PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Thursday, January 9, 2014

Perbincangan-1

PERCAKAPAN SEORANG GURU DENGAN MURIDNYA

Kebetulan tempat tinggalku, tidak jauh dari kampus, demiian pula tidak jauh dari kos anak-anak muridku. Meraka, malam-malam sering berkumpul di rumahku, kebetulan aku tinggal hanya berdua di sama, karena anak gadisku dan istriku lebih suka tinggal di Bali, karena trauma kesehatannya yang kurang baik saat pindah dari Papua, beberapa tahun yang lalu.



Suatu malam percakapan yang kuanggap menarik muncul dalam diskusi agama. Seperti sudah kubilang kepada mereka bahwa pendidikan agamaku mungkin tidak sehebat mereka, karena dapat dikatakan baru sejak SMP dapat pendidikan agama, itupun gurunya yang mengajar di beberpa sekolah, lebih banyak tak hadir dari hadirnya.

Beberapa butir percakapan akan ku sampaikan kali ini untuk dijadikan bahan diskusi, karena memang aku bukan berkompetensi dalam pendidikan agama, hanya suka beli dan baca buku agama, dan di 'todong' untuk mengajar agama di almamaterku.

Murid : Pak, ada pertanyaan yang tak bisa kujawab dari teman-teman umat lain, yang menanyakan bahwa, apa keluarga yang meninggal tidak kasihan jenasah keluarga yang meninggal disiksa dibakar saat di aben?. Kata mereka apa kita tak sayang kepada mereka yang meninggal, kok sudah meninggal disiksa harus dibakar segala katnya.

Beberapa temannya memberikan jawaban, bahwa itu kan sudah menjadi Yadnya, yaitu Pitra Yadnya, agar arwah atau rohnya dapat segera kembali ke asalnya, Tuhan Yang Maha Esa. Zat-zat panca maha butta pembentuk tubuhnya kembali ke asalnya. Jadi ngaben merupakan proses percepatan kembalinya zat-zat pembentuk jasad itu keasalnya. atau segera terurai kemasing masing asal zatnya.

Boleh kataku filosofi ngaben memang demikian, terus mungkin ada komentar lainmya, tanyaku/

Murid lainnya mengatakan bahwa yang kita bakar kan hanya jasadnya dan rokhnya telah meninggalkan jasadnya itu. Sehingga tidak ada apapun yang dirasakannya lagi. Jadi tidak perlu disana ada rasa kasiah katanya.Jadi kita tidak usah merasa bersalah menyakiti keluarga yang diaben,

Iawaban ini juga benar, mungkin ada lagi komentar dari lainnya, silahkan.

Seorang murid mengacungkan tangannya memberikan komentar: bahwa ngaben itu merupakan wawasan futuristik masalah lahan dan lingkungan. Jasad yang dibakar setelah meninggal dunia dalam upacara ngaben akan mengurangi kebutuhan kita akan lahan kuburan, dan memperepat proses penghancuran pembentuk jasad itu.

Ok jawaban ini juga benar. Dan coba Bapak rangkumkan apa yang telah kalian sampaikan dalam komentar tersebut ;
  1. Secara filosofi, ngaben adalah sebuah Yadnya, yaitu Pitra Yadnya, sebagai korban suci terhadap almarhum -keluarga- yang meninggal, mengembalikan zat pembentuk tubuhnya agar segera kembali menyatu dengan zat aslinya yaitu unsur-unsur pancamaha buta.  Dalam upacara ini juga merupakan kesempatan kita untuk memaafkan segala kesalahan almarhum, baik dengan keluarga, maupun memintakan maaf kepada handai tolan yang hadir sekiranya ada kesalahan almarhum, serta yang tak kalah pentingnya adalah memohonkan secara berjamaah ampunan dosa-dosa almarhum kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walau dalam Hindu dosa itu tanggung jawab personal.
  2. Secara  siksa menyiksa almarhum buka konteknua disini, karena yang kita bakar adalah jasadnya yang sudah ditinggal rokhnya, atmannya, sehingga almarhum tidak akan merasa disiksa. Ingat pepatah Bali. Singa ada Bangke milih Sema , Tak ada jenasah memilih kuburan. Karena urusan orang meninggal adalah urusan orang-orang sekitarnya yang masih hidup, terutama keluarganya. Disini lebih merupakan pertanggungjawaban dan kewajiban keluarga.
  3. Ditinjau dengan peningkatan harga dan kesulitan lahan, memang sejatinya Ngaben merupakan pemerelina/pengembalian jasad ke asalnya yang tidak membutuhkan lahan permanen, hanya butuh lahan tempat pembakaran, sehingga akhli warisnya tidak akan disibukkan dengan urusan sewa makam dikemudian hari, yang semakin mahal atau tak takut akan tergusur sebuah proyek. Proses pembakaran juga merupakan proses yang hanya sesaat menimbulkan polusi, sehingga upacara ngaben dari segi lingkungan dan lahan merupakan proses yang sudah berpandangan jauh, sifatnya futuristik yang dipikirkan para pendahulu kita sebagai umat Hindu.

 Silahkan resapi dulu kesimpulan itu, dan kita mendiskusikan masalah lain, kataku.

Seorang menanyakan .......... pertanyaan atau topik lainnya yang dibicarakan malam itu  kita bahas pada kesempatan yang lain. Silahkan poskan komentar anda ke kolom komentar atau bisa dikirimkan ke email : ipt_pudja@yahoo.com





No comments:

Post a Comment