PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Thursday, December 26, 2013

Wanita Dalam Hindu



SEKILAS PANDANGAN HINDU  TERHADAP WANITA”

I Putu Pudja

Dalam kehidupan sehari hari kta di Indonesia masih sering membeda-bedakan anak, antara anak laki-laki denanak perepempuan. Baik di Bali maupun pada suku-suku lain di Indonesia, kesetaraan tersebut terlihat masih sangat timpang sampai saat ini. Bahkan mereka rela berpisah demi mendapatkan seorang anak laki-lak, yang mereka anggap sebagai penerus generasi keluarga.
Itu tidak dapat di pisahkan dengan system patriarki yang berlaku di Indonesia, kecuali di daerah Minangkabau, Sumatera Barat yang menganut system materiaat. Sehingga sering timbul pertanyaan kepada generasi kita yang sudah banyak merantau jenapa sih lebih mengutamakan anak laki laki dari pada anak perempuan. Bahkan di beberapa desa adat di Bali kalau sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, semua warisannya akan turun kepada anak laki-laki keponakannya. Bukan main, bagaimana ya anak-anak perempuan mereka melanjutkan kehidupannya kalau semua waris turun kepada keponakan, apa mereka harus menggelandang. Perlu adanya aturan yang lebih arif dalam hal ini. Jangan memakai kacamata kuda dalam mengartikan sebuah awig-awig.
Padahal kalau kita para laki-laki jujur, anak anak perempuan umumnya lebih perhatian dengan keadaan orang tua. Terlihat dari sikap mereka yang lebih mudah panikan saat ada sesuatu yang menimpa orang tua kita.
Mungkini dalam hal ini, ketidak setaraan yang terjadi lebih banyak karena aturan adat, yang lebih memihak laki-laki,. Beberapa pendapat mengatakan bahwa pada akhir kehidupan  kita doa seorang anak Putri lah yang mengantarkan sang atman dalam perjalanannya menuju Brahman.
Anak putri lah yang mempunyai peranan penting diakhir suatu kehidupan orang tua dan leluhur kita, untuk itu jangan abaikan anak seorang Putri di kemudian hari sehingga jagalah saudara dan teman Putri kita agar merasa tidak diabaikan di kehidupan ini.

Mungkin karena hal ini jarang kita jumpai permasalahan yang membelit bila seorang wanita Hindu hendak menikah dengan umat lain, tidak bila sebaliknya terjadi bila wanita dari umat lain menikah dengan laki-laki Hindu, labih sering menimbulkan permasalahan.

Mulailah dari sekarang kita memuliakan orang tua, saudara-saudara baik laki maupun perempuan dengan cara yang seimbang. Sama pentingnya umat Hindu harus mempunyai keturunan suputra, yang akan memanjatkan doa, membantu perjalanan kita menyeberangi alam baka, untuk menuju kebebasan.

PERAN WANITA
Dalam kehidupan ini wanita sangat besar perannya, dalam mempertahankan generasi. Wanita berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu Svanittha, di mana kata Sva artinya “sendiri” dan Nittha artinya “suci”. Jadi Svanittha artinya “mensucikan sendiri” kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas dalam Dharma atau “pengamal Dharma”.

Dari sini kemudian berkembang perkataan Sukla Svanittha yang artinya “bibit” atau janin yang dikandung oleh manusia, yang hanya dapat dilakukan secara kodrati oleh perempuan. Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus “sarana” terwujudnya Punarbhava atau re-inkarnasi, sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu.


Dalam kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa yang  menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Yudistira dari Pandawa melawan Sakuni di pihak Korawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh Dursasana di depan sidang.  Karena perlindungan Tuhan atau Dewa Dharma, Drupadi tetap tidak dapat ditelanjangi, dan kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis.

Saat itu Drupadi sudah mengingatkan Dursasana, bahwa ia wanita, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan Bima, dan Drupadi menebus kaul dengan mencuci rambutnya dengan darah Dursasana.

