“DAGANG CANANG”
Olek : I Putu Pudja
"Canang" |
“Dagang canang di Bali
dipermasalahkan beberapa kalangan. Ada yang meragukan kesuklaan –kesucian’ nya,
ada yang meragukan kecuntaan dari si pembuat, terutama untuk canang atau
perlengkapan banten lainnya yang di jual di pasar dan dibikin oleh pedagang non
Hindu”. Itulah sekelumit pertanyaan seorang siswaku pada saat kami berbincang
ringan di Bale Bengong, biasa dalam mengisi sore yang berangin dan mendung,
atau oleh mereka sebut sebagai cloudy and windy, maklum mereka merupakan calon
Forecaster Weather.
Tenang dulu nanti kita diskusikan
sambil menunggu seorang siswa yang membuat teh dan kopi sore, serta menunggu
tukang roti dorong lewat sebelah rumah. Tak lama kemudian tukang roti lewat dan
minumpun siap. Kupersilahkan mereka murid-muridku untuk minum teh yang merka
buat, karena kopinya hanya untuk aku saja.
Sambil menikmati semilir angina dan
sendunya mendung sore itu, kami pun berbincang ringan dengan topic Dagang
Canang. Dan aku jelaskan sebagai berikut:
Pedagang, demikian juga dagang
canang merupakan suati profesi, swadarma, pekerjaan seseorang untuk menambah penghasilannya. Dalam
rantai dagang canang, bila kita perhatikan akan sangat panjang rantainya. Mulai
dari dagang busung atau janur, pembuat alas canang, pedagang kembang, pembuat
porosan dll, pembuat canang dan biasanya langsung penjual. Canang biasanya di
jual dalam kantong plastic isi rata-rata 25 buah canang, yang harganya
fluktuatif tergantung rainan –hari sembahyang- , tapi kisarannya antara 15 – 25
ribu per bungkus.
Dalam rangkaian ini biasanya
pedagang terakhir adalah pedagang Hindu, sehingga dia merupakan ujung pembinaan
rantai dagang ini. Sepatutnya dia mengajarkan kepada vendors nya atau downline
nya untuk selalu memahami bahwa:
1. Canang
itu haruslah terbuat dari bahan sukla;
2. Dibuat
dengan hati yang bersih, dengan pakaian yang sopan;
3. Canang
diperlakukan sebagai barang yang disucikan karena akan dipakai sembahyang,
sehingga dalam menaruh dan menghantarkannya mengikuti norma dan nilai nilai
keagamaan;
4. Demikian
juga mereka para mata rantai pedagang ini harus memahami minimal bahwa:
a.
Bekerja -sebagai bagian rantai dagang canang-
itu adalah ibadah, sehingga apa yang dia kerjakan disamping menghasilkan uang
juga menghasilkan pahala;
b.
Bekerja adalah mencari nafkah, sehingga sudah
selayaknya nafkah itu didapat dengan cara yang baik tidak melanggar norma.
Dengan demikian dia seharusnya mengerjakan pembuatan canang dengan norma yang
benar, yang disampaikan oleh ujung penjualnya yang memang orang Hindu;
c.
Bekerja adalah proses seni, sehingga pembuatan
canang merupakan proses pembelajaran, untuk selalu meningkatkan keindahan,
kesucian hasil buatannya sebagai karya seni yang pantas dihargai oleh
pembelinya, demikian juga pembeli sudah seharusnya mendapatkan barang yang baik
dan sukla.
5. Canang
dibuat dan dilengkapi dengan perlengkapannya yang baik dan benar. Karena yang
ini umumnya dilakukan saat finishing oleh pedagangnya sendiri, kemungkinan
menyimpangnya lebih kecil.
Munculnya
pedagang canang ini, sebenarnya karena mekanisme pasar. Kesibukan sebagian
masyarakat perkotaan untuk bekerja, kesulitan mengatur waktu, mencari bahan
canang, yang umumnya dibeli dipasar kalau diperkotaan, menjadikan masyarakat
langsung membeli canang jadi demikian juga peralatan sembahyang lainnya.
