PENGANTAR PENULIS

Om Suastiatu

Dalam kehidupan sehahi-hari terkadang kita dihadapkan pada situasi, yang mengharuskan kita bisa.Demikian pula sekitar tahun 2003-2004, Penulis dihadapkan pada masalah tak terduga "diminta untuk mengisi kuliah Pendidikan Agama Hindu, di Akademi Meteorologi dan Geofisika, sekarang Sekolah Tinggi Teknik Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Padahal penulis mempunyai latar belakang yang lain, yaitu Geofisika. Tetapi di dasari dengan semangat ngayah, melalui Jnana Marga, penulis iyakan saja. Kemudian baru penulis berusaha, diantaranya dengan mencari cari-cari Kurikulum Yang Paling Update, melalui teman-teman yang bekerja di Departemen Agama maupun Teman-teman Dosen Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi, serta setiap pulang kampung mampir mencari buku dan majalah Hindu di Toko-Toko buku di Denpasar.

Dengan memberanikan diri, dan semangat ngayah itu kemudian kami himpun beberapa rangkuman bahan penulis untut bahan bacaan Mahasisa kami, yang biasa disebutkan sebagai Taruna-Taruni karena mereka ikatan dinas, kami posting bahan ini pada blog ini, serumpun dengan sains pop pada blogs: bigsain, kasiat-alam, bebekbali yang mungkin dapat pengunjung hampiri selain blog ini.
Penulis akan mencoba meng update isinya secara berkala, sesuai dengan kesibukan penulis. Jadi mohon maaf kalau sewaktu watu terlambant.

Om Canti, Canti, canti Om

Salam Kami

I Putu Pudja
Alamat di : ipt_pudja@yahoo.com

Wednesday, January 10, 2024

Perbincangan :55

 Perbincangan Singkat.


“MASALAH KEHIDUPAN”


Rupanya masalah materi akan terus menjadi perdebatan bila dikaitkan dengan kehidupan manusia. Ada yang merasa akan bahagia bila materi berlebih, ada yang merasa merana bila materi sudah berkurang atau tiada. Akupun menjadi tersenyum senyum teringat pembicaraan muridku benerapavtahun lalu, pidato mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat dilantik, maupun percakapan yang baru saja ku baca di Group WA SMA, yang lagi ramai karena postingan seorang ‘guru’ atau merasa guru spritual saat ini.


Masalah pertama: pertanyaan muridku, kira kira begini. “Guru, kenapa orang jahat itu hidupnya terlihat jauh lebih enak dari pada yang baik, jujur dalam kerjanya. Perhatikan saja koruptor bisa hidup hedon bermewah mewahan, mereka kasat mata korupsi, lihat saja ujian SIM mungkin dari 1000 mungkin hanya seorang yang lulus. Lihat soal dan arena prakteknya, tak masuk akal, lihat koruptor yang ketangkap OTT masih bisa tersenyum dan melambaikan tangan ketika digiring dengan rompi orange..” dst nya.


Masalah kedua: pendapat di Group WA, yang menyatakan bahwa semua perbuatan kita, akan kembali ke kita. Katanya kebajikan yang kita perbuat akan kembali menjadi kebajikan, demikian pula kejahatan dia akan kembali menjadi kejahatan yang kita terima.


Masalah ketiga: sebuah pendapat kaya pendapat sufi. Dia mengatakan bahwa seorang apa lagi pemimpin harus sesuai atau bahasa kerennya linier antara pikiran, ucapan dan tindakannya. Nah dalam konsep di Bali dikenal dengan Trikaya, yang bila dikerjakan dengan baik dan benar itu disebut Trikaya  Parisuda.


Yang terakhir ini oleh Gubernur Anies disebut bahwa dalam suatu manajemen atau kegiatan adalah Gagasan,. Gagasan sebagai bentuk tertulis buah fikiran, yang tertuang dalam bentuk tulisan atau gambar. Disini diperlukan interface yang menerjemahkan gagasan untuk dimengerti oleh pengeksekusi, atau para eksekutif dalam melaksanakan gagasan itu. Itu semua sebenarnya menyelaraskan buah Pikiran, Ucapan dan Pelaksanaan.


