jadilah ia sebagai
manusia dengan sifat kedewataan, namun kalau Asuri Sampat yang dikembangkan
maka dia akan menjadi manusia dengan sifat-sifat keraksasaan. Jadi pilihan ada
pada masing-masing. Tuhan dengan tegas tidak pernah mengatakan ini dilarang itu
dianjurkan, Tuhan sangat arif dan bijaksana menyerahkan kepada manusia sendiri
untuk memilihnya. Tentu dia sudah tahu risiko pilihannya.
Dikaitkan dengan manajemen
kehidupan, atau praktik kehidupan maka dasar susila yang mendasar lainnya
adalah Tri Kaya Parisudha. Kita sering tidak sadar telah melakukan kegiatan
berfikir, berkata dan berbuat sesuatu yang menyinggung orang lain, walau dalam
Tri Kaya Parisuda telah kita ketahui bahwa kita harus memiliki pikiran yang
baik dan benar, berkata dengan baik dan benar, dan berbuat dengan baik yang
benar. Sebagai pedoman dalam menerapkan Tri Kaya Parisuda ini sangat banyak
kita kenal banyak perilaku yang baik yang patut kita lakukan dan prilaku yang
tidak baik yang patut dihindari. Diantaranya adalah Sad Ripu, Sad Atatayi, Mo
Limo dalam kearifan local. Dan lain sebagainya.
Demikian anakku semua ajaran
dharma dapat kita implementasikan sebagai dasar susila, menjadi nilai-nilai dan
etika yang menjadi pedoman prilaku kita menuju moralitas yang lebih baik. Untuk
kali ini Guru hanya membahas Tat Twam Asi, Rwa Bhineda, dan Trikaya Parisuda.
“Interupsi Guru”, muridku Bambang
menginterupsi. “Bukankan itu satu-dua-tiga Guru”. Oh iya sengaja guru bahas hal
yang terkait dengan satu, dua tiga. Satu adalah Tat Twam Asi, yang mengatakan
bahwa “Kitorang Samua Basudara, dalam weda disebutkan Brahman atman aikyam,
sehingga sudah sepatutnya kita tidak menyakiti satu sama lainnya, termasuk
terhadap mahluk lain”. Kedua yaitu Rwa Bhineda, dengan menyadari bahwa ada dua
hal yang saling berbeda diciptakan Tuhan untuk suatu keseimbangan, antara siang
dan malam, baik dan buruk, etis dan tidak etis sehinga kita lebih arif untuk
memilihnya, bahkan dikatakan bahwa setiap orang memiliki kedua sisi itu,
tergantung yang mana akan kita tonjolkan, itu diserahkan pilihannya kepada
kita. Dan yang ketiga kita perlu menyelaraskan antara pikiran, perkataan, dan
perbuatan kita menuju hal yang baik dan benar.
Menyadari ketidak sempurnaannya
manusia, maka pada setiap tri sandya kita akan terus memohonkan maaf dan
ampunan atas pikiran, perkataan dan
perbuatan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Om Kesantawiya Kayika Dosah,
Kesantawiya Wacika Mama, Kesantawiya Manasa Dosa, Tat Pramadat Kesama swamam,
Jadi apa yang Bambang kemukakan
itu ada benarnya. Yang jelas kita hiduplah dalam keseimbangan, sesame mahlaku,
keseimbangan dengan orang yang tidak sependapat, serta menyelaraskan pikiran,
perkataan dan prilaku kita sehingga menjadi perilaku yang baik dan benar.
Semoga
bahasa minim tentang susila ini dapat menjadi sedikit diantara pedoman kita meningkatkan
moralitas kita. OM Canti canti canti Om.
Menyongsong Fajar di Bukit
Jimbaran, Juni 2014
Tentang Susila Dikit. Etika jembatan menuju moralitas
ReplyDelete