SEKILAS
PANDANGAN HINDU TERHADAP WANITA”
I Putu Pudja
Dalam
kehidupan sehari hari kta di Indonesia masih sering membeda-bedakan anak,
antara anak laki-laki denanak perepempuan. Baik di Bali maupun pada suku-suku
lain di Indonesia, kesetaraan tersebut terlihat masih sangat timpang sampai
saat ini. Bahkan mereka rela berpisah demi mendapatkan seorang anak laki-lak,
yang mereka anggap sebagai penerus generasi keluarga.
Itu
tidak dapat di pisahkan dengan system patriarki yang berlaku di Indonesia,
kecuali di daerah Minangkabau, Sumatera Barat yang menganut system materiaat.
Sehingga sering timbul pertanyaan kepada generasi kita yang sudah banyak
merantau jenapa sih lebih mengutamakan anak laki laki dari pada anak perempuan.
Bahkan di beberapa desa adat di Bali kalau sebuah keluarga tidak mempunyai anak
laki-laki, semua warisannya akan turun kepada anak laki-laki keponakannya.
Bukan main, bagaimana ya anak-anak perempuan mereka melanjutkan kehidupannya
kalau semua waris turun kepada keponakan, apa mereka harus menggelandang. Perlu
adanya aturan yang lebih arif dalam hal ini. Jangan memakai kacamata kuda dalam
mengartikan sebuah awig-awig.
Padahal
kalau kita para laki-laki jujur, anak anak perempuan umumnya lebih perhatian
dengan keadaan orang tua. Terlihat dari sikap mereka yang lebih mudah panikan
saat ada sesuatu yang menimpa orang tua kita.
Mungkini
dalam hal ini, ketidak setaraan yang terjadi lebih banyak karena aturan adat,
yang lebih memihak laki-laki,. Beberapa pendapat mengatakan bahwa pada akhir
kehidupan kita doa seorang anak Putri
lah yang mengantarkan sang atman dalam perjalanannya menuju Brahman.
Anak putri lah yang mempunyai
peranan penting diakhir suatu kehidupan orang tua dan leluhur kita, untuk itu
jangan abaikan anak seorang Putri di kemudian hari sehingga jagalah saudara dan
teman Putri kita agar merasa tidak diabaikan di kehidupan ini.
Mungkin
karena hal ini jarang kita jumpai permasalahan yang membelit bila seorang
wanita Hindu hendak menikah dengan umat lain, tidak bila sebaliknya terjadi
bila wanita dari umat lain menikah dengan laki-laki Hindu, labih sering
menimbulkan permasalahan.
Mulailah
dari sekarang kita memuliakan orang tua, saudara-saudara baik laki maupun
perempuan dengan cara yang seimbang. Sama pentingnya umat Hindu harus mempunyai
keturunan suputra, yang akan memanjatkan doa, membantu perjalanan kita
menyeberangi alam baka, untuk menuju kebebasan.
PERAN WANITA
Dalam kehidupan ini wanita sangat besar perannya, dalam
mempertahankan generasi. Wanita berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu Svanittha,
di mana kata Sva artinya “sendiri” dan Nittha artinya “suci”. Jadi Svanittha
artinya “mensucikan sendiri” kemudian berkembang menjadi pengertian tentang
manusia yang berperan luas dalam Dharma atau “pengamal Dharma”.
Dari sini kemudian berkembang perkataan Sukla Svanittha yang
artinya “bibit” atau janin yang dikandung oleh manusia, yang hanya dapat
dilakukan secara kodrati oleh perempuan. Wanita sangat diperhatikan sebagai
penerus keturunan dan sekaligus “sarana” terwujudnya Punarbhava atau re-inkarnasi,
sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu.
Dalam kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa
yang menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Yudistira dari Pandawa
melawan Sakuni di pihak Korawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh
Dursasana di depan sidang. Karena
perlindungan Tuhan atau Dewa Dharma, Drupadi tetap tidak dapat ditelanjangi,
dan kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis.
Saat itu Drupadi sudah mengingatkan Dursasana, bahwa ia
wanita, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam
perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan Bima, dan Drupadi menebus kaul dengan
mencuci rambutnya dengan darah Dursasana.
