MASYARAKAT
HINDU DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT
MADANI
Oleh : I Putu Pudja
Oleh : I Putu Pudja
Pengertian Masyarakat Madani
Secara umum , pengertian masyarakat madani adalah masyarakat yang
beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, serta maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Berikut ini pengertian umum dari masyarakat madani, menurut beberapa akhli:
Berikut ini pengertian umum dari masyarakat madani, menurut beberapa akhli:
- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma,
nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang
beradab, iman dan ilmu.
- Menurut
Syamsudin Haris, masyarakat madani
adalah suatu lingkup interaksi sosial yang berada di luar pengaruh negara
dan model yang tersusun dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti
keluarga, asosiasi sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk
lingkungan komunikasi antar warga masyarakat.
- Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat
madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah
dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat
berperadaban dengan ciri antara lain : egaliteran(kesederajatan),
menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah.
- Menurut Ernest Gellner,
Masyarakat Madani merujuk pada mayarakat yang terdiri atas berbagai
institusi non pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat
mengimbangi Negara.
- Menurut Cohen dan Arato,
Masyarakat Madani adalah suatu wilayah interaksi sosial diantara
wilayah ekonomi, politik dan Negara yang didalamnya mencakup semua
kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial
diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar
kebaikan bersama (public good).
- Menurut Muhammad AS Hikam, Masyarakat
Madani adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan
(self-generating), keswadayaan (self-supporing), dan kemandirian yang
tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan
nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
- Menurut M. Ryaas Rasyid, Masyarakat Madani adalah suatu
gagasan masyarakat yang mandiri yang dikonsepsikan sebagai
jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-kelompok sosial yang
mandiri, perkumpulan-perkumpulan, serta lembaga-lembaga yang saling
berhadapan dengan negara.
8. Kim Sunhuhyuk (Korea
Selatan), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu
satuan yang terdiri dari kelompok – kelompok yang secara mandiri menghimpun
dirinya dan gerakan – gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari
negara, yang merupakan satuan – satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat
politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna
menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan – kepentingan mereka
menurut prinsip – prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Istilah
masyarakat madani itu, awalnya merujuk pada masyarakat (islam) yang pernah
dibangun nabi Muhammad di negeri Madinah. Perkataan Madinah dalam bahasa arab
dapat dipahami dari dua sudut pengertian. Pertama, secara konvensional kata
madinah dapat bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara kebahasaan dapat
berarti “peradaban”; meskipun di luar ata “madaniyah” tersebut, apa yang
disebut peradaban juga berpadanan dengan kata “tamaddun” dan “hadlarah”.
Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota madinah itu adalah daerah yang bernama Yatsrib. Nabi-lah yang kemudian mengubah namanya menjadi Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat berperadaban di kota itu. Dasar-dasar masyarakat madani inilah, yang tertuang dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah” yang didalamnya menyangkut antara lain wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggung jawab social dan politik, serta pertahanan, secara bersama.
Di kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Masyarakat madani, sebagai terjemahan istilah civil society, pertama
kali digunakna oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam Ceramahnya pada Simposium
National dalam rangka forum Ilmiah pada acara festifal Isiqlal, 26 September
1995 di Jakara. Konsep ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
peradaban maju.
Ciri-Ciri
Masyarakat Madani
Beberapa
penulis menuliskan kharakteristik
masyarakat madani itu sebagai berikut:
- Menjunjung
tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan teknologi.
- Mempunyai
peradaban yang tinggi atau beradab.
- Mengedepankan
kesetaraan dan transparasi.
- Ruang
publik yang bebas.
- Demokratisasi
- Toleransi
- Pluralisme
- Keadilan
Sosial (Social justice)
- Partisipasi
sosial
- Supermasi
hukum
Namun bila merujuk pada referensi
yang lebih umum tentang karakteristik Masyarakat Madani itu secara simple disebutkan sebagai berikut:
- Free
Public sphere
- Demokrasi
- Toleransi
- Pluralisme
- Keadilan
sosial
Sehingga kalau kita dapat sarikan
dari beberapa definisi tersebut diatas, bahwa masyarakat madani adalah
kelompok-kelompk sosial dalam masyarakat yang berada di luar struktur
pemerintahan, dibentuk secara sukarela,
memiliki independensi dan otonomi, ikut berperan dalam menciptakan
masyarakat maju dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi, yang menjujung tinggi
nilai humanis.
Sebagai warga bangsa yang taat pada aturan.