Kembali keaaalaj sebelumnya, memang benar perbuatan kita seperti bumerang, semua akan bermuara ke orangnya. Bila kita mengingat ajaran moral pertama Tatwam Asi. Kamu adalah Aku. Bila kau menyakiti temanmu, itu sebenarnya kamu telah menyakiti dirimu sendiri, hanya tinggal kepekaanmu. Apakah kamu merasakannya atau tidak. Kepekaan itu harus diasah terus agar bathin kita menjadi lebih bertambah kualitasnya. Ingatkah dalam kegelapan kita membutuhkan sinar, dalam terangpun kita perlu berlindung dalam gelap. Keduanya dapat bersinergi satu sama lain walau kau berbeda.


Seperti malam yang merindukan siang, begitu juga siang merindukan malam. Makanya waktu yang indah itu ada saat fajar pertemuan malam dengan siang, atau ‘sansikala’ pertemuan antara siang dan malam. Kata orang bijak saat itulah saat yang baik untuk bercinta, terlebih cinta kilat karena akan terdapat akumulasi dua energi dalam waktu singkat, mencapai kenikmatnnyapun akan sangat tinggi dan berkualitas. Konon -karena referensinya belum penulis temui- batu yang lahir hasil percintaan waktu tersebut akan menjadi bayi yang hebat, cemerlang dan smart.


Dikaitkan dengan teori manajemen , maka kita dari hari ke hari kita harus selalu menuju perbaikan agar organisasi dapat bertahan dan berkembang dihabitatnya dan tidak segera rontok. 


Ini sejalan dengan ajaran agama manapun, yang mengajarkan ke umatnya untuk selalu lebih baik dari kemarin. Jadikanlah hidupmu lebih baik dari hari kemarin. Jadi sebenarnya kita sudah ketahui bersama pokok pokok dasar kebaikan, etika, moral, susila itu. Hanya kita sering pura pura lupa. 


Sejalan dengan perbincangan kita ini maka filosofi orang tua dan pulang kampung itu sangat tepat untuk filosopi hidup kita ini secara sederhana. Konsep orang tua yang  secara umum atau semuanya akan memaafkan bagaimanapun perbuatan anaknya. Ini mengingatkan kita bahwa agama itu mengajarkan bahwa Tuhan maha pemaaf, hanya keyakinan kita yang akan dapat menakar pemaafNya.


Konsep pulang kampung, bahwa anak tidak akan lupa rumahnya. Membuat kerinduan setiap orang untuk pulang kampung bila ada waktu senggang, tentu dalam koridor ada biaya. Mengingatkan kita pasti akan kembali ke asal. Apakah kita akan sampai kembali atau tidak Wallahualam tak ada yang tahu. Hanya dalam keyakinan kita bisa menjawabnya.


Dari perbincangan kita ini, kita petik sedikit kesimpulan diantaranya. 

Manusia itu hidup punya tujuan bisa kembali ketempat asal.

Mencapai tujuan itu harus diupayakan untuk dicapai dengan manajemen Trikaya Parisuda, manajemen kinerja selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari berikutnya. Untuk pemimpin harus linier dalan pikiran, ucapan dan tindakan.

Hendaknya kalau mau berbuat baik jangan memikirkan hasilnya. Pikirkan bahwa semua itu pasti akan bermuara ke kita sendiri. Makanya berbuat baik tidak langsung dinikmati sebagai hasil baik, begitu juga orang jahat masih banyak ditemui mempunyai kehidupan yang enak.


Seorang muridku nyeletuk dalam perbincangan itu:”Aoakah kita diijinkan mengejar materi dalam hidup ini Guru?”. Ha ha ha dasar anak muda cepat sekali resmpinnya. Tentu saja boleh anakku. Kaya itu boleh, mencari harta benda itu boleh. Hanya saja harus diperoleh dengan cara yang diperbolehkan. Tidak melamggal etika, melanggar susila, UU positif lainnya. “Bukankah beragama juga membutuhkan materi?” tanyaku balik. Mereka manggut manggut. Tujuan hidup itu tentu tidak hanya bekal untuk kembali pulang, juga untuk dinikmati didunia ini. Jadi visi, misi hidup itu lahir dan bathin, dunia dan akhirat. Itu harus seimbang, agar timbangannya stabil.