Dalam keyakinan kita sehari hari, banyak memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai wanita atau Dewi, seperti Dewi Saraswati kita puja sebagai manifestasTuhan sebagai penguasa ilmu pengetahuan. Demikian pula dengan manifestasi Tuhan membawa kemakmuran bagi umat manusia, kita menyembah dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri.
Ilmu pengetahuan dan kemakmuran, sama-sama dikuasai oleh
Dewi yang catik sehingga umat manusia termotivasi untuk selalu memuja dan
mencarinya, karena ilmu pengetahuan merupakan kekayaan yang abadi yang dapat
diamalkan sebagai bentuk jalan darma dalam Jnana Marga. Dewi Sri membuat kita
selalu termotivasi untuk menciptakan kemakmuran dalam jagat raya ini, sehingga
kedua implementasi dharma ini tidak terlepas dari bagian Catur PurusaArta yang
menjadi tujuan umat Hindu dalam kehidupannya.
Demikian pula dengan implementasi lainnya dalam keyakinan
kita sebagai manifestasi dari Tuhan yang maha Esa, kita lenal sakti dari pada
Dewa, adalah Dewi, dengan segala kekuatan magisnya. Dewi Durga kita sembah
sebagai manifestasi dari sakti Ciwa, sebagai pemerelina isi dunia yang sudah tidak
berguna lagi. Sehingga dunia ini tidak akan penuh dengan benda yang tidak
bermanfaat.
Beberapa sloka dalam Pustaka Suci Weda membahas tentang
wanita yang demikian pentinnya, diantaranya adalah : berikut :
Dalam Yayur Weda:
1.
Istri hendaknya taat melaksanakan
upacara-upacara keagamaan (Yajurveda XIX.94);
2.
Wahai mempelai wanita, jadilah
nyonya rumah dan bimbinglah ayah mertua, ibu mertua, saudara dan saudari ipar (Ṛgveda X.85.46).
3.
Wanita adalah pengawas keluarga,
dia cemerlang, dia mengatur yang lain-lain, dia sendiri yang taat kepada
aturan-aturan, dia adalah aset keluarga sekaligus yang menopang keluarga
(Yajurveda XIV.22);
Dalam Menawa Dharma Sastra:
1.
Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa
senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun
yang akan berpahala (MD.III.56). Ini merupakan ungkapan bahwa sorga itu di
telapak kaki ibu.
2.
Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan
cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu
bahagia (MD.III.57);
3.
Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya,
mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah
dihancurkan oleh kekuatan gaib (MD.III.58)’
Sloka ini
telah menjawab berbagai pandangan yang menganggap wanita Hindu itudirendahkan
dibandingkan laki-laki, Apalagi bagi merka yang hanya sepintas melihat wanita
Hindu khususnya wanita Bali, memang sudah pasti mempunyai penilaian demikian.
Maka tugas kita bersama sebagai umat Hindu untuk menjelaskannya bagaimana
sebenarnya wanita ditempatkan dalam Hindu.
WANITA DALAM
ADAT BALI
Ada pendapat
dalam adat Bali sebagai penganut patriarki perbedaan perlakuan terhadap
perempuan sungguh sangat kentara. Adat Bali menempatkan perempuan sebagai
subordinasi karena ada pengertian yang keliru terhadap konsep purusa dan
pradana. Padahal sesungguhnya bahwa purusa
dan pradana ada pada setiap laki-laki termasuk pula pada diri perempuan. Purusa
adalah jiwa dan pradana adalah raga.
Akan tetapi pada
kenyataannya bahwa purusa memang tetap dimaknai sebagai jiwa, hanya pradana
diartikan sebagai benda. Kalau jiwa tidak pernah mati alias akan hidup terus
sedangkan benda itu adalah barang mati sehingga tidak perlu diperlakukan secara
manusiawi.
Pendapat ini
sangat keliru, dan terus menerus berlangsung dalam kehidupan keseharian perempuan
Hindu di Bali. Laki-laki dan perempuan bukan merupakan masalah yang dipertentangkan,
tetapi merupakan sesuatu yang saling melengkapi satu sama lainnya untuk
kelangsungan kehidupan manusia.
Laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan melalui yadnya, maka sudah sewajarnyalah manusia saling beryadnya.
Keterlaksanaank
konsep ini akan menandakan bahwa Hindu sangat menjujung tinggi kesetaraan gender
bahkan kesetaraan karena perempuan tidak dilahirkan dari tulang rusuk kanan
adam. Dalam Padma Purana disebutkan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya
dalam menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya setengah badan tetapi juga adalah
setengah jiwanya. Hal inilah yang dimaksud dengan konsep Ardanariswari dalam
Hindu.
Wanita dalam theologi Hindu bukanlah merupakan serbitan kecil dari personifikasi laki-laki, tetapi merupakan suatu bagian yang sama besar, sama kuat, sama menentukan dalam perwujudan kehidupan yang utuh. Istilah theologisnya ialah “Ardhanareswari”. Ardha artinya setengah, belahan yang sama. Nara artinya (manusia) laki-laki. Iswari artinya (manusia) wanita.
Tanpa unsur
kewanitaan, suatu penjelmaan tidak akan terjadi secara utuh dan dalam agama
Hindu unsur ini mendapatkan porsi yang sama sebagaima belahan kanan dan kiri
pada manusia.
Dalam Siwatattwa dikenal konsep Ardhanareswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa sedangkan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminim. Tiada suatu apa pun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada.
Makna simbolis dari konsep Ardhanareswari, kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi dengan laki-laki bahkan sangat dimuliakan. Tidak ada alasan serta dan argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itulah sebabnya di dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.
Dalam Manawa Dharmasastra I.32 disebutkan bahwa : Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi perempuan (ardha nari). Darinya terciptalah viraja.
Sloka di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Laki-laki dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan karena keduanya tercipta dari Tuhan.
Tuhan
menciptakan laki-laki dan perempuan, menurut Manawa Dharmasastra IX.96 ,
disebutkan bahwa: Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu. Laki-laki
diciptakan untuk menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga
untuk melangsungkan upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Veda.
Dari konsep Ardhanariswari tersebut mengisyaratkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perempuan dalam teologi Hindu, wanita ditempatkan pada kedudukan yang mulia sebagai dasar kebahagiaan rumah tangga.
Dalam
Yayurveda (XIV.21) dijelaskan bahwa perempuan adalah perintis, orang yang
senantiasa menganjurkan tentang pentingnya aturan dan dia sendiri melaksanakan
aturan itu. Perempuan adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan,
sebagaimana tertera pada Yajurveda, XIV. 21, seperti berikut di bawah ini:
Oh perempuan engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan pertanian, dan kesejahteraan.
Perempuan adalah ciptaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pradana. Ia juga disimbolkan dengan yoni, sumber kesuburan dan kearifan. Laki-laki ciptaan Tuhan dalam fungsi sebagai purusa yang disimbolkan dengan lingga. Oleh karena perempuan juga, maka berbagai bentuk persembahan akan terlaksana, karena perempuan pula ketenangan dan ketentraman akan terwujud. Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera seyogyanya menghormati perempuan.
Dalam konsep purusa-pradana ini, pertemuan Purusa dengan
Pradhana menimbulkan terciptanya kesuburan. Memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai
Purusa untuk memohon kekuatan sedangkan memuja Tuhan sebagai Pradhana adalah
untuk mendapatkan kekuatan rokhani.
Demikian
wanita menurut Pustaka suci Weda, mauun secara realitas yang berkembang di
Bali, yang perlu sama sama kita luruskan sehingga kembali pada makna dan
kedudukan perempuan yang sebenarnya sesuai dengan ajaran dharma. Semua
seharusnya kembali ke ajaran dharma, sedangkan adat yang sudah juga berlangsung
lama perlu di revisi secara perlahan, sehingga tidak melenceng jauh dari
dharma. Keduanya harus sejalan saling mengisi dalam menciptakan kesejahteraan
masyarakat.
Dihimpun
dari berbegai sumber bacaan.
No comments:
Post a Comment