Mempunyai Sradha dan Bhakti, umat Hindu hendaknya percaya bahwa setiap agama
mengandung nilai suci dan jalan menuju kebenaran Tuhan. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam pustaka
suci Bhagavad Gita dalam adhyaya IV sloka 11 dan adhyaya VII sloka 21 yang
berbunyi sebagai berikut :
Jalan manapun ditempuh manusia
kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana - mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh
Parta (BG.IV.11)
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin
dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya
tetap teguh dan sejahtera (BD.VII.21)
Kelompok kelompok dalam Agama Hindu, paling dikenal adalah
adanya Catur Warna, Soroh atau Trah secara umum, khusus di Bali dikenal adanya
strata klompok masyarakat adat, seperti Banjar, Desa, Sekehe Truna – Truni
dllnya. Namun dibandingkan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, yang ada
pada agama lain, islam misalnya yang mempunyai : Nahdatul Ulama, Muhammadiah,
dll agama Hindu masih ketinggalan dalam masalah ini. Akan tetapi dalam agama
Hindu, khususnya Nali dan daerah yang merupakan tujuan transmigrasi dari Bali,
berkembang secara tradisonal desa pakraman –desa adat-, subak pakraman yang merupakan organisasi
sosial kemasyarakatan yang bersifat territorial.
Dalam
Hindu yang paling sering kita dengar adanya penggolongan masyarakat sesuai
profesinya, yang disebut dengan warna ( Bhs Sansekerta yang berarti memilih
sebuah kelompok). Dengan demikian status seseorang sesuai dengan profesinya.
Secara umum dikenal Catur Warna, yaitu : Brahmana Warna, Kesatria Warna, Waisya
Warna dan Sudra Warna. (1)..Brahmana
Warna menekuni bidang kerohanian, sehingga ia bisa menjadi pendeta, dan
kelompok ini dikenal dengan Brahmana atau Rohaniwan. (2) Ksatriya merupakan
kelompok yang menekuni profesi yang bidang pemerintahan , prajurit negara
sebagai Ksatriya; (3) Waisya kelompok yang menekuni profesi yang berhubungan
dengan perniagaan, dan (4) Sudra, merupakan kelompok yang menekuni profesi
dalam bidang hospitality, servis, atau
pembantu kelompok sebelumnya.
Keempat
kelompok tersebut kedudukannya horizontal, bukan merupakan strata vertical,
yang menunjukkan kelompok yang satu lebih tingi dari kelompok lainnya, hanya
profesi saja yang membedakan mereka.
Berdasarkan
tahapan hidup masyarakat hindu dikelompokkan menjadi empat tahapan, dikenal
dengan catur asrama, yaitu Brahmacari asrama, Grahasta Asrama, Wanaprasta
Asrama, dan Saniyasin Asrama. Kelompok ini lebih banyak mengatur masalah etika
yang harus dilaksanakan masyarakat terkait dengan tahapan hidupnya, sehingga
bukan merupakan organisasi sosial yang penuh berorientasi madani, hanya lebih
banyak berorientasi etika dan kesejahteraan batin, semasa hidup atau tabungan
setelah meninggal.
Namun
di dalam masyarakat Hindu di Bali, mereka bermasyarakat lebih menonjol dalam
konsep Desa Pakraman – desa adat- , yang kelihatannya lebih demokratis, yang
pembentukannya lebih berkonsep territorial, yang dibentuk berdasarkan wilayah
desa adat, didalamnya ada perangkat desa: Kepala Desa atau bendesa adat
(Perbekel), kelian banjar, dengan perangkatnya sampai kelmpok pengamanan yang
disebut pecalang.
Demikian
juga dengan wilayah pertanian, yang memiliki kelompok yang disebut Subak –subak
pakraman- yang di ketuai oleh seorang Pekaseh, yang dibantu oleh beberapa
perangkatnya, akan memimpin sekelompok orang pemilik / penggarap sawah atau
ladang, yang mengatur segala sesuatu yang terkait dengan amnajemen bersawah,
seperti pembagian air, penentuan permulaan tanam, pengosongan lahan,
pemberantasan hama dan lain-lainnya.
Karena
sifatnya yang murni swasta dan tradisional, kelompok ini agak sedikit mendapat
akses ke pemrintahan, tetapi mereka mempunyai telah menganut perinsip
keterbukaan, toleransi, dan kesejahteraan anggotanya.
Apakah
Hindu menghargai pluralism. Hal itu dapat kita ikuti artikel yang dimuat pada
web PHDI pusat berikut, saat Tokoh pluralism Nurlholis berkunjung ke sebuah
Pura di Bali Utara. Petikan artikel tersebut sbagai berikut :
BUDAYAWAN Emha Ainun Nadjib alias
Cak Nun, Selasa (5/11) kemarin mengunjungi Pura Gambur Anglayang di Desa
Kubutambahan, Buleleng. Di situ ia tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya
ketika menyaksikan delapan pelinggih yang mencerminkan suatu nilai penting
tentang toleransi dan kerukunan antarsuku, ras dan agama. Pemimpin-pemimpin
Indonesia harus belajar dari Pura Gambur Anglayang di Kubutambahan ini,
katanya.