Nah perbincangan yang ‘amat dangkal’ ini kita sudahi dulu. Kalau kita kembangkan bisa habis waktupun diskusinya belum berakhir. Apalagi kalau kita kaitkan tujuan hidup dikaitkan dengan Panca Crada. Baik ketuhanan, Atman, Hukum Karma, Reinkarnasi maupun tempat kita pulang yang paling didamian Moksa. 


Akh sebelum perbincangan meluas kemana mana, kita sudahi dulu perbincangan ini dengan niat suci sesuci doa “Dewi Gandari kepada Ciwa” di malam Cuwaratri.


Selamat Siwaratri Sahabatku, semoga kita selalu sehat, tetap dalam vimbinganNya. Swaha.


Mohon maaf mungkin ada yang tak berkenan dengan perbincangan ringan ini.


Catatan 

Penulis saat mengampu MK Pendidikan Agama Hindu, memposting beberapa perbincangan penulis terkait agama dan Budi pekerti. Bagi yang berminat silahkan mampir klik saja:

http://hindu-perantauan.blogspot.com 



Friday, October 20, 2023

 Perbincangan : 55

“Konsep Sains Dalam Doa”

 

Perenungan Putu Pudja.

Doa secara sederhana dalam kehidupan sehari hari adalah proses komunikasi. Proses komunikasi ini tentu tak terlepas dari sumber, media dan target.

 

Sumbernya disini adalah para bakta, umat atau manusia yang memanjatkan doa, baik pujian, permohonan maupun ucapan syukur.

 

Medianya adalah atmosfer, udara, gunung, laut dan lain sebagainya yang kita yakini memisahkan pendoa dengan Tuhan Yang Maha Esa.

 

Sedangkan target kita bahwa dia itu sampai ke tujuan. Dan harus yakin sampai, tak boleh di ragukan sampainya.

 

Pesan itu harus merupakan ‘paket energi’ yang memerlukan interface sehingga tidak terlalu banyak distorsi dari pesan asli dengan pesan yang diterima. Kalau itu pesan merupakan paket energi, maka energi akan berupa gelombang sampai dari sumber ke target.

 

Dalam fisika agar gelombang itu sampai tidak mengalami distorsi maka frekuensi transmiter sama dengan frekuensi receivernya. Setiap frekuensi itu uniq sehingga paketnyapun menjadi uniq.

 

Dalam Hindu khususnya di Indonesia terkhusus di Bali, biasa sebagai media digunakan suara genta, atau di hantar dengan persembahan palam, puspam, dupam, toyam, daun, atau materi lainnya. Dan di olah didorong dengan doa berupa mantram, suara genta.

 

Makanya kalau kita perhatikan semua benda benda dalam doa tersebut didoakan, dengan mantram termasuk gentanya sering suaranya di yakini merupakan alunan gelombang energi dari Sada Ciwa, maupun Iswara. Ini dapat diidentikkan dengan interface yang menyamakan atau kendekati frekuensi energi ketuhanan, sehingga meminimalkan terjadi bias, mengoptimalkan sampainya.

 

Jadi berdoa itu sudah menganut konsep transmisi – recivi, nah kalau begitu yang menjadi antenanya tidak salah lagi kalau kita lihat Lis, prascita, demikian juga bangunan Pelinggih seperti Meru, candi, Padmasana dll, bentuknya menjulang. Penguat dalam doa selalu kita lihat gerakan bandul genta, akan membuat jejak Ongkara, aksara suci yang akan tetap menguatkan energi doa kita.

 

Dalam doa sebenarnya kita telah menerapkan konsep Sains, dengan cara yang sederhana juga teknik telekomunikasi modern ada transmiter, receiver, penguat, interface dan lainnya. Tukang Banten Sang Jayamana sebenarnya tahu konsep sains terutama fisika, hanya diwujudkan dengan caranya yang sederhana.

 

Demikian perbincangan kali ini semoga membuka sedikit wawasan, konsep sains yang banyak telah diaplikasikan di implementasi agama. Semoga perbincangan ini kenyenangkan.

 

Purigading, 20102023.

 

 

 

 

Friday, August 25, 2023

PERMAKLUMAN

 Om Suastiastu

Para pembaca yang budiman.


Admin mohon maaf sudah lama tidak aktif, kali ini baru bisa meneruskan perbincangan di blog Hindu Perantauan.

Semoga jalinan persahabatan terus bisa terjalin. Terima kasih.

Om Canti Canti Canti. Om.

Perbincangan 54

 

Perbincangan : 54

“AWATARA”

 

Aku sedang duduk di teras sambil memperhatikan dua burung tekukur sedang mengais makanan di dalam aturan canang. Memang di alas canang itu ada tebu dan beras, demikian juga di sebelahnya ada segehan. Sungguh damai rasanya dunia ini bila melihat burung bercengkerema begitu. Sesekali burung itu berbunyi. Kukur...tekukurrr dstnya. Seorang muridku yang sudah bekerja mampir ke rumah, lagi cuti katanya.

 

Kami bercerita tentang berbagai hal, mulai dari tugas dan nostalgia waktu di kampus.  Lalu dia nyetu: “Guru, aku mau nanya, tadi di bus dua orang bercerita tentang kiamat, tentang pemanasan global, polisi udara yabg semakin menggila, mereka bilang tinggal nunggu Sang Penyelamat, Sang Awatara. Nah aku mau nanya apa itu Sang Awatara?”.

 

Oke, minumlah dulu, santai saja. Tak usah buru buru. Tak perlu panik, kiamat masih tak tentu. Seperti hukum ketidak pastikan Heisenberg, sahutku.

 

Sambil nyeruput kopi aku jelaskan pelan pelan. Sepengetahuan aku, Tuhan menciptakan sesuatu itu pasti ada manfaatnya. Demikian pula bila ada perusak nya pasti akan terkontrol oleh yang lain, seakan ada kompensasi, seperti gelombang ada puncak ada lembahnya. Demikian pula saat umat manusia di bumi ini di tindas kw,angkara mu4kaan, kebejatan, kejahatan dll merajarelq, di saat itulah Sang Awatara akan muncul.  “Jadi Awatara itu penyelamat bumi, guru?”. Bukanlah begitu  namun sebagai pengontrol umat manusia agar kembali hidup sesuai ajaran dharma, kebajikan.

 

Apabila dunia ini terancam dari bahaya angkaramurka maka Tuhan akan turun ke dunia ini untuk menyelamatkan umat manusia. Perwujudan beliau itu disebut Awatara, atau Sang Awatara.  

Awatara adalah perwujudan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) di jagat raya ini, dengan menggunakan wujud serta ajaran-ajaran sucinya, memberidkan tuntunan membebaskan manusia dari kesengsaraan yang disebabkan oleh kebodohan, ke angkat aku emasan, kekejian, kebohongan dan lain sebagainya.

Di dalam Bhagawad gita (4.7) disebutkan bahwa: “Kapan saja Dharma (kebenatah, keadilan) mulai merosot dan adharma merajalela. Aku menjelma kembali ke dunia ini, untuk menegakkan Dharna.

Jadi apabila dunia ini dikuasai adharma, pikiran, ucapan dan tingkah laku manusia dikuasai oleh angkqramurka, di sana lah Tuhan akan hadir untuk menegakkan dharma mengambil wujud (bisa wujud manusia, atau wujud lain) untuk menyelamatkan manusia.

Di dalan kitab Purana disebutkan bahwa Awatar dari Wisnu antaranya : Sri Rama, Sri Kresna, Budha, dan Kalki (Awatara Wisnu yang belum datang)

Semua Awatara ini mempunyai tugas untuk menegakkan umat manusia dengan jiwa kadewatan, sifat yang luhur dan membasmi sifat ke raksasa an (angkuh, angkara dan lain-lainnya) dengan ajaran-ajaran sucinya yang menuntun menuju kedamaian, ketenteraman, kerukunan, kebahagiaan menuju ke kesempurnaan hidup ini.