Termasuk kemben yang instan tinggal pakai saat sembahyang.
Pedagang canang
melihat peluang kesibukan dan kesulitan masyarakat perkotaan dan mengambil
peluang tersebut dengan ikut dalam proses pembuatan canang. Teman-teman
pendatang di Bali banyak yang mengambil peluang ini dengan ikut misalnya : 1. Menjadi
pedagang janur, yang mengambil janur di luar Bali dibawa dengan kendaraan darat
ke Bali; 2. Menjadi pembuat alas canang, dilakukan ibu-ibu, atau wanita yang
datang ke Bali dan memiliki waktu luang untuk membuat alas canang, 3. Pedagang
kembang yang mengambil kembang di daerah perkebunan kembang dan membawanya ke
pedagang canang atau kepasar. 5. Perakit, canang dan penjual yang menjualnya
langsung ke masyarakat.
Jadi rantai
pembuat canang itu cukup panjang dari petani tanam kembang, petani kelapa,
pedagang antar pulau, pembuat alas canang, perakit –penanding- canang. Dan penjualnya.
Kegiatan pembuat canang merupakan kegiatan ibadah untuk mata pencaharian yang
menghidupi banyak orang.
Dalam hal ini
ada ‘suply and demant’ karena perkembangan kesibukan masyarakat modern, yang
tidak dapat dihindari.
Pedagang canang
itu merupakan pekerjaan mulia, ibadah dan mencari nafkah. Bila semua rantai
pembuat canang ini memahami itu maka kita tidak perlu ragu dalam menggunakan
canang yang dibeli di pasar untuk digunakan sembahyang. Beberapa pendapat
bahkan mengatakan, kalau barang yang kita beli di pasar, maka dia telah
mendapat penglukatan, atau penyucian oleh pasar itu sendiri. Kalaupun ada salah
satu rantai dalam prosesnya yang berbuat curang atau tidak baik, maka dia akan
menerima buah karmanya sebagai imbalan apa yang dia lakukan secara spiritual.
Dapat guru
simpulkan bahwa pedagang canang merupakan rangkaian proses, bagi masyarakat
yang terlibat didalamnya perlu diberikan pengertian bahwa pekerjaan mereka
sebenarnya tidak semata mencari bafkah, tetapi bernilai ibadah, sehingga norma
dan ketentuan kesucian harus mereka ikuti. Tugas pertama yang membinanya tentu
pedagang terakhir yang umunnya beragama Hindu untuk menularkan ketentuan
kesucian yang harus merka ikuti.
Disamping itu
untuk keamanan umat, walau ada pendapat penglukatan pasar, ada baiknya para
pedagang informal pembuat canang ini mendapat pembinaan dari BIman Hindu yang
sudah ada pada setiap daerah, oleh PHDI maupun Dinas perdagangan setempat. Bila
itu dapat dikerjakan tidak ada keraguan lagi bagi masyarakat untuk menggunakan
canang yang dibeli di warung atau dipasar untuk persembahyangan.
Nah itulah
penjelasan Guru terkait dengan Pedagang Canang itu, semoga kalian tidak ada
keraguan untuk memanfaatkan canang yang dijual untuk sarana persembahyangan
kalian.
“Kalau kita sih
tidak meragukannya Guru, karena kita di Jakarta umumnya membelinya di pura,
yang sudah jelas pembuatnya adalah ‘semeton’ Hindu, atau minimal kerabat
Pemangku yang memang bertugas di Pura dimana kita membeli canang tersebut”.
Merekapun
ketawa bersamaan Hahahahaahahahah. Dan sang kala, serta minuman yang ada di
depan kami telah tandas di nikmati bersama. Sandi kala sudah datang, binatang
malam telah beterbangan menyambar buah sawo yang sudah mulai matang. Dan
kamipun bergegas mandi dan melanjutkan dengan kewajibang masing-masing.
Om Canti,
Canti, Canti Om.
---
Puri Gading Awal Pebruari 20156
No comments:
Post a Comment