Dalam keyakinan kita sehari hari, banyak memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai wanita atau Dewi, seperti Dewi Saraswati kita puja sebagai manifestasTuhan sebagai penguasa ilmu pengetahuan. Demikian pula dengan manifestasi Tuhan membawa kemakmuran bagi umat manusia, kita menyembah dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri.

Ilmu pengetahuan dan kemakmuran, sama-sama dikuasai oleh Dewi yang catik sehingga umat manusia termotivasi untuk selalu memuja dan mencarinya, karena ilmu pengetahuan merupakan kekayaan yang abadi yang dapat diamalkan sebagai bentuk jalan darma dalam Jnana Marga. Dewi Sri membuat kita selalu termotivasi untuk menciptakan kemakmuran dalam jagat raya ini, sehingga kedua implementasi dharma ini tidak terlepas dari bagian Catur PurusaArta yang menjadi tujuan umat Hindu dalam kehidupannya.

Demikian pula dengan implementasi lainnya dalam keyakinan kita sebagai manifestasi dari Tuhan yang maha Esa, kita lenal sakti dari pada Dewa, adalah Dewi, dengan segala kekuatan magisnya. Dewi Durga kita sembah sebagai manifestasi dari sakti Ciwa, sebagai pemerelina isi dunia yang sudah tidak berguna lagi. Sehingga dunia ini tidak akan penuh dengan benda yang tidak bermanfaat.

Beberapa sloka dalam Pustaka Suci Weda membahas tentang wanita yang demikian pentinnya, diantaranya adalah : berikut :

Dalam Yayur Weda:
1.      Istri hendaknya taat melaksanakan upacara-upacara keagamaan (Yajurveda XIX.94);
2.      Wahai mempelai wanita, jadilah nyonya rumah dan bimbinglah ayah mertua, ibu mertua, saudara dan saudari ipar (gveda X.85.46).
3.      Wanita adalah pengawas keluarga, dia cemerlang, dia mengatur yang lain-lain, dia sendiri yang taat kepada aturan-aturan, dia adalah aset keluarga sekaligus yang menopang keluarga (Yajurveda XIV.22);

Dalam Menawa Dharma Sastra:
1.      Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala (MD.III.56). Ini merupakan ungkapan bahwa sorga itu di telapak kaki ibu.
2.      Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia (MD.III.57);
3.      Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib (MD.III.58)’

Sloka ini telah menjawab berbagai pandangan yang menganggap wanita Hindu itudirendahkan dibandingkan laki-laki, Apalagi bagi merka yang hanya sepintas melihat wanita Hindu khususnya wanita Bali, memang sudah pasti mempunyai penilaian demikian. Maka tugas kita bersama sebagai umat Hindu untuk menjelaskannya bagaimana sebenarnya wanita ditempatkan dalam Hindu.
WANITA DALAM ADAT BALI

Ada pendapat dalam adat Bali sebagai penganut patriarki perbedaan perlakuan terhadap perempuan sungguh sangat kentara. Adat Bali menempatkan perempuan sebagai subordinasi karena ada pengertian yang keliru terhadap konsep purusa dan pradana. Padahal sesungguhnya  bahwa purusa dan pradana ada pada setiap laki-laki termasuk pula pada diri perempuan. Purusa adalah jiwa dan pradana adalah raga.

Akan tetapi pada kenyataannya bahwa purusa memang tetap dimaknai sebagai jiwa, hanya pradana diartikan sebagai benda. Kalau jiwa tidak pernah mati alias akan hidup terus sedangkan benda itu adalah barang mati sehingga tidak perlu diperlakukan secara manusiawi.

Pendapat ini sangat keliru, dan terus menerus berlangsung dalam kehidupan keseharian perempuan Hindu di Bali. Laki-laki dan perempuan bukan merupakan masalah yang dipertentangkan, tetapi merupakan sesuatu yang saling melengkapi satu sama lainnya untuk kelangsungan kehidupan manusia.
 
Laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan melalui yadnya, maka sudah sewajarnyalah manusia saling beryadnya.

Keterlaksanaank konsep ini akan menandakan bahwa Hindu sangat menjujung tinggi kesetaraan gender bahkan kesetaraan karena perempuan tidak dilahirkan dari tulang rusuk kanan adam. Dalam Padma Purana disebutkan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya dalam menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya setengah badan tetapi juga adalah setengah jiwanya. Hal inilah yang dimaksud dengan konsep Ardanariswari dalam Hindu.

Wanita dalam theologi Hindu bukanlah merupakan serbitan kecil dari personifikasi laki-laki, tetapi merupakan suatu bagian yang sama besar, sama kuat, sama menentukan dalam perwujudan kehidupan yang utuh. Istilah theologisnya ialah “Ardhanareswari”. Ardha artinya setengah, belahan yang sama. Nara artinya (manusia) laki-laki. Iswari artinya (manusia) wanita.

Tanpa unsur kewanitaan, suatu penjelmaan tidak akan terjadi secara utuh dan dalam agama Hindu unsur ini mendapatkan porsi yang sama sebagaima belahan kanan dan kiri pada manusia.

Dalam Siwatattwa dikenal konsep Ardhanareswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa sedangkan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminim. Tiada suatu apa pun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada.

Makna simbolis dari konsep Ardhanareswari, kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi dengan laki-laki bahkan sangat dimuliakan. Tidak ada alasan serta dan argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itulah sebabnya di dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.

Dalam Manawa Dharmasastra I.32 disebutkan bahwa : Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi perempuan (ardha nari). Darinya terciptalah viraja.

Sloka di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Laki-laki dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan karena keduanya tercipta dari Tuhan.

Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, menurut Manawa Dharmasastra IX.96 , disebutkan bahwa: Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu. Laki-laki diciptakan untuk menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga untuk melangsungkan upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Veda.

Dari konsep Ardhanariswari tersebut mengisyaratkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perempuan dalam teologi Hindu, wanita ditempatkan pada kedudukan yang mulia sebagai dasar kebahagiaan rumah tangga.

Dalam Yayurveda (XIV.21) dijelaskan bahwa perempuan adalah perintis, orang yang senantiasa menganjurkan tentang pentingnya aturan dan dia sendiri melaksanakan aturan itu. Perempuan adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan, sebagaimana tertera pada Yajurveda, XIV. 21, seperti berikut di bawah ini:


Oh perempuan engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan pertanian, dan kesejahteraan.

Perempuan adalah ciptaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pradana. Ia juga disimbolkan dengan yoni, sumber kesuburan dan kearifan. Laki-laki ciptaan Tuhan dalam fungsi sebagai purusa yang disimbolkan dengan lingga. Oleh karena perempuan juga, maka berbagai bentuk persembahan akan terlaksana, karena perempuan pula ketenangan dan ketentraman akan terwujud. Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera seyogyanya menghormati perempuan.

Dalam konsep purusa-pradana ini, pertemuan Purusa dengan Pradhana menimbulkan terciptanya kesuburan. Memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai Purusa untuk memohon kekuatan sedangkan memuja Tuhan sebagai Pradhana adalah untuk mendapatkan kekuatan rokhani.

Demikian wanita menurut Pustaka suci Weda, mauun secara realitas yang berkembang di Bali, yang perlu sama sama kita luruskan sehingga kembali pada makna dan kedudukan perempuan yang sebenarnya sesuai dengan ajaran dharma. Semua seharusnya kembali ke ajaran dharma, sedangkan adat yang sudah juga berlangsung lama perlu di revisi secara perlahan, sehingga tidak melenceng jauh dari dharma. Keduanya harus sejalan saling mengisi dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Dihimpun dari berbegai sumber bacaan.

No comments:

Post a Comment