Dicontohkan seperti Sri Rama yaitu penjelmaan Tuhan ( manifestasi Wisnu) di alam semesta ini sebagai putra Raja Dasaratha untuk melebur angkara murka (adharma) yang ditimbulkan oleh para Raksasa yaitu masyarakat Alengka. Rakyat dari Prabu Rahwana (Dasamuka).

Demikuan juga dengan Sri Kresna juga salah satu perwujudan Tuhan ( manifestasi Wisnu) yang mempunyai sifat sempurna untuk menegakkan Dharma, karena dunia ini dalam keadaan tidak aman, tidak nyaman karena  dikuasainya adharma yang ditimbulkan oleh sifat-sifat raksasa, angkara dari pihak Korawa. Hal ini digambarkan dalam cerita Mahabharata dimana Duryudana, Kangsa, Sisupala, Jarasandi dan lain-lainnya, yang memiliki sifat raksasa yang punya keinginan merubuhkan dharma.

Sang Awatara lainnya adalah Sang Budha, Sidarta Gautama putra Raja Kapilawastu, merupakan Tuhan ( manifestasi Wisnu) menjelma jadi penyelamat dunia.

Menurut kitab suci di atas Awatara berikutnya di tunggu kehadirannya di muka bumi, bernama Khalki. Kapan akan hadir di bumi, tidak seorangpun tahu. Mungkin akan mengajarkan manusia untuk mengendalikan pemanasan global, polusi udara, maupun polusi pencemar otak manusia dengan keangkaramurkaan, ketidak adilan, kezoliman dan lain sebagainya.

Disamping menunggu kehadiran Sang Awatara, dengan basic saib, teknologi kita pun dituntut berfikir ala “Awatara” untuk memperbaiki moral, kelakuan, konsep berfikir kita, tetap dalam kaidah dharma.

Selanjutnya dalam implementasi sifat dharma Awatara bisa dilaksanakan siapa saja untuk kebaikan dunia ini.  Jadi tidak perlu menunggu Awatara.

Demikian ulasan Guru tentang Awatara, walau dengan cara ringan populer, guru harapkan bisa mencerahkan pikiran, tingkah laku dan perkataan kita. “Itu kembali ke laptop dong guru, kembali ke Trikaya Parisuda” sahut murid ku. Iya iya, memang demikian karena sejatinya salah satu fondasi amannya dunia ini adalah susila, ya diantaranya Trikaya Parisuda itu harus diterapkan.

 

Demikian perbincang an singkat kami pagi itu. Semoga bisa menambahkan setitik air ke laut lepas.

Tuesday, July 11, 2017

Perbincangan - 53: Apakah Saya Sudah Hindu



"TENTANG TO KNOW, TO DO DAN TO BE HINDU"


Saat sedang leyeh-leyeh di Bale Bengong, beberapa taruna lewat dan mampir sore itu. Mereka seperti biasa baru pulang dari kegiatan ekskul, mereka mampir berbincang sambil menikmati sore yang cukup redup akibat hujan yang berkepanjangan pada musim kemarau ini, Diapun menanyakan sesuatu kepadaku tentangb apa yang baru meeka baca di media sosial, dalam kmunitasnya. Pertanyaannya cukup mengeliti, katanya : Guru aku bertanyam apakah saya sudah Hindu?.

Pertanyaan ini menggekitik saya, sebenarnya agak rumit menjelaskannya. Namun saya jawab sambil becanda dulus sebagai berikut : lho di KTP kamu tertulis ada de, Tanyaku balik: terus dia kawab Ya Hindu Guru, tapi itu kan hanya formil saja. Oh gitu.... mungkin yang Made maksukan apakah saya : to know, atau hanya to do ataukan sudah to be hindu. itu barangkali ya Made, kataku. 

Iya, iya sahutnya. Nah untuk itu coba guru jelaskan sedikit sebagai berikut, Sana kamu ambil minum dulu, guru buatkan kopi saja. Ada itu di dapur kataku. Dan iapun seperti biasa menyaiapkan minum.
Sambil minum-minum hangat sore, kami pun lanjutkan perbincangan ringan tersebut sebagai berikut.

Menurut guru, untuk memahami dan menjawab pertanyaan diatas, mungkin ada baiknya kita ingat kembali kerangka Agama Hindu serta, bagai mana keseharian kita melaksanakan agama tersenut di daerah maisng-masing, karena kita hidup paling lama di kurun kehidupan ini disana, terlebih dengan urusan ibadah.

Kita kembali mengenang kegiatan beragama di kampung kita di (bali), ibadah sebagian besar merupakan seremonial yang sangat sarat dengan banten, bahan upacara yang cenderung rumit dan susah dipelajari oleh masyarakat terutama wanita kekinian. Sehingga muncullah budaya dagang banten. Itu yang menjadikan ibdah kita mempunyai predikat yang mahal. Sehingga ada pakar hindu menuliskan dalam bukunya dengan rinci berapa biaya kita kalau sembahyang. 

Dalam kehidupan beragama kita di Bali, lebih banyak kelihatan bahkan didomiinasi oleh kegiatan membuat banten dan sembahyang, baik Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Pitra yadnya, Rsi Yadnya dan Butha yadnya, Yang menonjok kegiatan pekerjaan yang terkait ibadah. Sehingga lebih menunjukkan to do  dan sangat minim masalah yang lain baik to know dan to be nya.

Kembali kepada Kerangka Agama Hindu yang mencakup : Tatwa, Susila, dan Upacara (ibadah). Maka seharusnya kita memulainya dengan to know, mempelajari dulu masalah yang terkait dengan tatwa, yang menjadi filosofinya kita beragama. Apa dan bagaimana agama kita itu,  Setelah itu kita juga pasti akan mengatahui dari Tatwa itu, masalah moralitas, masalah etika, mana yangbaik dan mana yang buruk dalam menjalankan kehidupan kita disunia ini.

Dengan memahami keduanya kita menjadi to know, mengatahui dengan baik dasar dari kita melakukan apa karena apa, melakukan apa untuk apa. Bukankan beragama itu harusnya menyenangkan bukan malah memberatkan umatnya, karena yang kita cari dalam dharma itu adalah kedamaian. 

Setelah mengetahui dengan baik Tatwa dan Susila ini, mungkin kita telag melaksanakan lebih dari tujuh puluh persen kewajiban kita, sehingga seperti kita ketahui bahwa jalan Jnanin dengan mengajarkan, menyebarkan ajarah dharma, kebaikan merupakan jalan yang paling mulia dari catur marga.

Kalau itu telah kita kerjakan, maka kita akan mengatahui bagaimana sehausnya pokok pokok upacara yang oerlu dan wajib dilakukan. Karena takut salah dan tidak mengetahui filosopinya kita takut disalahkan, sehingga terkesan jor joran dalam melaksanakan upacara keagamaannya. Lebih banyak urusan kesamping dan kereben saja, Ke atas porsinya malah cuma sedikit. Seharusnya ini harus sehimbang, seperti keseimbangan yang disimbulkan oleh swastika, tapak dara yang di lukis pada jidatnya para pendeta.

Kalau kita sudah dapat mengeratuhu cara ber uacara keagamaan yang benar, sederhana dan sesuai tatwa, serta tidak melanggar etika maka kita, kalian dapat dikatakan sudah menjadi Hindu. Jadi kalian sudah boleh menjawab pertanyaan diatas dengan "saya sudah Hindu" jadi sudah to be Hindu.

Jangan hanya to do saja, kita harus seimbang dalam Tatwa, Susila dan Uoacara.


Itulah penjelasan guru secara singkat, coba baca referensi yang lebih banyak lagi, sehingga kalian bisa jawab sendiri pertanyaan kalian, terus nilai kegiatan kalian beragama sampai saat ini, apakah masih tahapan to do, to know apakah sudah menjadi to be. Menjadi hindu yang sebenarnya.

Om Canti, Canti, Canti

Pondok Betung, di Medio Juli 2017

Saturday, July 16, 2016

Perbincangan -52 : Perkawinan Kewajiban dan Tujuan



“PERKAWINAN MOMENTUM PENTING MENUJU TAHAPAN KEWAJIBAN DAN TUJUAN HIDUP DALAM DHARMA”

Oleh: I Putu Pudja

Pakaian Perkawinan Adat Bali (google.com)
Om Suastiastu,
Sabtu malam, 16 Juli 2016 kami mendapat undangan pernikahan sepasang penganting yang merupakan mantan murid saya. Mereka datang ke rumah mengantar Undangan, karena waktu itu saya pas ada di kota tempat berlangsungnya resepsi pernikahan, kami menyempatkan diri hadir ikut berbagi kebahagiaan disana. Benar saja kami ketemu sangat banyak bekas murid-murid dan istri juga bertemu dengan beberapa teman lamanya yang sudah lama tidak bertemu.
Bukan acara nostalgia itu yang menarik, saya untuk mengangkat topic pernikahan sebagai suatu tonggak penting ke tahapan hidup berikutnya untuk kedua mempelai. Aku ingat benar dengan sebuah sloka yang sangat sering aku kutip saat mengajar maupun berdiskusi masalah dharma, yang bunyinya ku terjemahkan dengan persepsi sendiri ; ”Engkau diciptakan berpasang-basangan, untuk menyatu, berkembang biak, untuk mencapai kebahagiaan” dan akupun lupa reerensinya, tapi aku yakin sekalai itu sering kurujuk saat mengajar.
Dengan demikian bahwa pernikahan merupakan tahapak pasangan itu untuk menyatu dan berkembang biak. Karena sebagian besar walau bukan hasil survey, para pasangan baru biasanya menginginkan segera hamil dan mempunyai anak (baca keturunan), Mereka akan memasuki tahapan diperstukan dan berkembang biak. Sehingga salah satu tugas kita dilahirkan didunia ini adalah untuk meneruskan generasi, berkembang biak.
Kata teman-temanku, itu proses alami. Lahir sendiri, kemudian menikah hidup berdua, terus memiliki anak, anak-anak dewasa membangun rumah tangganya sendiri sendiri. Kemudian meisahkan diri sehingga kembaki hanya berdua, salah satu meninggal dunia tinggsal sendiri lagi terus menyusul meninggal dunia. Sehingga proses tiada-ada-tiada akan terus berlangsung.
Dari catur asrama, maka pernikahan merupakan tahapan Grhaastha, suatu tahapan membangun rumah tangga, tahapan dewasa setelah meninggalkan Brahmachari asrama. Yang merupakan tahapan menuntut ilmu secara umum, belum mempunyai tanggung jawab keluarga, umumnya masih merupakan tanggungan orang tua.
Tahapan Grhaastha menyebabkan ada tambahan tanggung jawab yaitu tanggung jawab kepada pasangannya masing masing, tanggung jawab membangun rumah tangga, serta tanggung jawab lainnya sesuai dengan desa, kala patra. Sesuai dengan tempatnya masing-masing, sesuai dengan waktu atau zamannya, serta sesuai dengan kondisi dan situasi nya masing-masing.
Sehingga pernikahan merupakan tahapan yang sangat penting bila ditinjau dari proses yang dimaknakan oleh sloka diatas juga sangat penting bila dikaitkan cengan catur asrama. Demikian pula kalau dikaitkan dengan catur warga, atau catur purusaartha yang menjadi tujuan hidup umat hindu secara umum.
Seperti kita ketahui bahwa Catur purusaarta ini, adalah : dharma, arta, kama dan mokhsa. Tahapan pernikahan dengan segala tanggung jawab dikaitkan dengan sloka maupun catur asrama bila dikaitkan dengan catur purusa arta ini, maka akan memperluas pijakan dalam perjuangan memcapai tujuan hidup tersebut.
Saat belajar, brahmacharia banyak waktu dicurahkan untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu lainnya dalam kehidupan ini, dia akan sangat kecil mencari artha dan kama. Namun dalam tahapan setelah pernikahan yaitu Grhaasta, maka perjuangan menuntut arta dan kama akan semakin besar disamping menuntut dharma dan muara tujuan akhir ke tujuan mokhsa.
Hidup berkeluarga akan menjadikan kebutuhan bertambah, baik pangan, sandang maupun papan. Semuanya itu memerlukan uang . Pemilikan harta benda duniawi akan memerlukan uang memerlukan lebih giat mencari arta. Sedangkan kama, yang merupakan kepuasan dan kenikmatan hiduppun akan melebar saat memasuku tahapan Grhaasta.
Kama yang besar akan semakin memotivasi sang penganten untuk lebih berinovasi, berkreatifitas untuk semakin giata menuntut arta dalam kegiatannya sehari-harinya. Perencanaan masa depan keluarga juga akan memerlukan arta, semangatnya akan di motivasi oleh kama sendiri.Dasar dharma yang kuat akan menjadi pedoman, menjadi etika moral dalam mencari arta dan menikmati kama meraka.
Terus kalau begitu terus kapan kita merencanakan untuk mencapai mokhsa. Nah itu menurutku tidak perlu terlalu di targetkan, tetap saja berbuat baik dan benar dalam segala tahapan. Masalah hasilnya kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Jadi pernikahan merupakan momentum yang penting, merubah atau melebarkan target tujuan hidup yang menjadi purusaarta itu, dari yang menonjol dharma dalam tahapan brahmachari yaitu dharma menjadi arta dan kama, sehingga tujuan menjadi dharma, arta dan kama sehingga tanggung jawab berkeluarga itu menjadi lebih besar dibandingkan dengan saat masih sendiri.
Begitu juga tugas untuk berkembang biak, menanti pasangan yang menikah, untuk segera mempunyai keturunan, sehingga tidaklah salah bila hampir sebagian besar orang tua yang menikahkan anaknnya ingin segera mempunyai cucu. Hal inis ejalan dengan kemajuan zaman, kemajuan teknologi dapat direncanakan sesuai dengan tujuan pasangan yang menikah. Bisa saja tahapan awal menikah dapat merupakan tahapan ‘rekreasi’ sehingga kewajiban berkembang biak itu dapat di jadwalkan kemudian.
Nah tentu kita hanya dapat merncanakan, namun Tuhanlah tetap yang akan menentukan sesuap dengan wahyunya yang tertuang dalam sloka diatas. Selamat menempuh hidup baru anakku. Om Canti, Canti, Canti, Om.
Puri Gading, 17 Juli 2016.


Sunday, July 10, 2016

Perbincangan-51 : Pakaian Sembahyang



“SEDIKIT TENTANG PAKAIAN SEMBAHYANG”
Oleh : I Putu Pudja

Pergi Sembahyang (google.com)
Perbincangan kami kali ini,  mengingat kembali perbincangan ringan di minggu pagi saat-saat habis nyuci kedaraan di samping rumah disambangi anak-anak taruna yang sengaja datang ke rumah merencanakan akan mengadakan masak-masak. Mereka mau minjem tempat memasak bersama, kepingin makan masakan kampong, lawar. Aku persilahkan saja kapan mereka rencanakan, serta lihat di dapur perlengkapan apa saja yang ada, sehingga yang lain juga perlu dipersiapkan sehingga tidak repot pada waktunya nanti.
Kemudian kami dusuk bersama di Bale bengong, sambil menikmati bajigur, pas abang bajigur lewat dengan segala rebusannya yang dia bawa : kacang tanah, ubi batatas, singkong, pisang, yang semuanya direbus.
Dalam percakapan itu, seorang diantara taruna atau mahasiswa kami menawarkan topic berpakaian dalam sembahyang Hindu.
“Guru, bagaimana pendapat guru terhadap ramai gunjingan masyarakat, terhadap cara kita berpakaian saat sembahyang, yang kelihatannya jor-joran,seperti kapstok berjalan. Bahkan ada sebuah buku yang membahas konsumerisme masyarakat kita (baca Hindu) yang ke Pura, dihitung satu persatu harga apa yang dipakai saat sembahyang” Itu pertanyaan mereka.