Memang di pura yang terletak di tepi
pantai Tageneng ini terdapat delapan pelinggih yang mencerminkan unsur semua
agama di dunia. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda,
pelinggih Ratu Bagus Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang
menunjukkan unsur Cina, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang
mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah
yang memperlihatkan unsur Islam.
Di pura itu, kata Cak Nun, dirinya
melihat adanya kearifan nenek moyang yang harus ditiru. Nenek moyang kita, jauh
sebelumnya telah mengenal istilah demokrasi. Toleransi telah menciptakan suatu
masyarakat demokratis. Tanpa tujuan muluk-muluk mereka telah menyatukan
keberagaman dalam sebuah ruang kehidupan sosial dan spiritual yang tinggi. Kini
pemimpin kita omongnya saja besar tentang demokrasi dan toleransi, tetapi
hasilnya kerusuhan, tandasnya. Ia mengatakan, Pura Gambur Anglayang ini
merupakan perwujudan dari masa depan Indonesia. Pura yang didirikan tahun 1260
itu telah memberi petunjuk delapan abad yang lalu telah terjadi masyarakat
madani di Kubutambahan. Masyarakat madani telah tumbuh di Kubutambahan sebelum
Nurcolish Madjid memperkenalkan istilah itu kepada bangsa Indonesia, katanya.
Untuk itu, Cak Nun yang didampingi
istrinya, artis cantik Novia Kolopaking, mengundang para pemimpin Indonesia
untuk datang ke Kubutambahan, belajar tentang kerukunan dan masyarakat madani.
Sebelum ke Pura Gambur Anglayang,
Cak Nun sempat mengunjungi Masjid Jamik Al Munawarah di Banjar Pabean, Sangsit,
Buleleng. Di sana Cak Nun juga menyaksikan kerukunan antara umat Hindu dan
Islam. Kerukunan itu adalah sebuah kekayaan yang sudah lama tidak dimiliki lagi
oleh Indonesia. Jika kerukunan antarumat beragama ini dipelihara, ia yakin
suatu saat nanti warga Sangsit akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.
Coba
saudara renungkan dari cuplikan cerita diatas terlihat bahwa umat Hindu sejak
dulu sudah mengakui dan menjunjung tinggi adanya keberagaman, dan bagai mana
komentar saudara dikaitkan dengan peran serta masyarakat Hindu dalam membangun
masyarakat madani di Indonesia.
ORIENTASI
KE DAERAHAN
Perkembangan masyarakat madani
Hindu, atau peran organisasi masyarakat Hindu dalam membangun masyarakat madani
di Indonesia, kelihatannya masih sangat bersifat ke daerahan di Bali, dan
sporadik di luar Bali sesuai dengan penyebaran daerah transmigrasi dimana
masyarakat Bali atau Hindu di tempatlan di seluruh tanah air.
Perkembangan ini tidak dapat
dipisahkan dengan ‘keterbelakangan’ system syiar dalam agama Hindu, bahkan mungkin dalam Hindu tidak dikenal
syiar atau misi, sehingga sifat pemeluknya sangat statis, di daerah
kantong-kantong Hindu yang sudah ada sejak zaman dulu, sehingga perkembangan
berorganisasinya juga tetap tradisional. Apakah diperlukan syiar ini atau tidak
tentu fatwa PHDI yang merupakan lembaga yang menaungi masyarakat Hindu, perlu
memberikan klarifikasi.
Disini diperlukan kerja keras
PHDI untuk membangun kelompok sosial kemasyarakatan ini, atau menciptakan iklim
yang lebih kondusif sebagai lembaga yang menjadi kiblah masyarakat Hindu di
Indonesia. Kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan ini walaupun ada sifatnya
hanya sangat temporal, dan tidak terjaga eksistensinya, sebat saja : Peradah,
KPSHD, HWHI, Rohin yang terbentuk di perguruan tinggi tidak terlihat
kegiatannya sampai ke luar kampus.
Mungkin
bisa kita melihat militansi berorganisasi teman-teman di agama lain, seperti
Kelompok Pengajian Kampus (PK), di Istitut Pertanian Bogor, dalam era reformasi
dapat berkembang secara nasional menjadi Partai Keadilam (PK), tetapi pada saat
ikut pemilu pertama, suaranya tidak mencapai batas ambang electoral, menjadikan
pada pemilu berikutnya berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang ikut mewarnai perpolitikan Indonesia sampai saat ini.
Di edit di Puri Gading Jimbaran, 16 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment