PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Wednesday, December 25, 2013

HINDU DAN MASYARAKAT MADANI

MASYARAKAT
HINDU DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI

Oleh : I Putu Pudja

Pengertian Masyarakat Madani
Secara umum , pengertian  masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab,  menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Berikut ini  pengertian umum dari masyarakat madani, menurut beberapa akhli:

  1.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
  2. Menurut  Syamsudin Haris, masyarakat madani adalah suatu lingkup interaksi sosial yang berada di luar pengaruh negara dan model yang tersusun dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga, asosiasi sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk lingkungan komunikasi antar warga masyarakat.
  3. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri antara lain : egaliteran(kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah.
  4. Menurut Ernest Gellner, Masyarakat Madani merujuk pada mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara.
  5. Menurut Cohen dan Arato,  Masyarakat Madani adalah suatu wilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi, politik dan Negara yang didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public good).
  6. Menurut Muhammad AS Hikam, Masyarakat Madani adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporing), dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
  7. Menurut M. Ryaas Rasyid,  Masyarakat Madani adalah suatu gagasan masyarakat yang mandiri yang dikonsepsikan sebagai jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-kelompok sosial yang mandiri, perkumpulan-perkumpulan, serta lembaga-lembaga yang saling berhadapan dengan negara.
8.       Kim Sunhuhyuk (Korea Selatan), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok – kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan – gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan – satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan – kepentingan mereka menurut prinsip – prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Istilah masyarakat madani itu, awalnya merujuk pada masyarakat (islam) yang pernah dibangun nabi Muhammad di negeri Madinah. Perkataan Madinah dalam bahasa arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian. Pertama, secara konvensional kata madinah dapat bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara kebahasaan dapat berarti “peradaban”; meskipun di luar ata “madaniyah” tersebut, apa yang disebut peradaban juga berpadanan dengan kata “tamaddun” dan “hadlarah”.

Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota madinah itu adalah daerah yang bernama Yatsrib. Nabi-lah yang kemudian mengubah namanya menjadi Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat berperadaban di kota itu. Dasar-dasar masyarakat madani inilah, yang tertuang dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah” yang didalamnya menyangkut antara lain wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggung jawab social dan politik, serta pertahanan, secara bersama.

Di kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Masyarakat madani, sebagai terjemahan istilah civil society, pertama kali digunakna oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam Ceramahnya pada Simposium National dalam rangka forum Ilmiah pada acara festifal Isiqlal, 26 September 1995 di Jakara. Konsep ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat memiliki peradaban maju.
Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Beberapa penulis menuliskan  kharakteristik masyarakat madani itu sebagai berikut:
  1. Menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan teknologi.
  2. Mempunyai peradaban yang tinggi atau beradab.
  3. Mengedepankan kesetaraan dan transparasi.
  4. Ruang publik yang bebas.
  5. Demokratisasi
  6. Toleransi
  7. Pluralisme
  8. Keadilan Sosial (Social justice)
  9. Partisipasi sosial
  10. Supermasi hukum
Namun bila merujuk pada referensi yang lebih umum tentang karakteristik Masyarakat Madani  itu secara simple disebutkan sebagai berikut:
  1. Free Public sphere
  2. Demokrasi
  3. Toleransi
  4. Pluralisme
  5. Keadilan sosial
Sehingga kalau kita dapat sarikan dari beberapa definisi tersebut diatas, bahwa masyarakat madani adalah kelompok-kelompk sosial dalam masyarakat yang berada di luar struktur pemerintahan,  dibentuk secara sukarela, memiliki independensi dan otonomi, ikut berperan dalam menciptakan masyarakat  maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,  yang menjujung tinggi nilai humanis.
 Sebagai warga bangsa yang taat pada aturan. Mempunyai Sradha dan Bhakti, umat Hindu hendaknya percaya bahwa setiap agama mengandung nilai suci dan jalan menuju kebenaran Tuhan.  Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam pustaka suci Bhagavad Gita dalam adhyaya IV sloka 11 dan adhyaya VII sloka 21 yang berbunyi sebagai berikut :
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana - mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta (BG.IV.11)
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera (BD.VII.21)

Kelompok kelompok dalam Agama Hindu, paling dikenal adalah adanya Catur Warna, Soroh atau Trah secara umum, khusus di Bali dikenal adanya strata klompok masyarakat adat, seperti Banjar, Desa, Sekehe Truna – Truni dllnya. Namun dibandingkan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, yang ada pada agama lain, islam misalnya yang mempunyai : Nahdatul Ulama, Muhammadiah, dll agama Hindu masih ketinggalan dalam masalah ini. Akan tetapi dalam agama Hindu, khususnya Nali dan daerah yang merupakan tujuan transmigrasi dari Bali, berkembang secara tradisonal desa pakraman –desa adat-,  subak pakraman yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat territorial.
Dalam Hindu yang paling sering kita dengar adanya penggolongan masyarakat sesuai profesinya, yang disebut dengan warna ( Bhs Sansekerta yang berarti memilih sebuah kelompok). Dengan demikian status seseorang sesuai dengan profesinya. Secara umum dikenal Catur Warna, yaitu : Brahmana Warna, Kesatria Warna, Waisya Warna dan Sudra Warna.  (1)..Brahmana Warna menekuni bidang kerohanian, sehingga ia bisa menjadi pendeta, dan kelompok ini dikenal dengan Brahmana atau Rohaniwan. (2) Ksatriya merupakan kelompok yang menekuni profesi yang bidang pemerintahan , prajurit negara sebagai Ksatriya; (3) Waisya kelompok yang menekuni profesi yang berhubungan dengan perniagaan, dan (4) Sudra, merupakan kelompok yang menekuni profesi dalam bidang hospitality, servis,  atau pembantu kelompok sebelumnya.
Keempat kelompok tersebut kedudukannya horizontal, bukan merupakan strata vertical, yang menunjukkan kelompok yang satu lebih tingi dari kelompok lainnya, hanya profesi saja yang membedakan mereka.
Berdasarkan tahapan hidup masyarakat hindu dikelompokkan menjadi empat tahapan, dikenal dengan catur asrama, yaitu Brahmacari asrama, Grahasta Asrama, Wanaprasta Asrama, dan Saniyasin Asrama. Kelompok ini lebih banyak mengatur masalah etika yang harus dilaksanakan masyarakat terkait dengan tahapan hidupnya, sehingga bukan merupakan organisasi sosial yang penuh berorientasi madani, hanya lebih banyak berorientasi etika dan kesejahteraan batin, semasa hidup atau tabungan setelah meninggal.
Namun di dalam masyarakat Hindu di Bali, mereka bermasyarakat lebih menonjol dalam konsep Desa Pakraman – desa adat- , yang kelihatannya lebih demokratis, yang pembentukannya lebih berkonsep territorial, yang dibentuk berdasarkan wilayah desa adat, didalamnya ada perangkat desa: Kepala Desa atau bendesa adat (Perbekel), kelian banjar, dengan perangkatnya sampai kelmpok pengamanan yang disebut pecalang.
Demikian juga dengan wilayah pertanian, yang memiliki kelompok yang disebut Subak –subak pakraman- yang di ketuai oleh seorang Pekaseh, yang dibantu oleh beberapa perangkatnya, akan memimpin sekelompok orang pemilik / penggarap sawah atau ladang, yang mengatur segala sesuatu yang terkait dengan amnajemen bersawah, seperti pembagian air, penentuan permulaan tanam, pengosongan lahan, pemberantasan hama dan lain-lainnya.
Karena sifatnya yang murni swasta dan tradisional, kelompok ini agak sedikit mendapat akses ke pemrintahan, tetapi mereka mempunyai telah menganut perinsip keterbukaan, toleransi, dan kesejahteraan anggotanya.
Apakah Hindu menghargai pluralism. Hal itu dapat kita ikuti artikel yang dimuat pada web PHDI pusat berikut, saat Tokoh pluralism Nurlholis berkunjung ke sebuah Pura di Bali Utara. Petikan artikel tersebut sbagai berikut :
BUDAYAWAN Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, Selasa (5/11) kemarin mengunjungi Pura Gambur Anglayang di Desa Kubutambahan, Buleleng. Di situ ia tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya ketika menyaksikan delapan pelinggih yang mencerminkan suatu nilai penting tentang toleransi dan kerukunan antarsuku, ras dan agama. Pemimpin-pemimpin Indonesia harus belajar dari Pura Gambur Anglayang di Kubutambahan ini, katanya.
Memang di pura yang terletak di tepi pantai Tageneng ini terdapat delapan pelinggih yang mencerminkan unsur semua agama di dunia. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsur Cina, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam.
Di pura itu, kata Cak Nun, dirinya melihat adanya kearifan nenek moyang yang harus ditiru. Nenek moyang kita, jauh sebelumnya telah mengenal istilah demokrasi. Toleransi telah menciptakan suatu masyarakat demokratis. Tanpa tujuan muluk-muluk mereka telah menyatukan keberagaman dalam sebuah ruang kehidupan sosial dan spiritual yang tinggi. Kini pemimpin kita omongnya saja besar tentang demokrasi dan toleransi, tetapi hasilnya kerusuhan, tandasnya. Ia mengatakan, Pura Gambur Anglayang ini merupakan perwujudan dari masa depan Indonesia. Pura yang didirikan tahun 1260 itu telah memberi petunjuk delapan abad yang lalu telah terjadi masyarakat madani di Kubutambahan. Masyarakat madani telah tumbuh di Kubutambahan sebelum Nurcolish Madjid memperkenalkan istilah itu kepada bangsa Indonesia, katanya.
Untuk itu, Cak Nun yang didampingi istrinya, artis cantik Novia Kolopaking, mengundang para pemimpin Indonesia untuk datang ke Kubutambahan, belajar tentang kerukunan dan masyarakat madani.
Sebelum ke Pura Gambur Anglayang, Cak Nun sempat mengunjungi Masjid Jamik Al Munawarah di Banjar Pabean, Sangsit, Buleleng. Di sana Cak Nun juga menyaksikan kerukunan antara umat Hindu dan Islam. Kerukunan itu adalah sebuah kekayaan yang sudah lama tidak dimiliki lagi oleh Indonesia. Jika kerukunan antarumat beragama ini dipelihara, ia yakin suatu saat nanti warga Sangsit akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.
Coba saudara renungkan dari cuplikan cerita diatas terlihat bahwa umat Hindu sejak dulu sudah mengakui dan menjunjung tinggi adanya keberagaman, dan bagai mana komentar saudara dikaitkan dengan peran serta masyarakat Hindu dalam membangun masyarakat madani di Indonesia.
ORIENTASI KE DAERAHAN
Perkembangan masyarakat madani Hindu, atau peran organisasi masyarakat Hindu dalam membangun masyarakat madani di Indonesia, kelihatannya masih sangat bersifat ke daerahan di Bali, dan sporadik di luar Bali sesuai dengan penyebaran daerah transmigrasi dimana masyarakat Bali atau Hindu di tempatlan di seluruh tanah air.
Perkembangan ini tidak dapat dipisahkan dengan ‘keterbelakangan’ system syiar dalam agama Hindu,   bahkan mungkin dalam Hindu tidak dikenal syiar atau misi, sehingga sifat pemeluknya sangat statis, di daerah kantong-kantong Hindu yang sudah ada sejak zaman dulu, sehingga perkembangan berorganisasinya juga tetap tradisional. Apakah diperlukan syiar ini atau tidak tentu fatwa PHDI yang merupakan lembaga yang menaungi masyarakat Hindu, perlu memberikan klarifikasi.
Disini diperlukan kerja keras PHDI untuk membangun kelompok sosial kemasyarakatan ini, atau menciptakan iklim yang lebih kondusif sebagai lembaga yang menjadi kiblah masyarakat Hindu di Indonesia. Kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan ini walaupun ada sifatnya hanya sangat temporal, dan tidak terjaga eksistensinya, sebat saja : Peradah, KPSHD, HWHI, Rohin yang terbentuk di perguruan tinggi tidak terlihat kegiatannya sampai ke luar kampus.
Mungkin bisa kita melihat militansi berorganisasi teman-teman di agama lain, seperti Kelompok Pengajian Kampus (PK), di Istitut Pertanian Bogor, dalam era reformasi dapat berkembang secara nasional menjadi Partai Keadilam (PK), tetapi pada saat ikut pemilu pertama, suaranya tidak mencapai batas ambang electoral, menjadikan pada pemilu berikutnya berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang ikut mewarnai perpolitikan Indonesia sampai saat ini.

Di edit di Puri Gading Jimbaran, 16 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment